Belajar Toleransi di Ponpes Roudhatus Sholihin Demak

Ponpes Roudhatus Sholihin di Demak mengajarkan arti toleransi sesungguhnya ke para santri dan santriwatinya. Bhinneka Tunggal Ika dipraktikkan.
Seorang santri mencium tangan penganut agama penghayat di Padepokan Wulan Tumanggal, Perguruan Trijaya, Tegal, belum lama ini. Toleransi dipraktikan di kehidupan Ponpes Roudhotus Solihin Demak. (Foto: Tagar/Sigit Aulia Firdaus)

Semarang - Pendidikan toleransi di Pondok Pesantren (Ponpes) Roudhatus Sholihin Demak, Jawa Tengah bukan sekadar retorika. Lewat program studi lintas agama, para santri diajak untuk mengenal arti sesungguhnya kerukunan, menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. 

Dengkur burung hantu bersaut dengan gemercip kolam. Desir angin malam berhembus pelan menggoyang dedaun pohon beringin di tengah padepokan. Pijar lampu neon malam itu menerangi sejumlah bangunan dengan ornamen dan nama-nama Jawa. Suasana sunyi senyap.

Jam masih berdetak, menunjukkan menit ke 10 dari pukul 21.00 WIB. Seorang pria berpakaian Jawa dengan blankon, baju beskap, beserta bawahan kain jarik yang dililitkan pada ikat pinggang, keluar dari balik pintu. Dia, laki-laki yang masih belum bisa disebut kaya akan garis keriput. Sorot matanya lurus ke depan.

"Rombongan sudah tiba." Terdengar suara seseorang memberitahu.  Tamu yang dinanti telah tiba di tanah penghayatan. Sejurus kemudian, sejarak 100 meter dari tempatnya berdiri, tepatnya di depan gerbang masuk pedepokan sebuah bus berkapasitas 50 penumpang berhenti. 

Temaram cahaya malam memperlihatkan puluhan bocah berusia belasan tahun dengan mengenakan sarung, peci, dan hijab bagi perempuan turun secara bergantian.

Malam itu, menjadi malam bertemunya dua yang beda. Kepercayaan yang berbeda bertemu, menjalin persaudaraan dan membangun kebhinekaan. Ponpes Roudhotus Sholihin Demak, secara sengaja melakukan studi lintas agama ke pusatnya kerohanian agama penghayat, Padepokan Wulan Tumanggal Perguruan Trijaya di Kabupaten Tegal

Perlu ditanamkan pada anak-anak, menerima perbedaan itu bukan hanya sekedar memahami.

Langkah kaki 36 santri berjalan ke arah aula padepokan. Suasana ternyata tak sesepi yang dikira. Di sana, puluhan penghayat dari berbagai daerah sudah menunggu kedatangan mereka. Kunjungan tersebut ternyata juga bebarengan dengan rentetan acara peringatan ulang tahun ke-54 Perguruan Trijaya yang jatuh pada Minggu, 2 Februari 2020.

Ramah-tamah berlangsung hampir dua jam dipandu oleh pembina Perguruan Trijaya, Romo Anom Jatmiko Aditya Panji Laksono atau Kanjeng Raden Arya Suryaningrat Kaping Kalih.

Rombongan santri yang masih duduk di bangku SMP kemudian beristirahat di pondok-pondok yang telah disediakan. Namun, malam tak benar-benar tenggelam di tempat itu. Setelah tengah malam lewat, kehidupan kerohanian di Padepokan yang terletak di Lereng Gunung Slamet ini seolah baru dimulai.

Malam itu bertepatan juga dengan malam Supit, Jumat Legi, salah satu malam ritual yang rutin dilaksanakan setiap bulan. Malam Jumat Legi diyakini menjadi waktu terbaik untuk melakukan sujudan, permohonan kepada Sang Pencipta. Hasil pertapaan pendiri Padepokan Trijaya, Romo Guru Kanjeng Pangeran Arya Esno Kusnodho Suryaningrat selama 40 hari 40 malam menguatkan hal itu.

Tagar bersama pengasuh Ponpes Roudhatus Sholihin, KH Abdul Qodir dan seorang ustaz berkesempatan mengikuti prosesi peribadatan malam Supit. Di lahan seluas dua hektar itu, kami berjalan sekitar 200 meter menuju pasujudan. 

