Bayang-bayang Corona di Stasiun Manggarai Jakarta

Sejam lebih Winarso duduk di seberang jalan Stasiun Manggarai Jakarta, tapi ponselnya tak kunjung berbunyi. Semua ini karena bayang-bayang corona.
Bagian depan Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis, 19 Maret 2020 pukul 17.00. (Foto: Tagar/Edy Yuliansyah Syarif)

Jakarta - Sudah sejam lebih Winarso duduk di sebarang jalan Stasiun Manggarai Jakarta, Jumat sore, 19 Maret 2020. Namun, telepon seluler di tangannya tak kunjung berbunyi. Padahal dari situlah ia mencari penghidupan. Pria 50 tahun itu kemudian bergeser ke bangku halaman pos polisi stasiun. Setelah melempar pandang ke pintu stasiun, ia kembali melirik layar gadget.

“Biasanya di sini cepat bunyi, apalagi kalau sore begini,” kata Winarso kepada Tagar. Tapi hingga pukul empat sore, pesanan penumpang ojek online belum hinggap di aplikasi telepon genggamnya. 

Sebelum Pemerintah memberlakukan aturan ‘kerja di rumah’ untuk mencegah penyebaran virus corona Covid-19, kemacetan menjadi pemandangan saban sore di depan Stasiun Manggarai. Dengan sembilan pelintasan rel di dalamnya, Manggarai menjadi stasiun terbesar di Jakarta dengan tingkat kesibukan tertinggi di Indonesia.

Lebih tujuh ratus kereta melewati stasiun transit ini setiap harinya. Kereta terpadat mondar-mandir di pelintasan Bogor-Jakarta yang biasanya membawa satu juta penumpang per harinya.

Jika para pekerja telah beranjak keluar dari gedung-gedung pencakar langit pada sore hari, klakson mulai terdengar bertalu-talu di langit Manggarai. Ojek, bajaj, angkot hingga bus Transjakarta memadati jalan depan stasiun untuk sekadar menurunkan dan mengambil penumpang.

Namun sejak Senin, 16 Maret 2020, Winarso merasakan anomali. Stasiun Manggarai tampak tak seperti biasanya.

Ia memang mengetahui kabar virus asal China sedang memasuki Jakarta. Kabar itu disiarkan berbagai kanal televisi ketika Presiden Jokowi mengumumkan dua warganya positif terinfeksi corona Covid-19 pada Senin, 2 Maret 2020.

Dari dua orang, kasus ini kemudian berkembang begitu cepat. Dalam dua pekan, orang yang positif terinfeksi covid-19 di Jakarta menjadi 69. Menurut juru bicara Pemerintah Pusat untuk penanganan corona Achamad Yurianto, penularan tersubur melalui kontak fisik.

Penutupan tempat wisata, hiburan, dan sekolah pun diberlakukan Pemerintah Provinsi DKI. Dunia usaha diminta mempekerjakan karyawannya di rumah.

Di stasiun sekarang ini, ojolnya lebih banyak daripada penumpang.

Stasiun ManggaraiSituasi sepi dalam kereta di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis, 19 Maret 2020 pukul 11.00. (Foto: Tagar/Edy Yuliansyah Syarif)

Kabar beruntun dalam dua pekan itu sayup-sayup sampai ke telinga Winarso. Hanya saja, ia tak menyangka situasinya bakal seperti ini.

“Pasrah saja lah,” ujarnya. Sekali lagi, ia melemparkan pandangannya ke pintu stasiun hanya untuk memastikan masih ada orang yang keluar dari sana.

Winarso mendapatkan penumpang terakhir pada pukul sepuluh menjelang siang. Itulah penumpang ketiga sejak ia keluar rumah pukul tujuh pagi.

Setelah mengantarkan penumpang ketiga ke Cempaka Putih Jakarta Pusat, Winarso kembali ke Manggarai. Lama ia menunggu namun tak mendapatkan orderan.

Ia lalu berinisiatif keliling kota mencari penumpang. Ia menyambangi mal-mal, apartemen dan mencoba mendekati perkantoran. Hingga pukul satu siang, usahanya bagaikan mendirikan benang basah.

Angka pendapatan di aplikasinya tidak berubah. Masih Rp 56 ribu seperti pagi tadi.

Winarso kemudian mengeluarkan dua puluh ribu dari koceknya untuk mengisi bahan bakar motornya sebelum pulang ke rumahnya di Pisangan Baru, Jakarta Timur. “Makan siang di rumah dan istirahat sejam,” ujarnya.

Di rumah ia hanya bertemu putra bungsunya yang sedang belajar. Sejak 16 Maret 2020, Pemerintah DKI Jakarta meminta seluruh siswa belajar di rumah selama dua pekan untuk menghindari penularan wabah Covid-19.

Sementara istri Winarso masih bekerja seperti biasa. Sang istri bekerja sebagai pengasuh anak di salah satu rumah tak jauh dari kediamannya.

