Dede Yusuf, Dua Kali Tembus DPR RI

Dede Yusuf digadang-gadang lolos lagi ke Senayan untuk periode jabatan 2019-2024.
Dede Yusuf digadang-gadang lolos lagi ke Senayan untuk periode jabatan 2019-2024. (Foto: Instagram/ddyusuf66)

Jakarta - Dede Yusuf digadang-gadang lolos lagi ke Senayan untuk periode jabatan 2019-2024. Jika hal itu benar terjadi, maka dia dapat disebut sebagai calon anggota legislatif (caleg) DPR RI terpilih dalam Pemilu 2019 dari daerah pemilihan (dapil) Jawa Barat 2.

Pemilik nama lengkap Dede Yusuf Macan Effendi, saat ini duduk sebagai pimpinan di Komisi IX DPR RI yang membidangi Tenaga Kerja, Kesehatan dan Ketenagakerjaan. Melalui kendaraan politiknya, Partai Demokrat, ia melesat sebagai anggota parlemen pada periode 2014-2019.

Membuat suatu kebijakan sebagai anggota legislatif, ada tiga hal utama yang patut dicermati.

Pertama, kebijakan yang dibuat oleh publik, artinya adalah publik menginginkan adanya sebuah kebijakan. Kedua, kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, artinya eksekutif membuat sebuah kebijakan untuk menata publik.

Kemudian, kebijakan legislatif atau parlemen. Tujuannya adalah, sebuah kebijakan yang dibuat oleh eksekutif, agar ekskutif dapat melaksanakan tugasnya dengan baik dalam menata publik.

Konteksnya dikatakan oleh Dede, harus saling mengisi, saling menjaga, dan mengawal. Semuanya berkesinambungan dari level legislatif, eksekutif dan yudikatif. Oleh karena itu, ia memahami betul kebijakan eksekutif yang akan memberi kemaslahatan, tidak bermanfaat, atau malah menimbulkan konflik kepenting bagi masyarakat.

Menurutnya, untuk menjembatani mekanisme itu semua, diperlukan sebuah kebijakan yang sifatnya mengendalikan, mengatur, menjaga, mengawal, dan itu semua adanya di DPR. Melalui kursi legislatif inilah Dedi menyebut, ia bagaikan menjadi mata dan telinga antara rakyat dengan pemerintah.

"Tentu saya percaya pada pemerintah bisa melakukan kebijakan-kebijakan yang berkaitan dengan publik. Tapi kadang-kadang, pemerintah juga memiliki yang namanya merasa berkuasa atau absolute power. Pada titik absolute power inilah, kekuasaan cenderung bisa dirusak oleh wewenang perundangan-undangan dan sebagainya," ujar Dede dalam wawancara resminya dengan Wiki DPR.

"Oleh karena itu saya menginginkan, bahwa kami sebagai pengawal publik menjaga kepentingan-kepentingan publik yang benar-benar menjadi mitra, guna melakukan monitoring bagi pemerintah," tambahnya.

Sewaktu Dede masih menjabat sebagai Wakil Gubernur Jawa Barat, ia menemukan aspirasi masyarakat yang tersumbat, tidak kunjung tersampaikan kepada pimpinannya.

Maka dari itu, ia merasa amat perlu melakukan kunjungan-kunjungan ke daerah, bertemu langsung dengan rakyat untuk mendengarkan langsing keluh kesah mereka di bawah sana. Hal dimana, agar level eksekutif cermat dalam membuat suatu kebijakan yang memang dibutuhkan oleh rakyat.

Dengan berkembangnya teknologi informasi, diharapkan oleh aktor film Badut-Badut Kota itu, para pejabat publik juga dapat memanfaatkan media sosial untuk berinteraksi langsung dengan masyarakat. Dede mengklaim, ia salah satu pejabat publik paling awal yang berkomunikasi dengan masyarakat menggunakan wahana internet.

"Melalui media sosial, mungkin saya salah satu pejabat pertama atau kepala daerah pertama yang membuat Twitter, Facebook, dan sebagainya, untuk melakukan dialog," jelas mantan aktor layar lebar itu.

"Oleh karena itu ketika saya sekarang di parlemen, bagi saya, melibatkan publik sebanyak-banyaknya dalam pengambilan keputusan itu adalah suatu keniscayaan," sambungnya.

Lebih lanjut menurut Dede, tak salah apabila seorang pejabat membagikan setiap kegiatan, bahkan saat melakukan Rapat Kerja. Gunanya, kata dia, agar publik dapat memberikan saran mengenai apa yang dibutuhkan oleh mereka.

"Jadi oleh karena itu, saya menganggap bahwa saya adalah mata dan telinga yang menyambung masyarakat melalui fungsi-fungsi channel link, bisa melalui media sosial, bisa melalui wiki dpr, bisa juga melalui pertemuan-pertemuan, kunjungan-kunjungan. Saya mengganggap diri saya hanya sebatas itu," ujarnya.

Saya tidak berpikir yang besar, saya berpikir antara menyambung rakyat dengan pemerintah.

Sudah menjadi hal biasa baginya, dengan sorotan masyarakat yang selalu saja mencitrakan seorang publik figur dengan stigma-stigma negatif tanpa alasan yang jelas. Tidak artis, tidak pula pejabat publik selalu dipandang dengan citra buruk.

"Saya ini terbiasa selalu dicitrakan negatif. Dulu ketika jadi artis, jadi selebriti, masyarakat selalu mengatakan image negatif, tidak ada yang benar. Ketika saya menjadi kepala daerah, masyarakat atau publik juga mengatakan, hampir 50 sampai 70% pejabat daerah korup, masuk DPR kurang lebih sama," kata Dede.

Namun dari kesimpulan masyarakat itu, akhirnya ia memahami secara jelas, mengapa stigma buruk kerap dilekatkan kepada seorang birokrat.

Menurut Dede, hal itu tak hilang karena kurangnya komunikasi antara pejabat dengan masyarakat. Selain itu, mindset publik sudah terlanjur membentuk pikiran negatif kepada para pemimpinnya.

"Mindset publik, mindset masyarakat kita pada umumnya, selalu menelan mentah-mentah informasi," ucap Dede menyayangkan.

Namun ia tidak menampik, jika terdapat juga anggota parlemen yang tidak aktif dalam bekerja. Sekalinya hadir hanya menerima imbalan.

"Ada anggota parlemen yang jarang masuk yang datang, duduk, diam, terima duit," ungkapnya.

Di matanya, ada juga anggota DPR yang kerja keras sampai larut malam tetapi hal itu malah tidak tersampaikan dengan baik kepada publik.

"Itu sama ketika saya jadi artis juga begitu, ada stigma negatif, tetapi yang baik juga banyak. Kepala daerah digambarkan negatif, tapi yang baik juga banyak," ujar Dede.

"Ada sebuah polling yang mengatakan, lembaga yang terburuk itu kinerja adalah DPR. Itu benar, itu kan polling. Tapi yang baik pun anggota DPR juga banyak. Jadi bagaimana cara menyampaikan pesan, itu saja," tutup Dede Yusuf. []

Baca juga:

Berita terkait