Tak sembarang orang diperbolehkan memasukinya. Sejumlah pantangan harus dipatuhi. Di antaranya, tidak mengenakan kaos maupun pakaian berwarna hijau dan merah, alas kaki, serta benda-benda yang mengandung logam.

Sebelum masuk ke pasujudan, orang-orang membersihkan tangan, kaki, wajah, dan sebagian kepala di aliran mata air Gunung Slamet. Tempat peribadatan itu ternyata tak seperti yang dibayangkan. Bukan bangunan layaknya masjid, gereja, atau pura dan biara. Tempat tersebut, hanya berupa hamparan tanah seluas 15 x 7 meter, di sebuah lereng bukit yang diratakan.

Para penghayat kemudian duduk bersila di atas tikar beralaskan tanah. Angin malam berembus membawa bau kemenyan. Bau itu pula yang menandai peribadatan dimulai. Prosesi tersebut berlangsung dari pukul 02.00 hingga 04.00 WIB. Dengan gerak tangan, tubuh, dan kepala yang dipimpin seorang guru, penghayat memanjatkan doa pada sang pencipta.

“Para santri tidak kami ajak. Mereka belum siap,” kata KH Abdul Qodir.

Bukan Kali Pertama

toleransi2Para santri belajar Bhinneka Tunggal Ika di salah satu monumen di Padepokan Wulan Tumanggal. (Foto: Tagar/Sigit Aulia Firdaus)

Kegiatan berkunjung ke rumah ibadah penganut agama yang berbeda memang telah dilakukan Ponpes Roudhotus Sholihin sejak enam tahun terakhir. Pada tahun 2014 Ponpes mengunjungi sekolah calon romo Katolik setingkat SMA di Seminari Menengah Mertoyudan Magelang

Lalu, di tahun berikutnya mengunjungi Biara Budha Mendut Magelang, Gereja St. Theresia Bongsari Kota Semarang. Dan sebelum ke Padepokan Wulan Tumanggal, mereka terlebih dahulu mengunjungi Yayasan Pius Cabang Bruder Karitas, salah satu lembaga pendidikan yang dikelola oleh umat Katolik di Purwokerto

Abdul Qodir mengatakan kunjungan yang dilakukan adalah upaya mengenalkan santrinya kepada saudara-saudaranya yang berbeda agama. Ia ingin menekankan bahwa Indonesia berdiri atas keberagaman, suku, agama, dan etnis.

“Perlu ditanamkan pada anak-anak, menerima perbedaan itu bukan hanya sekedar memahami. Karena jika cuma memahami, cukup dipahami tanpa ada interaksi. Tak perlu sesrawung (berinteraksi). Kalau bisa take and give itu kan harus ada kontak komunikasi,” tutur dia. 

Kejadian yang sempat membuat ponpes ini viral, yakni pada akhir Desember 2019 lalu. Ketika itu, Abdul Qodir mengajak santrinya untuk mengiringi lagu gereja dalam perayaan Natal di Gereja Mater Dei, di Kelurahan Lamper Kidul, Semarang Selatan, Kota Semarang.

Pada saat prosesi peribadatan, kami di luar makan soto.

Meski mendapat sanjungan, tak sedikit pula yang mengecam kegiatan itu sebagai sebuah bentuk toleransi yang kebablasan, lengkap dengan dalil agama. Abdul Qadir sadar dengan keadaan itu. Sejak pertama kali mengadakan kunjungan ke rumah ibadah agama yang berbeda, banyak pihak yang kemudian salah paham dengan kegiatan yang dilakukan. 

Justifikasi seperti menggadaikan agama, memurtadkan santri, kerap kali ia dapatkan bahkan dari tokoh agama yang sama. “Seringnya menuduh tanpa pernah mau tabayun. Jadi ngomongin saya di belakang tapi saat bertatap muka itu manis-manis semuanya,” ujarnya sembari menyunggingkan senyum kesabarannya.

Persepsi publik yang dinilai salah itu juga terjadi di sejumlah pemberitaan di media. Sejumlah media memberitakan bahwa santrinya mengiringi misa gereja. Ia membantahnya. Pada waktu itu, santrinya hanya mengiringi sejumlah lagu gereja sebelum prosesi misa dimulai.

“Pada saat prosesi peribadatan, kami di luar makan soto,” katanya.