“Sebelum ke Stasiun Manggarai tadi pagi, saya sempat mengantarnya ke tempat kerja,” kata Winarso.

Ketika jarum jam menunjukkan pukul tiga sore, Winarso sudah berada di seberang Stasiun Manggarai lagi. Namun orderan keempat juga tak kunjung datang meski telah menanti sejam.

Sejak orang kantoran di Jakarta bekerja di rumah, pendapatan Winarso merosot tajam. Turun di bawah 50 persen dari pendapatan hari-hari normal.

Pada hari biasanya, ia dapat memperoleh 200 ribu lebih dalam sehari. Setiap pulang kerja sehabis magrib, ia dapat memberikan seratus ribu untuk istrinya. “Saya kasih untuk jajan dia,” katanya.

Namun hari-hari belakangan ini, itu tidak dapat dilakukan lagi. Winarso mengatakan istrinya memahami situasi yang menimpanya.

“Untungnya saya enggak ngerokok,” katanya tertawa. Sore itu, di trotoar jalan stasiun, Winarso hanya mengeluarkan duit enam ribu rupiah dari koceknya untuk segelas kopi dan dua kue.

Stasiun ManggaraiSudut sepi di Stasiun Manggarai, Jakarta, Kamis, 19 Maret 2020 pukul 11.00. (Foto: Tagar/Edy Yuliansyah Syarif)

Di sepanjang tepi jalan Manggarai, sejumlah pedangang kaki lima masih tetap mendirikan lapak. Meskipun pelanggannya tak seramai sebelumnya.

Babe – demikian pengemudi ojek daring menyapanya – masih tetap berjualan gorengan dan kopi seduhan di sebarang pintu stasiun Manggarai. Lapaknya masih kerap dikelilingi pengemudi ojek meskipun sering kali kembali sepi tanpa pelanggan.

Bisanya, Babe dapat meraup 300 ribu setiap harinya. Duit itu ia dapatkan setelah menggelar lapak pukul delapan pagi hingga sepuluh malam. “Sekarang, dapatnya cepe (seratus ribu),” ujar pria yang seluruh rambutnya telah memutih ini.

Pelanggan terbanyak Babe datang dari pengemudi ojek berjaket hijau-hijau. Dengan menyediakan bangku di sekeliling lapaknya, Babe ingin membuat para pengemudi nyaman beristirahat, mengobrol dengan rekan atau sekadar menunggu orderan masuk di gadgetnya.

“Tambahannya dari orang-orang pulang kerja yang belanja di sini,” ujar warga Manggarai ini.

Namun sore itu, bangkunya lebih sering kosong daripada terisi. Gorengannya pun masih tampak menumpuk di atas nampan meski matahari mulai condong ke barat.

“Di stasiun sekarang ini, ojolnya lebih banyak daripada penumpang,” kata Restu Nugraha, pengemudi ojol yang kerap mangkal di stasiun.

Jika keadaanya tak berubah, Restu pesimis dapat menghidupi anak dan istrinya yang tinggal di Kabupaten Bogor. Oleh karena itu, ia memiliki ancang-ancang untuk berpindah pekerjaan meski ia belum sepenuhnya yakin.

“Paling ujung-ujungnya jadi tukang bangunan, tapi properti juga sedang lesu sekarang,” ujarnya.

Sebelum pindah ke ojek online, Restu mencari rezeki lewat pembuatan kosen di rumah-rumah. Kini, ia membuka diri jika ada panggilan untuk kembali pada pekerjaan lama.

Ia menepis pendapat bahwa jumlah orderan makanan via ojek daring ke rumah warga meningkat selama masa tanggap darurat corona berlaku. Pendapat itu muncul lantaran masyarakat kini dianggap fokus mengurung diri di rumah demi mematuhi aturan kerja dan belajar di rumah.

“Ah enggak seperti itu, orang-orang malah pada keluar berlibur ke puncak. Ini mah liburan corona namanya,” kata pengemudi Gojek ini tergelak. []

Baca cerita lain:

Berita terkait
Menunggu Badai Corona Segera Berlalu
Pada masa social distancing, anak belajar di rumah, pegawai kerja di rumah, kegiatan ekonomi menurun. Semua berharap badai corona segera berlalu.
Keterbukaan 3 Wanita Cantik Pasien Positif Corona
Seorang ibu dan dua putri, Maria Darmaningsih, Sita Tyasutami dan Ratri Anindyajati, pasien positif corona yang sembuh. Mereka membuka diri.
Mungkin Takdir Kalau Kena Corona
Siang itu di Pasar Beringharjo Yogyakarta, jumlah pedagang lebih banyak dari pengunjung. Hari yang berat untuk mencari uang di tengah wabah corona.
0
Massa SPK Minta Anies dan Bank DKI Diperiksa Soal Formula E
Mereka menggelar aksi teaterikal dengan menyeret pelaku korupsi bertopeng tikus dan difasilitasi karpet merah didepan KPK.