CORE: Ada Poin yang Merangsang Investor di UU Cipta Kerja

Peneliti CORE Yusuf Rendy Manilet menilai ada beberapa poin dalam UU Cipta Kerja yang mampu menarik investor masuk ke Indonesia.
Ilustrasi Investasi. (Foto: Tagar/Unsplash/Adeolu Eletu)

Jakarta - Peneliti Ekonomi Center of Reform on Economics (CORE), Yusuf Rendy Manilet menilai ada beberapa poin dalam Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja yang mampu menarik investor untuk masuk ke Indonesia. 

Salah satunya, kata dia, adalah kepastian hukum dalam rangka pemberian jaminan sosial bagi pekerja.

"Saya kira ada beberapa kejelasan dalam beberapa poin dalam RUU Ciptaker bisa jadi menarik bagi investor seperti misalnya kepastian pemberian jaminan sosial bagi para pekerja," kata Yufus saat dihubungi Tagar, Rabu, 7 Oktober 2020.

Jadi memang saya kira masih ada pekerjaan rumah pemerintah dalam mengundang investasi bahkan setelah UU disahkan nanti.

Baca juga: Luhut Endus Ada Kepentingan Pilpres 2024 dalam Demo Cipta Kerja

Di sisi lain, kata Yusuf, ditariknya beberapa wewenang pemerintah daerah ke pemerintah pusat juga berpotensi merampingkan regulasi birokrasi. Kondisi demikian yang akan memperbaiki alur koordinasi yang selama ini kadang tidak sinkron antara pemerintah pusat dan daerah. 

"Saya kira ini sebagai poin yang bisa menjadi sentimen positif bagi pelaku usaha," ucapnya.

Yusuf Rendy ManiletEkonom CORE Indonesia, Yusuf Rendy Manilet. (Foto: Dokumentasi CORE Indonesia).

Yusuf mengatakan argumen pemerintah yang menyebut dengan adanya UU Cipta Kerja dapat mendorong masuknya investasi perlu disampaikan secara hati-hati. Pasalnya, kata dia, mengingat pertimbangan pemilik modal untuk melakukan investasi di suatu negara yang sangat beragam.

Menurutnya ada faktor lainnya, seperti prospek dan stabilitas ekonomi, ongkos logistik, stabilitas politik, hukum, dan HAM, serta ketersediaan bahan baku, dan lain-lain. 

"Jadi memang saya kira masih ada pekerjaan rumah pemerintah dalam mengundang investasi bahkan setelah UU disahkan nanti," kata Yusuf.

Kendati demikian, perlu pengawasan yang ketat dalam kebijakan penarikan kewenangan ke pusat. 

Sebelumnya, di sisi lain, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan standar negara maju dalam berinvestasi. Menurut dia, investor kakap juga mengirim surat keberatan atas pengesahan UU Cipta Kerja karena berdampak negatif bagi lingkungan hidup."Proses pengawasan harus ditingkatkan agar tidak mengenyampingkan prinsip good goverance," ujar Yusuf.

Sebelumnya, di sisi lain, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira menilai UU Cipta Kerja tidak sesuai dengan standar negara maju dalam berinvestasi. Menurut dia, investor kakap juga mengirim surat keberatan atas pengesahan UU Cipta Kerja karena berdampak negatif bagi lingkungan hidup.

"Padahal standar negara maju dalam berinvestasi sangat ketat terkait lingkungan hidup," kata Bhima saat dihubungi Tagar, Selasa, 6 Oktober 2020.

Baca juga: Di UU Cipta Kerja Izin AMDAL Tetap Ada Namun Disederhanakan

Jika prinsip dasar tersebut diturunkan standarnya dalam UU Cipta Kerja, kata Bhima, maka sulit mengharapkan adanya investasi besar dari negara maju. 

"Sekali lagi, keluarnya dana asing dan nota protes dari investor sebagai tanda adanya ketidakpercayaan bahwa omnibus law adalah solusi menarik investasi dan pemulihan ekonomi di tengah resesi," ucapnya. []

Berita terkait
Perbedaan Cipta Kerja dan UU Ketenagakerjaan Nomor 23/2003
Undang-Undang Cipta Kerja khususnya klaster ketenagakerjaan dianggap merugikan kepentingan buruh.
Perbandingan Pesangon UU Cipta Kerja dengan Negara Lain
Hak besaran pesangon untuk pekerja atau buruh yang terkena pemutusan hubngan kerja (PHK) dalam UU Cipta Kerja menuai kritikan tajam.
Pantau UU Cipta Kerja, Pengamat: Lihat Dulu Efeknya Nanti
Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich menilai UU Cipta Kerja harus dilihat ke depan apakah mampu atau tidak menarik investor.