Akademisi Beri Kiat Pengembangan Wisata Danau Toba

Kawasan di sekitar Danau Toba masih sulit dikembangkan karena akses permodalan dan pengelolaan secara kolektif.
Diskusi Pollung na Marimpola di Rumah Budaya Tonggo, Jalan Letjend Suprapto, Medan. (Foto: Tagar/Tonggo Simangunsong)

Medan - Kawasan di sekitar Danau Toba masih sulit dikembangkan secara merata karena akses permodalan dan pengelolaan secara kolektif oleh masyarakat. Akibatnya, hanya segelintir yang masih dapat menikmati kemajuan potensi pariwisata.

Demikian dikatakan Henry Marpaung, akademisi yang menjadi salah satu pemateri diskusi Pollung na Marimpola, bertopik "Halak Batak Dohot Hamajuon", yang digelar Yayasan Pelestari Kebudayaan Batak (YPKB) di Rumah Budaya Tonggo, Jalan Letjend Suprapto No 11, Medan, Jumat 12 Juli 2019 sore.

Masih kurangnya pengelolaan secara kolektif ini membuat sejumlah kawasan yang berpotensi menjadi destinasi pariwisata, tidak bisa dikelola dengan rapi dan tertata dengan baik.

"Akibatnya, kawasan wisata tidak tertata dengan baik. Bahkan, ada masyarakat yang hanya jadi penonton, sementara yang punya aset dan modal akan menikmati sendiri," katanya.

Ia mencontohkan salah satu kawasan di tepi Danau Toba yang di tepi pantainya ditutupi oleh pengusaha suvenir, padahal tanpa harus menutupi masyarakat lain dapat mengambil keuntungan dari pantai.

"Hanya saja, karena pemilik tanah itu kebetulan berada di tepi pantai, mereka menutup akses ekonomi bagi masyarakat di sekitar, sehingga tidak semua dapat menikmati keuntungan dari pariwisata di daerah itu," katanya.

Wisata ke sawah, melihat kerbau, atau tidur di kamar yang ada nyamuknya, bagi orang Barat itu mungkin pengalaman menarik

Masalahnya, jika ingin menikmati bersama, maka pemilik tanah harus mau mengalah dan saling berbagi dengan masyarakat lain. Ini tentu saja tidak mudah dilakukan.

Karena itu, salah satu cara mengatasinya ialah koperasi. "Salah satu solusi yang bisa ditawarkan ialah membentuk koperasi, sehingga masyarakat dapat mengelola kawasan itu secara swadaya dan mendapatkan hasil secara merata," kata Henry.

Pembicara lainnya Jim Siahaan, mengedepankan agar pengelola pariwisata lebih mengutamakan kearifan lokal.

"Pariwisata pada prinsipnya adalah escaping, orang Inggris yang selalu hidup di tengah perkotaan, tentu sangat ingin melihat sesuatu yang tidak ada di kehidupan mereka. Itulah mengapa mereka pergi ke Himalaya," katanya.

Begitu juga dengan pengelola pariwisata di Danau Toba, agar menyajikan apa yang tidak ada dalam kehidupan wisatawan.

"Wisata ke sawah, melihat kerbau, atau tidur di kamar yang ada nyamuknya, bagi orang Barat itu mungkin pengalaman menarik," kata Jim.

Diskusi kali ini dimoderatori oleh Karmel Simatupang. Diskusi Pollung na Marimpola merupakan salah satu agenda YPKB dalam upaya memunculkan sikap peduli kepada budaya Batak. []

Baca juga:

Berita terkait