Ponpes yang dipimpinnya berada di sebuah desa, di tengah masyarakat yang 100% adalah muslim. Meski begitu, Abdul Qodir mengaku tak pernah mendapatkan komplain dari wali santrinya saat mengadakan tur studi lintas agama.

“Kami selalu sampaikan ke wali murid mengenai program yang ada, selalu kami sampaikan. Sampai saat ini kami tidak pernah ada respon negatif. Kami komunikasi terbuka,” ujarnya.

Menyebar Doktrin Toleransi

toleransi2Yayasan Ponpes Roudhatus Sholihin di Desa Loireng, Kecamatan Sayung, Kabupaten Demak. (Foto: Tagar/Sigit Aulia Firdaus)

Ponpes Roudhotus Sholihin berdiri sejak 1981. Di atas lahan kurang dari satu hektar di Desa Loireng, ponpes ini fokus mencetak kader-kader penghafal Alquran. Kegiatan mengunjungi rumah ibadah agama yang berbeda baru dilakukan pada 2014, berbarengan ketika memiliki lembaga pendidikan formal tingat menengah pertama dan atas.

Meski begitu, Abdul Qadir mengatakan nilai toleransi telah ditanamkan almarhum ayahnya, sewaktu jadi pengasuh. Ia mencontohkan, saat duduk di bangku sekolah setingkat SMA di Yogyakarta, sering diajak gurunya yang menganut agama Kristen Protestan ke gejera. 

Pada waktu kecil saya diajak ke gereja oleh guru saya dan itu diizinkan oleh bapak.

Ajakan tersebut selalu diceritakan Abdul Qadir kecil kepada ayahnya, namun tak pernah ada larangan. “Pada waktu kecil saya diajak ke gereja oleh guru saya dan itu diizinkan oleh bapak,” ujarnya.

Ketika ayahnya meninggal, tampuk tanggung jawab ponpes ada di pundaknya. Waktu itu, Abdul Qodir menginginkan supaya santrinya memiliki pengalaman yang sama seperti yang diperoleh sewaktu kecil.

“Saya merasa perlu menanamkan nilai-nilai dan semangat toleransi itu kepada santri-santri saya. Dan itu saya terapkan dalam bentuk visi pesantren dan sekolah yang inklusif,” jelasnya.

Anak pertama dari enam bersaudara itu tak berpikir pendek. Ia merajut mimpi ke depan ketika santri-santrinya telah beranjak dewasa dan hidup di lingkungan yang heterogen, di mana tuntutan penghargaan terhadap keberagaman merupakan sebuah keniscayaan.

“Saya tidak berpikir bahwa pondok di desa kok pakai seperti itu, tidak, saya berpikirnya ke depan. 10 tahun ke depan mereka bisa jadi tidak akan tinggal di daerah masing-masing,” ujarnya.

Abdul Qodir tak melakukan sesuatu tanpa dasar. Dalam kaitannya berinterkasi dengan penganut agama lain ia juga mempunyai landasan dalil dari Alquran

Ia menyebutkan surat Almuntahanah ayat delapan yang artinya, Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.

Lalu, pada ayat sembilan berbunyi, sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan mereka kawanmu orang-orang yang memerangi karena agama dan mengusir kalian dari kampung halamanmu dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Barang siapa yang menjadikannya mereka sebagai kawan, mereka itulah orang-orang yang zalim.

“Apakah mereka di sini memerangi kita? Kan tidak. Jadi tidak ada larangan untuk kita berbuat baik,” tegasnya.

Ubah Cara Pandang

toleransi4Sejumlah pengasuh Ponpes Roudhatus Sholihin dan para romo guru Padepokan Wulan Tumanggal saling bertukang Pikiran. (Foto: Tagar/Sigit Aulia Firdaus)

Ponpes Roudhatus Sholihin telah menjadikan tur studi lintas agama sebagai program tahunan. Selain program tersebut, tak jarang Ponpes ini mendapatkan undangan dari gereja maupun klenteng untuk mengikuti acara yang diadakan mereka.

Pengalaman berinteraksi dengan penganut agama yang berbeda sedikit banyak mengubah cara pandang santri yang mengikuti kegiatan tersebut. Nadia Rahmawati salah satu santri perempuan adalah salah satu contohnya.

Sebelumnya, saat melihat seseorang yang secara keyakinan berbeda dengan dirinya, ia selalu berfikir negatif. Pandangan seperti mereka adalah musuh Islam masih melekat dalam pikirannya. Namun, hal tersebut berubah saat dirinya mengenal lebih jauh penganut agama dan aliran kepercayaan lain.

 Ibu-ibu suster gereja datang memayungi kami. Itu sangat berkesan bagi saya.

Pengalaman yang tak akan dilupakannya, ketika mengikuti kegiatan di pelataran Gereja St Theresia Bongsari Kota Semarang. Waktu itu, ia diajak pengasuhnya untuk mengikuti kegiatan berdoa bersama bagi para korban dan pelaku pengeboman di Srilanka pada April 2019. 

Malam itu, Kota Semarang diguyur hujan ringan. Saat dirinya bersama santri lain turun dari mobil, sejumlah suster gereja langsung menghampiri dengan membawa payung. “Kami baru sampai di parkiran. Ibu-ibu suster gereja datang memayungi kami. Itu sangat berkesan bagi saya,” kata santri yang saat ini duduk di kelas 2 Madrasah Aliyah itu.

Nadia sapaan akrabnya telah tiga kali mengikuti kegiatan tur studi lintas agama. Tak hanya mengubah cara pandang, kegiatan tersebut juga membuat dirinya memiliki teman-teman yang secara keyakinan berbeda. Sampai saat ini, ia mengaku masih sering berhubungan via handphone.

Meski begitu, diakuinya tak jarang dirinya mendapat cibiran dari sejumlah temannya di luar Ponpes Roudhatus Sholihin. “Kok gitu sih, muslim kok mengunjungi gereja. Saya katakan, walaupun kita beda secara agama namun tetap sama dalam kemanusiaan,” ujar dia.

Bagaimana Nabi Memberi Contoh

toleransi5Peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama Semarang Joko Tri Haryanto menjelaskan bagaimana sikap Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan penganut agama lain. (Foto: Tagar/Sigit Aulia Firdaus)

Sejak dulu, perdebatan hukum masuk ke rumah ibadah lain di lingkup masyarakat Muslim seolah tak pernah selesai. Padahal, tidak ada larangan dalam Alquran dan hadis yang secara tegas melarang muslim masuk gereja atau rumah ibadah lain. Karena itu, perkara ini masuk ke wilayah interpretasi atau penafsiran para ulama.

Akademisi Islam dari UIN Walisongo Semarang, Dr Hasyim Muhammad mengakui selama ini ada perbedaan pendapat di kalangan ulama Islam mengenai hukum masuk rumah ibadah penganut agama dan aliran kepercayaan lain.

Ulama mazhab Hanafi berpendapat makruh. Sebagian ulama mazhab Syafi’i berpendapat tidak boleh, kecuali ada izin. Sebagian ulama mazhab Syafi’i yang lain berpendapat boleh meski tanpa ada izin dari umat atau pengelola rumah ibadah. 

Ulama mazhab Hambali berpendapat boleh bahkan untuk melakukan salat di dalamnya, tapi hukumnya makruh jika di dalamnya ada gambar. “Tidak ada imam mazhab yang mengharamkan sama sekali. Tapi kalau yang berpendapat makruh ada,” kata saat ditemui di kantornya, Senin, 15 Maret 2020.

Meski begitu, sebagian ulama menghukumi makruh jika di tempat tersebut terdapat gambar atau patung, semisal gambar Isa Almasih atau patung Buddha.

"Masak hari ini kita masih mempermasalahkan orang masuk gereja, padahal ulama klasik sudah membahas soal hukum saalat di gereja atau tempat ibadah agama lain," ujar Dekan Fakultas Ushuluddin dan Humaniora itu.

Hanya saja pada masa periode Nabi Muhammmad SAW hidup di Makkah, Kakbah waktu itu masih dipenuhi dengan barbagai macam berhala. Dikatakannya, nabi pada waktu itu beribadah di Kakbah meski terdapat berhala milik kaum Quraisy.

“Pada masa nabi, nabi biasa itu ibadah di Kakbah meski pada waktu itu ada gambar dan banyak patung. Ini yang menjadi rujukan ulama yang tidak melarang sama sekali. Baik ada gambarnya maupun tidak ada gambaranya,” jelasnya.

Jika kita mengkafirkan orang lain, itu sama halnya kita mendudukkan diri kita seperti Tuhan.

