Untuk Indonesia

Bantul dan Kisah Radikalisme

Nama Bantul Yogyakarta sudah lama dikenal karena intoleransinya yang membuat muak banyak orang.
Denny Siregar penulis buku "Tuhan dalam Secangkir Kopi"

Oleh: Denny Siregar*

Nama Bantul Yogyakarta sudah lama dikenal.

Bukan karena prestasinya di bidang keilmuan ataupun pariwisatanya yang go internasional. Tetapi justru karena intoleransinya yang membuat muak banyak orang.

Oktober 2018 lalu, Bantul heboh karena ada perusakan properti sedekah laut yang biasa digelar di Pantai baru. “Jam setengah 12 malam ada sekitar 50 orang datang dengan sejumlah motor, dua mobil dan ada satu mobil ambulans,” kata saksi mata.

Kelompok Islam radikal yang disebut "salafi jihady", menganggap acara sedekah laut yang sudah menjadi budaya itu sebagai aksi yang penuh kesirikan sehingga harus dibubarkan.

Sebelumnya, Januari 2018, sejumlah ormas garis keras yang berjumlah 50 orang seperti Front Jihad Islam (FJI), Forum Umat Islam (FUI) dan Majelis Mujahidin Indonesia datang ke arena bakti sosial untuk menolak acara karena menganggap itu bagian dari Kristenisasi. Untung saja ketika mereka datang acara belum digelar.

Dan jauh sebelumnya, bulan November 2016, tepat tiga hari sebelum aksi demo di Monas menolak Ahok, sebuah bom paku meledak di sawah di Bantul dan melukai seekor kerbau. Bom paku itu diperkirakan akan dibawa ke aksi 411 dan diledakkan di sana untuk menimbulkan kerusuhan.

Dan baru saja kita mendengar, seorang pelukis yang beragama Katolik dilarang tinggal di Dusun Karet Bantul.

Alasannya? Karena dia non muslim. Menurut tokoh di dusun itu, kebijakan melarang non muslim dan penganut kepercayaan tinggal di sana adalah "kearifan lokal". Sebuah kesepakatan dari warga karena mereka meniru konsep syariat di Aceh.

Ada apa dengan Bantul? Kenapa daerah di Yogyakarta itu menjadi radikal dan rasis?

Ini yang harus menjadi penanganan khusus aparat pemerintahan Yogyakarta dan kepolisian. Jangan hanya mendidik anak supaya toleran di sekolah, tetapi juga menindak keras para pelaku intoleransi dan radikalisme supaya tidak menjadi teroris kelak.

Bumi Indonesia ini boleh ditinggali oleh semua warga negara dengan tidak memandang suku, ras dan agama. Dan siapa pun yang melarang warga Indonesia yang sah bermukim di suatu wilayah harus mendapatkan ganjaran.

Jangan sampai apa yang terjadi di Bantul meluas ke banyak wilayah sehingga mereka dengan seenaknya sendiri menerapkan hukum syariat versi mereka.

Aparat harus turun tangan membasmi pemahaman radikalisme itu jangan sampai menjadi keyakinan warga awam yang akhirnya menjadi ajang balas dendam daerah dimana yang non muslim mayoritas. Jika dibiarkan, kebhinekaan negeri ini akan retak dan pecah satu saat.

Apakah tidak cukup alarm yang berdering keras di Bantul untuk membangunkan aparat supaya bertindak?

Ah, mau seruput pahit rasanya.

*Denny Siregar penulis buku Tuhan dalam Secangkir Kopi

Baca juga:

Berita terkait