Anak perempuan saya pulang ke rumah. Dia waktu itu baru masuk sekolah di sebuah SMA negeri. Dia cerita, "Pa, aku enggak mau pakai jilbab." Saya kaget, kok tumben? Ada apa? "Ya, enggak usah pakai lah. Papa juga enggak suruh kok. Kenapa?" Dia lalu cerita di sekolahnya yang sekarang, semua siswi muslim diwajibkan pakai jilbab. Semua. Itu perintah dari kepala sekolah. Yang tidak pakai akan dapat sanksi.
Saya mengajaknya duduk. "Kamu enggak usah pakai jilbab. Kalau kamu pakai, papa yang marah, karena kamu pakai sesuatu bukan karena kamu ingin, tapi karena kamu dipaksa. Itu berarti kamu bukan orang yang punya prinsip, tapi orang yang membebek, enggak punya kepribadian.
Dan orang yang enggak punya kepribadian, selamanya akan jadi orang yang lemah. Dia tidak akan pernah jadi apa-apa, kecuali jadi orang lain yang dia tidak suka."
Ini sebuah manifesto. Sebuah pernyataan sikap yang saya tanamkan ke dia, untuk melawan sesuatu yang tidak pada tempatnya. "Kalau nanti aku dimarahi, bagaimana?" Tanya dia.
Dan ketika kubaca ada pemaksaan berjilbab di sebuah SMK negeri di Padang, bahkan untuk siswi non muslim, kubantu sebarkan beritanya.
"Panggil papa ke sekolah. Biar jadi urusan papa. Papa akan bawa masalah ini ke mana-mana, biar ramai. Biar jadi urusan publik, sampai kepala sekolahnya dipecat. Ini bahaya soalnya, kepsek mewajibkan sesuatu yang bukan jadi peraturan di sekolah."
Anakku jadi percaya diri. Di sekolah kudengar dia satu-satunya siswi muslim yang tidak pakai jilbab. Dan saya yakin, mentalnya pasti sedang diuji di sana. Sanksi sosial dia dapatkan, diejek teman-temannya awalnya. Tapi dia tetap kuat dengan pendiriannya.
Sekarang anak perempuanku kuliah di negeri. Berprestasi. Atlet panjat tebing. Dan dia merdeka dengan tanggung jawab atas dirinya sendiri. Kalau kami jalan berdua seperti orang pacaran. Mungkin karena aku juga selalu muda dan merdeka, seperti dia.
Dan ketika kubaca ada pemaksaan berjilbab di sebuah SMK negeri di Padang, bahkan untuk siswi non muslim, kubantu sebarkan beritanya. Biar jadi urusan publik, biar ada sanksi sosial bahkan kalau perlu sanksi dari dinas pendidikan untuk kepala sekolahnya.
Bibit bibit eksklusif dengan simbol keagamaan sedang dipaksakan ke kita. Seolah orang tidak boleh memilih, seolah harus ada penanda siapa dengan agamanya apa.
Lawan. Jangan diam. Setiap kali ada kasus seperti ini, viralkan. Karena diam sesungguhnya adalah kekalahan. Masa depan anak adalah urusan kita, orang tuanya. Bukan kepala sekolah. Apalagi kepsek yang sudah terpapar radikalisme dan intoleransi di kepalanya.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi