Bantaeng - A'ngaru atau kerap disebut Angngaru, salah satu ritual adat Sulawesi Selatan. Berasal dari kata Aru yang berarti sumpah, ikrar atau janji untuk Sang Raja. A'ngaru ini sebutan bagi seseorang yang melakukan Aru.
A'ngaru berisi jiwa dan roh sakral, sehingga melakukannya tidak boleh sembarangan. Tradisi ini dikenal ketika seseorang berikrar kepada Raja dengan segala untaian kalimat-kalimat penuh makna dan harapan.
Para jagoan atau petarung kerajaan dulu bersumpah kesaksian hidup dan mati serta setia kepada Rajanya. Itulah yang dinamakan dengan A'ngaru
Sore itu, Sabtu 21 Desember 2019, langit Bantaeng diselimut awan hitam. Satu persatu orang berjalan memasuki Taman Purbakala Kompleks Makam La Tenri Ruwa dan Makam Raja-Raja Bantaeng di Jalan Pemuda kelurahan Pallantikang, kota kecamatan Bantaeng.
Ada yang datang sendiri, sebagian lagi bergandeng tangan, ada pula yang tiba bersama rombongan. Mereka merupakan tamu dalam diskusi Kampung Budaya Jilid 3 yang dihelat Komunitas Pakampong Tulen (KOMPLEN) yang mengangkat tema "A'ngaru" untuk persembahkan di HUT Kabupaten Bantaeng ke-765.
Kegiatan ini memang baik diinisiasi oleh komunitas, pemerintah juga akan terlibat namun dalam hal semisal memberi support.
Panggung aksi di sela-sela makam berdiri rapi, alas kain hitam digelar di atas rumput. Sebagian tamu langsung duduk, beberapa di antaranya berdiri dan ada juga sibuk mencari posisi.
Bupati Bantaeng, Ilhamsyah Azikin, tampak duduk bersila atau assulengka di barisan terdepan. Posisinya sama rata dengan tetamu lain yakni duduk di di atas rumput.
Ilhamsyah Azikin mengapresiasi ide komunitas tersebut. Dia juga berjanji akan terus mendukung kegiatan positif yang digeluti kaum muda itu.
"Kegiatan ini memang baik diinisiasi oleh komunitas, pemerintah juga akan terlibat namun dalam hal semisal memberi support," katanya ketika membuka secara resmi jelang diskusi berlangsung.
Menurut Ilham, diskusi budaya merupakan kegiatan baik dan akan berdampak positif untuk generasi ke generasi. Apalagi diskusinya dilakukan di ruang santai dan lepas seperti ini.
Bukan untuk Acara Sambutan
Diskusi persembahan komunitas yang eksis sejak tahun 2005 itu menghadirkan tiga narasumber. Pertama budayawan Imran Masoewalle, Syarifuddin Dg. Tutu juga budayawan dan Sulhan Yusuf, seorang tokoh literasi.
Membahas A'ngaru di Bantaeng berarti menggali kembali sejarah di Bantaeng.
Syarifuddin Dg. Tutu tampil mengenakan baju adat berwarna merah lengkap dengan passapu merah atau kain yang dililitkan di kepala. Dia mengawali pemaparannya dengan melakukan sinrilik atau bertutur puitis berirama.
Dia menampilkan sinrilik pakesok-kesok, sembari mendendangkan sajak-sajak sejarah bercampur bahasa Indonesia dan bahasa daerah Makassar. Sinrilik memang kerap ditampilkan dalam acara-acara terbuka maupun tertutup.
"Para jagoan atau petarung kerajaan dulu bersumpah kesaksian hidup dan mati serta setia kepada Rajanya. Itulah yang dinamakan dengan A'ngaru," katanya.
Sementara itu, Imran Masoewalle memaparkan lebih detail tentang pergeseran nilai dan makna A'ngaru yang disaksikan belakangan ini di tengah kehidupan bermasyarakat.
"Membahas A'ngaru di Bantaeng berarti menggali kembali sejarah di Bantaeng," katanya.
Menurutnya, A'ngaru pertama kali dilakukan oleh para Kare', yakni 7 orang sakti dari 7 daerah di kabupaten berjuluk Butta Toa itu. Ketujuh Kare' bertemu To Manurung atau seseorang yang dipercaya turun dari langit yang nantinya memimpin mereka semua.
Sekarang orang hajatan pengantin saja pakai A'ngaru. Acara sambutan Bupati pakai A'ngaru, lengkap dengan gerakan-gerakan seolah menghunus keris, ini sangat tidak etis.
Kepada To Manurung inilah ketujuh Kare' melakukan A'ngaru untuk mengabdikan diri mereka kepada Raja yang memimpin mereka itu. Namun yang kerap ditampilkan saat ini, sangat jauh berbeda dari esensi A'ngaru itu sendiri.
"Sekarang orang hajatan pengantin saja pakai A'ngaru. Acara sambutan Bupati pakai A'ngaru, lengkap dengan gerakan-gerakan seolah menghunus keris, ini sangat tidak etis," katanya dengan mempraktikkan sedikit gerakan A'ngaru yang menurutnya kurang etis.
Salah satu contoh yang pernah dilihat terkait hal itu ketika menyambut kedatangan Gubernur Sulsel dan Bupati Bantaeng di Balai Kartini pada Sabtu 7 Desember 2019, tepatnya pada perhelatan hari jadi Bantaeng.
Setelah melaksanakan pawai baju adat, rombongan berkumpul di Balai Kartini. Di sana, sebelum memasuki gedung mereka disambut sebuah penampilan A'ngaru.
"Untuk apa menyambut dengan A'ngaru? Apa yang akan disumpah saat perayaan hari jadi kepada Bupati? A'ngaru itu untuk Raja," tuturnya.
Dia menceritakan bahwa orang-orang dulu tidak serta merta melakukan A'ngaru. Butuh persiapan batin yang cukup memakan waktu. Bisa tiga hingga tujuh hari mempersiapkan diri, untuk merasakan rohnya sebuah sumpah yang tidak asal diucapkan dan ke luar dari mulut.
Diskusi sore itu menyuguhkan banyak ilmu pengetahuan baru, terutama tentang seni dan budaya yang merupakan warisan para leluhur Bantaeng. Seperti halnya A'ngaru yang rupanya tidak tepat jika dilakukan untuk hal-hal berbau pementasan semata.
Jika hal ini terus dilakukan, maka bukan tidak mungkin masyarakat nantinya akan benar-benar lupa dengan nilai dan makna Aru yang sebenarnya.
Sulhan Yusuf yang juga CEO Boetta Ilmu, berharap pada pelaku budaya mengambil banyak ilmu dari diskusi tersebut. Baginya, diskusi ini itu hanya pemantik pentingnya memahami budaya. Khususnya budaya A'ngaru.
"Waktu tidak cukup memadai menuntaskan soal A'nguru. Paling tidak setelah diskusi ini ada suasana hangat yang menerangkan soal budaya A'ngaru," katanya. []