Pematangsiantar - Pegiat Hak Asasi Manusia dari Human Rights Watch, Andreas Harsono menyerukan agar Indonesia mengkaji ulang definisi agama. Pelanggaran terhadap minoritas agama dan keyakinan di Indonesia masih banyak terjadi, dan itu dilakukan atas nama agama.
Hal itu disampaikan saat menjadi narasumber dalam seminar peringatan Hak Asasi Manusia (HAM) Sedunia yang digelar gereja-gereja di Sumut bertempat di kantor United Evangelical Mission Asia, Jalan Pdt J Wismar Saragih, Kota Pematangsiantar, Kamis, 10 Desember 2020.
Selain mengkaji definisi agama, dia juga melihat mendesak dikaji ulang ratusan peraturan yang diskriminatif terhadap minoritas, termasuk pasal penodaan agama, dan aturan pendirian rumah ibadah.
"Keberadaan lembaga-lembaga negara dan semi negara yang dianggap memfasilitasi diskriminasi di Indonesia juga harus dikaji ulang. Indonesia seharusnya taat pada ketentuan International Covenant on Civil and Political Rights yang telah diratifikasi pada tahun 2005," kata Andreas yang berbicara secara daring.
Dia mengutip hasil penelitian Setara Institute, di mana hampir setiap tahun terjadi kekerasan terhadap minoritas dengan jumlah kasus per tahun di atas 200 kasus.
Pelaku kekerasan ini adalah organisasi intoleran yang dibacking oleh pejabat daerah maupun nasional
Khusus untuk gereja, menurut data PGI selama 2005 - 2010 ada 430 gereja yang ditutup dan diserang. Demikian juga yang dialami oleh 33 masjid jemaat Ahmadyah.
Penyebabnya kata dia, adalah peraturan yang diskriminatif, antara lain pada tahun 1985, Kementerian Agama membedakan antara agama dan kepercayaan.
Kemudian adanya pasal penodaan agama pada tahun 1965 untuk melindungi hanya enam agama, dan peruturan kerukunan beragama pada tahun 2006 yang mengharuskan tanda tangan jemaat, dan tetangga serta persetujuan dari Kemenag dan FKUB.
Selain itu, UU Administrasi Kependudukan juga mengharuskan warga mengisi kolom agama dengan enam pilihan agama. Belum termasuk berbagai aturan turunannya terutama di tingkat daerah.
"Pelaku kekerasan ini adalah organisasi intoleran yang dibacking oleh pejabat daerah maupun nasional termasuk politisi dan aparat keamanan," ungkapnya.
Disebutnya, berbagai peristiwa penangkapan, penyerangan bahkan pembakaran rumah ibadah terjadi, dan tuduhan penodaan agama menjadi salah satu penyebab orang bisa menjadi terpidana.
Gereja dan HAM
Ketua Umum Persatuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pdt Gomar Gultom, pemateri yang hadir di acara seminar mengatakan, nilai-nilai HAM itu bersumber dari ajaran gereja.
Baca juga:
- Hari HAM Sedunia, Ketum PGI: Setop Kekerasan Apapun Bentuknya
- Sejarah Hari Hak Asasi Manusia Internasional 10 Desember
- Pembangunan Gereja di Semarang Dihentikan Sementara
"Namun suara gereja dalam pemajuan dan penegakan HAM masih harus ditingkatkan," katanya.
Dikatakannya, penegakan HAM di Indonesia masih jauh dari harapan, walaupun telah ada kebijakan negara tentang HAM.
Ragam diskriminasi karena agama dan kepercayaan, gender, pilihan politik, wilayah, dan etnis kerap terjadi bahkan gereja juga kadang menjadi pelaku.
Gereja ikut serta dalam penegakan HAM yang merupakan tugas hakikinya, yakni menghargai martabat manusia sebagai gambar Allah
"Kesadaran dan perspektif HAM masih rendah termasuk di kalangan gereja-gereja. Di sisi lain adanya asumsi bahwa hukum dapat menyelamatkan masyarakat. Padahal hukum itu produk politik dan masih perlu dipertanyakan keberpihakannya pada konstituen atau konstitusinya," tukasnya.
Dikatakannya, yang terjadi saat ini malah overproduction of law dan less consumption of law. Euforia reformasi juga dimaknai dengan kebebasan yang salah kaprah.
Demokrasi yang terjadi adalah demokrasi prosedural seiring dengan sikap beragama yang formalistik dan dogmatis. Dan dalam semua hal ini adanya pengabaian dari negara.
"Oleh karena itu, gereja-gereja harusnya mengembangkan kehidupan beragama yang mengarah kepada nilai-nilai substansial keagamaan ketimbang pengedepanan simbol-simbol keagamaan," tandasnya.
Pdt Gomar mengingatkan, pekabaran Injil untuk memperjuangkan keadaban manusia demi fungsi transformatifnya, tidak lagi hanya dalam peran-peran ritual keagamaan.
Gereja juga harus terlibat penuh dalam penegakan nilai-nilai universal kemanusiaan, seperti keadilan, kesetaraan, kesejahteraan, dan kemakmuran melalui kampanye, advokasi, dan penyadaran tentang HAM dari sejak dini.
"Hanya dengan demikian gereja ikut serta dalam penegakan HAM yang merupakan tugas hakikinya, yakni menghargai martabat manusia sebagai gambar Allah," ungkapnya.
Seminar ini dilakukan dengan metode gabungan metode onsite dan online.
Peserta sebanyak 15 orang hadir di kantor UEM mengikuti seminar tentang Gereja Melawan Diskriminasi dan Eksklusi.
Dilanjutkan dengan launching tema HAM 2021 secara online bersama dengan UEM Region Afrika, Jerman dan kantor pusat di Wuppertal.[]