Cerita Guru di Desa Terpencil di Tengah PSBB

Para guru yang mengajar di desa terpencil, pembelajaran online saat pembatasan sosial berskala besar (PSBB) merupakan suatu yang sulit diterapkan.
Rahima Malik, guru honorer bersama murid-muridnya di sekolah dasar umum Folangkai di Pulau Alor di Nusa Tenggara Timur. (Foto: Koleksi Pribadi|CNA).

Pemerintah menerapkan sistem pembelajaran online selama pembatasan sosial berskala besar (PSBB) untuk menekan penyebaran Covid-19. Namun untuk guru yang mengajar di sekolah di desa-desa terpencil, seperti Rahima Malik, sulit untuk menerapkan pembelajaran online kepada murid-muridnya

Rahima Malik sejak kecil bercita-cita menjadi seorang guru. Untuk meraih mimpinya, wanita berusia 29 tahun itu menempuh pendidikan di fakultas sastra jurusan sastra Indonesia. Cita-citanya tercapai juga, meskipun hanya menjadi guru honorer di sekolah dasar umum Folongkai di kota kelahirannya di Desa Wolwal Tengah di Pulau Alor, Provinsi Nusa Tenggara Timur.

Empat tahun mengajar, membuat Rahima sadar bahwa menjadi seorang guru bukan pekerjaan gampang dan penuh tantangan. Terutama selama pandemi Covid-19. Pemerintah menutup kegiatan belajar di sekolah untuk memperlambat penyebaran virus.

Praktis selama hampir dua bulan setelah pemerintah menginstruksikan penutupan sekolah dan memberlakukan pembelajaran online, Malik belum pernah melakukan interaksi lagi dengan 11 siswa kelas tiga tempat ia mengajar. Meskipun tidak ada kasus positif Covid-19 yang dilaporkan di desanya yang terpencil, sekolah yang dibangun dengan batu bata, anyaman bambu dan terpal besi harus ditutup. 

Kepada Channel News Asia (CNA), Rahima mengatakan memberlakukan pembelajaran online untuk anak-anak yang tinggal di desa terpencil merupakan suatu yang mustahil bisa diterapkan. "Saya tidak bisa memberikan pelajaran secara online kepada murid-murid karena mereka tidak punya smartphone dan laptop," katanya.

Baca Juga: PSBB Tak Diperpanjang, Malang Raya Sambut New Normal

Ruang KelasRuang kelas yang sangat sederhana tempat Rahima Malik mengajar di sekolah dasar umum Folangkai di Pulau Alor, NTT. (Foto: Koleksi Pribadi|CNA).

Menurutnya, warga Desa Wolwal hidup dalam kemiskinan. "Untuk memenuhi kebutuhan primer saja mereka kesulitan, apalagi untuk memiliki smartphone dan jaringan internetnya," tutur Rahima.

Dengan keterbatasan itu, tak mungkin bagi Rahima untuk menerapkan sistem pembelajaran online kepada kesebelas muridnya selama pembatasan sosial. Ia harus mendatangi rumah mereka satu per satu. Ia berjalan kaki dari satu rumah murid ke yang lain memberikan materi pelajaran dan latihan soal.

Pemerintah menyediakan modul pembelajaran online yang ditayangkan di TVRI untuk memudahkan siswa belajar di rumah selama PSBB. Namun Desa Wolwal yang terpencil tidak bisa menangkap siaran TVRI

Rahima menuturkan, para muridnya tetap semangat mengerjakan semua tugas sekolah. Mereka tak keberatan harus belajar di rumah selama sekolah ditutup. Namun mereka sebenarnya ingin bisa segera belajar kembali di sekolah. "Saya rindu mengajar. Para murid sering membuat kami tertawa dengan humor dan canda mereka," ucapnya.

Menurut Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ada sekitar 3,1 juta guru yang terdampak pandemi Covid-19. Pemerintah menyediakan modul pembelajaran online yang ditayangkan di TVRI untuk memudahkan siswa belajar di rumah selama PSBB. Namun menurut Rahima, desanya tidak bisa menangkap siaran TVRI. "Di desa ini, hanya bisa menangkap dua siaran televisi swasta," ucapnya.

Guru di sekolah dasar umum FolangkaiPara guru sekolah dasar umum Folangkai di pulau Alor, NTT Timur saat foto bersama di depan sekolah mereka. (Foto: Koleksi Pribadi|CNA).

Menjadi guru honorer di desa terpencil, Rahima hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 150 ribu setiap tiga atau enam bulan sekali

Sebagai guru honorer, gaji Rahima berasal dari dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah), program pemerintah psat untuk membantu pendanaan biaya operasional sekolah dalam kegiatan belajar mengajar. Beruntung bagi guru honorer seperti Rahima, penyaluran dana BOS tidak mampir dulu ke dinas pendidikan, tapi langsung ke sekolah sehingga pembayaran gaji mereka bisa lebih cepat.

Menjadi guru honorer, Rahima hanya mendapatkan gaji sebesar Rp 150 ribu setiap tiga atau enam bulan sekali. Padahal upah minimum di Nusa Tenggara Timur untuk tahun 2020 sebesar Rp 1,95 juta per bulan. Namun ia pasrah dengan gaji yang diterima meskipun sangat jauh dari kata layak.