Hasyim melanjutkan, di lingkungan masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia, tindakan mengkafirkan orang lain harus lebih hati-hati digunakan. Hasyim menegaskan yang mengetahui seseorang kafir atau tidak hanyalah Tuhan.

“Jika kita mengkafirkan orang lain, itu sama halnya kita mendudukkan diri kita seperti Tuhan,” katanya.

Karena itu, ia meminta sejumlah pihak yang menjustifikasi kegiatan di Ponpes Roudhatus Sholihin untuk melakukan tabayun atau klarifikasi terlebih dahulu. Usai klarifikasi, mereka boleh sepakat maupun tidak sepakat atas kegiatan ponpes itu.

“Untuk bersikap tidak sepakat itu juga harus didahuli dengan tindakan klarifikasi. Kalau asal tidak sepakat itu juga tidak benar,” ucapnya.

Di tempat berbeda, peneliti di Balai Penelitian dan Pengembangan Agama (Balitbang) Semarang, Joko Tri Haryanto menyatakan cara pandang yang dimiliki Ponpes Roudhatus Sholihin terbilang cukup maju meski terletak di sebuah desa.

Menurutnya, dalam konteks ke-Indonesian kegiatan tersebut sama sekali tidak menyalahi aturan apapun baik, aturan pemerintah maupun aturan agama. “Kegiatan seperti itu harus lebih diarusutamakan,” katanya, Jumat, 20 Maret 2020.

Joko pun menjelaskan bagaimana sikap Nabi Muhammad dalam berinteraksi dengan penganut agama lain. Semasa hidup, sikap nabi sangat tergantung dengan situasi yang terjadi. Secara umum, sikap nabi dapat dibagi menjadi dua. Pertama, sikap nabi dalam kondisi perang dan sikap nabi dalam kondisi damai.

Dua situasi tersebut akan sangat mempengarui hadis yang turun pada waktu itu. Joko mencontohkan, dalam situasi perang misalnya nabi pernah bersabda, barang siapa yang keluar dari agamanya (Islam) maka bunuhlah.

Jika ayat tersebut dipahami hanya sebatas teksnya saja, tanpa melihat konteks atau situasi akan terjadi kesalahpaham yang berbuah bencana di kehidupan manusia. 

Menurutnya, konflik antar agama yang selama ini terjadi lantaran kesalahpahaman umat beragama dalam memahami pedomannya. Pemahaman atas sebuah teks, termasuk ayat suci, semestinya dipahami konteks bagaimana ayat tersebut turun. Hal itu akan mengambil peran banyak dalam sebuah interpretasi.

“Ayat tersebut turun dalam situasi perang. Konteksnya adalah jika orang keluar dari agama Islam pada waktu itu bisa jadi ia akan membocorkan strategi perang dalam pasukan Islam. Hampir sama seperti pengkhianat,” jelasnya.

Terlepas perdebatan kebenaran versi yang ada, tur studi lintas agama Ponpes Roudhatus Sholihin terbukti telah menjadi gerbang awal para santri memahami keberagaman kehidupan. Kegiatan ini telah menciptakan ikatan mesra. 

Pada 20 Februari 2020 lalu, Padepokan Wulan Tumanggal juga berkunjung ke Ponpes Loireng. Dan di setiap peringatan Isra Mikraj, atau Idul Fitri, selalu pula ada kunjungan dari gereja atau klenteng ke ponpes tersebut. []

Baca juga: 

Berita terkait
Tabuhan Rebana Santri Iringi Misa Natal di Semarang
Tabuhan rebana dari Ponpes Roudlotul Silihin Demak mengiri perayaan Natal di gereja Mater Dei Semarang.
Cerita Muhammad dan Yesus di Acara Natal GAMKI
Wakil Duta Besar Palestina bercerita tentang Nabi Muhammad dan Yesus Krestus di acara Rakernas dan perayaan Natal Nasional GAMKI di Surabaya.
Sidak Gereja, Ganjar Disambut Santri dan Suster
Suasana penuh toleransi ditemukan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo saat sidak ke sejumlah gereja.
0
Investasi Sosial di Aceh Besar, Kemensos Bentuk Kampung Siaga Bencana
Lahirnya Kampung Siaga Bencana (KSB) merupakan fondasi penanggulangan bencana berbasis masyarakat. Seperti yang selalu disampaikan Mensos.