Dengan tambahan 490 kasus baru yang dilaporkan Juru Bicara Pemerintah untuk Penanganan Covid-19, Achmad Yurianto, melalui siaran televisi dari Graha BNPB, Jakarta Timur, tanggal 15 Mei 2020, menempatkan Indonesia pada peringkat ke-34 dunia dalam jumlah kasus positif Covid-19. Dengan tambahan kasus baru itu jumlah kumulatif kasus positif Covid-19 di Indonesia sebanyak 16.496 dengan 1.076 kematian dan 3.803 sembuh.
Ketika pandemi virus corona baru (Covid-19) merebak di Wuhan, China, banyak negara yang anggap remeh, seperti Amerika Serikat (AS), Rusia dan Brasil. Tidak tanggung-tanggung presiden tiga negara itu sesumbar terhadap Covid-19. Presiden Trump bilang virus (Covid-19) tidak akan masuk ke AS. Presiden Putin sebut negaranya bisa menghadang laju penyebaran Covid-19. Sedangkan Presiden Jair sebut corona tidak lebih buruk daripada flu.
1. Tidak Belajar dari Keberhasilan Negara Lain
Apa yang terjadi kemudian? Saat ini AS bercokol di puncak pandemi Covid-19 dengan jumlah kasus 1.482.426 dan 88.417 kematian serta 322.228 sembuh. Rusia ada di peringkat ke-3 dunia dengan 262.843 kasus dan 2.418 kematian serta 58.226 sembuh. Brasil di peringkat ke-6 dunia dengan 218.223 kasus dan 14.817 kematian serta 84.970 sembuh (worldometer).
Bagaimana dengan Indonesia? Sami mawon. Beberapa pejabat tinggi, seperti menteri, bahkan wapres melontarkan komentar-komentar yang nyeleneh. Mulai dari menyebut doa bisa mengusir corona, izin yang sulit membuat corona tidak bisa masuk ke Indonesia sampai dengan ‘nasi kucing’ yang bisa menolak corona.
Biar pun kasus Covid-19 sudah terdeteksi tanggal 2 Maret 2020, tetap saja banyak kalangan yang anggap enteng. Apalagi di hari-hari berikutnya laporan kasus baru hanya hitungan belasan. Bahkan, ada tawaran diskon tarif kapal terbang untuk melancong ke sepuluh destinasi wisata di Indonesia ketika WHO menyebutkan protokol kesehatan untuk mencegah penularan Covid-19.
Kalau saja pemerintah melihat keberhasilan Korea Selatan, Thailand dan Vietnam yang lebih dahulu dihajar Covid-19 tapi berhasil mengatasinya tentulah dampak pandemi Covid-19 tidak seperti yang dihadapi sekarang ini.
Tiga negara itu menjalankan tes spesimen swab dengan PCR secara massal. Korea Selatan dan Thailand bisa mengendalikan penyebaran Covid-19. Di Vietnam pandemi tidak menyebabkan satu pun kematian. Vietnam gencar lakukan tes dan tracing warga yang baru kembali dari luar negeri dan yang kontak dengan orang-orang yang tertular Covid-19.
2. Terjadi Pelonggaran terhadap Kebijakan PSBB
Dari aspek epidemiologi jika ada wabah atau pandemi yang dicari adalah vaksin karena hanya vaksin yang bisa mencegah penyebaran virus. Ketika vaksin tidak ada, maka tes massal jadi ‘vaksin’ karena menemukan orang yang tertular otomatis memutus mata rantai penyebaran virus. Indonesia lebih memilih mengembangkan pengobatan daripada menjalankan tes massal sebagai ‘vaksin’.
Dengan kondisi sekarang pun Indonesia masih tetap tidak konsekuen dan konsisten dalam menerapkan protokol kesehatan WHO. Beberapa negara menerapkan lockdown, Indonesia memilih Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah. Celakanya, pemerintah sendiri yang mengangkangi PSBB dengan memberikan izin pengoperasian angkutan umum, seperti angkutan darat dan laut, KA serta angkutan udara.
Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 mati-matian membela kebijakan Kementerian Perhubungan itu dengan mengatakan bukan pelonggaran PSBB. Fakta menunjukkan terjadi pergerakan manusia secara besar dari Jakarta ke daerah dan di daerah lain ke Jakarta. Ini jelas pelonggaran dan mengabaikan protokol kesehatan WHO.
Ketika vaksin Covid-19 belum ada, maka ‘vaksin sosial’ bisa jadi penawar untuk mencegah penyebaran Covid-19. Tapi, pemerintah sendiri yang mengabaikan ‘vaksin sosial’ ini dengan memberi kelonggaran terhadap pelaksanaan PSBB. []