"Apa yang bisa saya katakan. Daripada ilmu saya tidak bermanfaat, lebih baik saya melayani anak-anak desa saya agar mereka bisa meraih masa depan yang lebih baik dan bisa mengubah desa yang miskin ini menjadi lebih baik, meskipun dengan upah yang sangat rendah," ucap Rahima.

Rahima mengaku dapat bertahan hidup dengan gaji rendah karena orang tuanya merupakan petani dan mereka hidup sederhana di desa. Sebelum wabah Covid-19 merebak, ia mencari kemiri di pegungungan setiap hari Sabtu dan menjualnya ke pasar untuk tambahan biaya kebutuhan hidup.

Saat pandemi ini, Rahima mencari biji kopi, memanggang dan menggiling menjadi bubuk kopi di sela-sela menilai pekerjaan sekolah murid-muridnya. Dari menjual bubuk kopi, ia mendapatkan bayaran Rp 5.000 hingga Rp 10.000 per hari. Sejak Januari lalu, ia mendapatkan bantuan sosial dan dana kemanusiaan dari sebuah LSM sebesar Rp 500 ribu per bulan dan terkadang juga mendapatkan bantuan bahan makanan pokok.

Lain lagi cerita Ridwan Sitorus (30 tahun), seorang guru pada taman pendidikan al Qur'an (TPA) swasta di Kabupaten Toba Samosir, Provinsi Sumatera Utara juga terimbas COVID-19. Guru disabilitas ini telah mengajar baca dan tulis Al Qur'an selama 10 tahun.

Sebelum pandemi, Ridwan memiliki sekitar 20 siswa, mulai dari anak-anak pra-sekolah hingga anak-anak sekolah menengah. Ia mengajar di TPA sejak tahun 2017. TPA yang lokasinya hanya berjarak 200 meter dari rumahnya dibangun oleh sebuah LSM yang berfokus pada pendidikan Islam dan pembelajaran Al Qur'an.

Ridwan SitorusRidwan Sitorus, guru disabilitas yang mengajar di TPA di Toba Samosir, Sumatera Utara, juga terimbas Covid-19. (Foto: Koleksi Pribadi|CNA).

Sejak pandemi, LSM itu memutuskan untuk menutup TPA dan mengalihkan pada pembelajaran online untuk mematuhi aturan pembatasan sosial. Namun menurutnya, ia tidak bisa menerapkan pembelajaran online karena sebagain siswa tingga di daerah yang tidak memiliki konektivitas internet sama sekali.

"Beberapa orang tua mereka juga miskin. Untuk itu, saya memutuskan mengunjungi mereka satu per satu di rumah meskipun hanya sebentar," kata Ridwan kepada CNA.

Warga di Toba Samosir berusaha mencegah penyebaran Covid-19 dengan meminimalkan kontak manusia. Warga hanya diizinkan untuk mengunjungi satu sama lain selama lima menit, meskipun tidak ada kasus positif.

Karena Ridwan  seorang guru, ia diijinkan menemui murid-muridnya hingga 30 menit. Mengunjungi satu per satu murid menjadi tantangan tersendiri bagi Ridwan karena ia mengandalkan bantuan temannya utuk mengantar dengan sepeda motor dari satu desa ke desa lain. Tidak ada bus atau angkutan umum lain untuk konektivitas di desa-desa terpencil ini.

Ia memprioritaskan anak-anak prasekolah dan anak sekolah dasar karena siswa yang lebih tua kebanyakan dapat belajar sendiri. Beberapa siswa sekolah menengah juga memiliki ponsel sehingga bisa berkomunikasi. Ridwan mengunjungi sekitar 10 rumah seminggu. "Siswa memahami bahwa Covid-19 berbahaya, sehingga mereka tidak keberatan dengan pengaturan pembelajaran yang baru," katanya.

Ridwan SitorusRidwan Sitorus (berbaju coklat), saat mengajar di TPA selama 10 tahun. (Foto: Koleksi Pribadi|CNA).

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim mengaku tantangan yang dihadapi banyak guru di Indonesia dalam sistem pembelajaran online. "Solusinya memang tidak mudah untuk dituntaskan karena menyangkut masalah infrastuktur," ucapnya dalam sebuah konferensi pers beberapa waktu lalu. Untuk itu menurutnya perlu ada sinerji dengan kementerian lain untuk mengatasi kendala tersebut. 

Rahima Malik, guru honorer di desa terpencil di Wolwal Tengah, NTT berharap bisa mengajar normal lagi di sekolah bila aturan PSBB dilonggarkan. "Saya ingin mengajar mareka lagi karena saya sangat merindukan mereka, dan suasana sekolah," tuturnya.[]


Berita terkait
Gelar Aksi Kamisan Saat PSBB Diancam 4 Bulan Penjara
Empat orang pemuda diancam kurungan empat bulan penjara karena nekat menggelar aksi demonstrasi Kamisan saat diberlakukan PSBB di Riau.
PSBB Sumbar Berhasil Tekan Laju Perantau 30 Persen
Pelaksanaan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di Sumatera Barat berhasil menurunkan laju perantau hingga 30 persen.
Surabaya Raya Sepakat Perpanjang PSBB Jilid III
Gubernur Jatim mengeluarkan surat perpanjangan PSBB jilid III selama 14 hari mulai 26 Mei hingga 8 Juni dan dapat diperpanjang kembali.