Jakarta - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mencuri perhatian publik saat melenggang masuk ke ruang sidang bersama Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Jokowi yang sebelumnya mengenakan setelan jas biru lengkap dengan peci hitam saat pidato kenegaraan dalam sidang tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengubah setelan jadi baju adat.
"Ini pakaian dari sasak Nusa Tenggara Barat," ucap Jokowi di Kompleks Parlemen, Jumat, 16 Agustus 2019.
Ternyata, Jokowi memang sengaja mengenakan pakaian berwarna keemasan lengkap dengan penutup kepala khas suku sasak Lombok, Nusa Tenggara Barat itu untuk membaca pidato.
Alasannya sederhana, ingin mengajarkan semua pihak bahwa Indonesia bukan hanya Jakarta atau Pulau Jawa. Indonesia adalah seluruh daerah dari Sabang sampai Merauke dari Miangas sampai Pulau Rote.
"Saya ingin mengajarkan semuanya untuk meneguhkan kembali semangat para pendiri bangsa, bangsa kita, bahwa Indonesia itu bukan hanya Jakarta bukan hanya Pulau Jawa tetapi Indonesia adalah seluruh pelosok dari Tanah Air," kata dia.
Saya ingin mengajarkan semuanya untuk meneguhkan kembali semangat para pendiri bangsa, bangsa kita, bahwa Indonesia itu bukan hanya Jakarta bukan hanya Pulau Jawa.
Tegaskan Sikap Politik
Pengamat politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan gaya busana Jokowi menyimpan makna politik kebangsaan yang dalam.
Menurutnya gaya busana tersebut merupakan penegasan Jokowi sebagai kepala negara Republik Indonesia yang membangun rasa kebangsaan agar masyarakat tidak terjebak pada dikotomi sentimen identitas dan keagamaan.
"Saya pikir itu bagian dari upaya untuk membangun rasa kebangsaan yang saat ini tersekat oleh sentimen identitas dan keagamaan," ujar Wasisto kepada Tagar, Kamis, 16 Agustus 2019.
Selain itu, mengenakan pakaian adat dalam acara kenegaraan dilihat Wasisto sebagai sarana Jokowi untuk menegaskan sikap politik Presiden RI ke-7 tersebut.
"Presiden Jokowi ingin merepresentasikan Indonesia dalam dirinya. Itu bagian dari upaya politik kepala negara tuk berada di tengah daripada hanyut dalam narasi SARA [Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan]," ungkapnya. []