Agus Rahardjo dan Kawan-kawan Memalukan

Agus Rahardjo dan kawan-kawan dinilai memalukan, karena sebagai pimpinan lembaga negara yang superbody KPK, ternyata mereka sangat lemah.
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Agus Rahardjo (kiri) bersama Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. (Foto: Antara/Aprillio Akbar)

Jakarta - Mantan Komisioner Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara (KPKPN), Petrus Selestinus, menilai sikap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yakni Agus Rahardjo dan kawan-kawan adalah memalukan, karena sebagai pimpinan lembaga negara yang superbody, ternyata mereka sangat lemah. 

"Agus Rahardjo dan kawan-kawan tidak memiliki karakter kepemimpinan yang kuat, tidak sekuat lembaga KPK yang superbody. Pimpinan KPK menyerah dari kritik dari masyarakat serta mudah didikte oleh apa yang disebut Wadah Pegawai KPK," kata Petrus Selestinus dalam pernyataan tertulis kepada Antara, Sabtu malam, 14 September 2019.

Petrus mengusulkan Presiden Joko Widodo dan DPR RI bersikap tegas untuk segera membekukan kepemimpinan Agus Rahardjo dan kawan-kawan dari pimpinan KPK. Kemudian segera menunjuk pelaksana tugas (Plt) pimpinan KPK, atau melantik pimpinan KPK baru secepatnya.

Ini jelas memberi pesan kepada publik bahwa pimpinan KPK sedang melakukan manuver politik.

Ia menyampaikan hal itu menyikapi langkah Ketua KPK Agus Rahardjo yang menyatakan mundur dan mengembalikan tanggung jawab pengelolaan KPK kepada Presiden Joko Widodo.

Di halaman Gedung KPK, Jakarta, Jumat petang, 13 September 2019, di hadapan wartawan, Agus Rahardjo didampingi pimpinan KPK Saut Situmorang dan Laode M Syarif, menyampaikan pernyataan sikap mengembalikan mandat pengelolaan KPK kepada Presiden. 

Petrus mengatakan, Agus Rahardjo dan kawan-kawan secara terbuka telah menyatakan menyerahkan kembali mandat pimpinan KPK kepada Presiden Joko Widodo, sehingga secara yuridis tanggung jawab pengelolaan tugas KPK, sejak Jumat petang, 13 September 2019, dalam keadaan vakum, karena tidak mungkin Presiden Jokowi melaksanakan tugas-tugas pimpinan KPK.

Ia menambahkan, sebagai lembaga Negara, KPK telah kehilangan lima orang pimpinannya, karena tindakan pimpinan KPK mengembalikan mandatnya kepada Presiden identik dengan berhenti dari pimpinan KPK karena mengundurkan diri. 

"Masalahnya, tindakan berhenti secara serentak dan secara kolektif, adalah prosedural dan bahkan merupakan tindakan pemboikotan," kata Petrus.

Apalagi, kata Petrus, cara menyampaikan berhenti melalui konferensi pers di hadapan media, sehingga mekanisme pengembalian tanggung jawab pimpinan KPK kepada Presiden, dilakukan dengan cara yang tidak sesuai dengan amanah dalam pasal 32 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK. 

"Ini jelas memberi pesan kepada publik bahwa pimpinan KPK sedang melakukan manuver politik," kata Petrus.

Koordiantor Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) ini menegaskan, implikasi hukumnya adalah terhitung Jumat petang, 13 September 2019, KPK sebagai lembaga negara berada dalam kondisi kekosongan pimpinan. 

Berdasarkan amanah pasal 21 UU KPK, kata Petrus, penyidikan dan penuntutan di KPK menjadi stagnan karena pimpinannya selaku penangung jawab tertinggi di KPK vakum.

KPKKetua KPK Agus Rahardjo (ketiga kanan) didampingi para Wakil Ketua KPK Saut Situmorang (ketiga kiri) dan Laode M Syarif (kedua kanan) serta Juru Bicara KPK Febri Diansyah (kanan) memberikan keterangan pers di kantor KPK, Jakarta, Jumat (13/9/2019). KPK menyerahkan mandat pengelolaan lembaga antirasuah ini ke Presiden Joko Widodo sebagai respons atas polemik revisi UU KPK. (Foto: Antara/Sigid Kurniawan)

Bukan Mandataris Presiden

Berbeda dengan penjelasan Petrus Salestinus, Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Mahfud MD mengatakan pimpinan KPK bukan mandataris presiden, sehingga secara yuridis tidak terjadi kekosongan di KPK.

Mahfud MD mengatakan tidak tepat pimpinan KPK menyerahkan mandat kepada Presiden karena Presiden tidak pernah memberikan mandat kepada pimpinan KPK. 

Ia menegaskan pimpinan KPK bukan mandataris presiden.

"Secara hukum, KPK itu bukan mandataris presiden, tidak bisa dia lalu mengembalikan mandat kepada presiden karena presiden tak pernah memberikan mandat ke KPK," kata Mahfud.

Secara hukum, KPK itu bukan mandataris presiden, tidak bisa dia lalu mengembalikan mandat kepada presiden.

Mahfud MD menjelaskan, dalam ilmu hukum mandataris adalah orang yang diberikan mandat oleh pejabat tertentu, tetapi yang bertanggung jawab adalah pemberi mandat. Sehingga, yang diberi tugas disebut mandataris. 

"Sebelum 2002, presiden adalah mandataris MPR. Presiden diberi mandat dan yang bertanggung jawab MPR. Nah, KPK itu bukan mandataris presiden sehingga tidak ada istilah hukum mandat kok dikembalikan," ujar Mahfud.

Mahfud melanjutkan, dalam Pasal 32 Undang-Undang (UU) Nomor 30 Tahun 2002, orang yang mengembalikan mandat karena pensiun, meninggal dunia, atau karena mengundurkan diri.

KPK bukan mandataris siapa pun. Lembaga itu independen kendati berada di lingkaran kepengurusan eksekutif, namun bukan di bawah presiden.

Dengan demikian, ujar Mahfud, secara yuridis pengembalian mandat yang dilakukan pimpinan KPK tidak berarti KPK kosong karena lembaga antirasuah itu bukan mandataris presiden. []

Berita terkait
Ratusan Dosen UGM Deklarasi Tolak Pelemahan KPK
Ratusan dosen UGM Yogyakarta, menjadwalkan untuk menggelar deklarasi UGM Tolak Upaya Pelemahan KPK.
Saran Fahri Hamzah soal Penyerahan Mandat KPK ke Jokowi
Wakil Ketua DPR RI Fahri Hamzah menyarankan soal mandat tanggung jawab pengelolaan KPK ke Jokowi disikapi dengan sederhana dan tidak bertele-tele.
Foto: Pimpinan KPK Serahkan Wewenang ke Jokowi
Ketua KPK Agus Rahardjo mengambil keputusan bahwa KPK menyerahkan wewenang sepenuhnya kepada Presiden Joko Widodo.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.