Tidak mudah menulis pesan tentang kematian, apalagi jika itu diperuntukkan bagi para pahlawan. Sejak dulu saya meyakini, bahwa kematian adalah puncak dari kehidupan. Dan syahid adalah kubah emasnya.
Syahid, bukanlah kematian karena kecelakaan. Ia adalah kematian dengan penuh keinsafan, logika dan akal. Ia tidak datang, ia dijemput dalam kondisi penuh kesadaran.
Para dokter yang berjuang dan akhirnya meninggal dalam perang akbar melawan wabah (virus corona Covid-19) adalah para syuhada.
Saya selalu iri dengan mereka yang mampu mewujudkannya. Karena saya belum tentu berani menjemputnya. Padahal di dalam kitab, kesyahidan digambarkan sebagai sesuatu yang indah dan nikmat.
Bayangkan, semua dosa di dunia dihapuskan, apalagi yang diharapkan oleh orang yang beriman?
Saya meyakini, para dokter yang berjuang dan akhirnya meninggal dalam perang akbar melawan wabah (virus corona Covid-19) adalah para syuhada.
Mereka pejuang di garis depan dengan keilmuan yang mereka punya. Mereka sangat sadar kematian dekat dengannya. Tapi, bukankah semua orang pasti mati? Tinggal bagaimana caranya, dengan kemuliaan atau kehinaan?
Karena itulah, ketika seorang teman mem-posting gambar jenazah seorang dokter yang terlihat tampak kesepian, karena tidak boleh diantarkan dan dijenguk keluarga, saya tersenyum melihatnya.
Entah kenapa bagiku gambar sepi itu terlihat riuh adanya. Para malaikat menjemputnya berbondong-bondong dan memujinya. Sang dokter diberikan mahkota yang terbaik dan piala kemenangan. Ia tersenyum dalam keriaan. Ia begitu mulia, sedangkan kita melihatnya dalam kehampaan.
Tinggal kita yang masih hidup yang perlu mengambil pelajaran. Bahwa bagi para syuhada, sesungguhnya tidak ada yang mati. Karena apa yang dia lakukan akan menjadi inspirasi. Dan sebuah inspirasi akan kekal di dalam akal dan hati.
Mungkin kita harus membuatkan mereka prasasti. Bertuliskan nama-nama para pejuang yang berani mati. Bukan untuk mereka, bukan. Tetapi untuk kita, bahwa dalam sebuah perjuangan tidak ada yang sia-sia.
Sungguh. Jika syahid adalah puncak dari puncak kehidupan, bukankah kita seharusnya mengantarkan mereka dengan tangis bahagia ?
Ah, malam ini sungguh aku butuh secangkir kopi..
Terima kasih untuk para dokter dan perawat, yang sudah berjuang dengan sepenuh hati.
*Penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi
Baca juga: