Jakarta - Distimia atau yang disebut juga gangguan depresi persisten merupakan bentuk depresi kronis jangka panjang. Orang yang mengalami distimia mungkin akan kehilangan minat untuk menjalani aktivitasnya sehari-hari, merasa putus asa, kurang produktif, dan rendah diri.
Orang yang mengalami gangguan depresi persisten atau distimia sulit untuk merasa senang, bahkan pada saat-saat bahagia sekalipun. Pengidap digambarkan memiliki kepribadian yang suram, terus menerus mengeluh dan tidak mampu bersenang-senang.
Nah, untuk Anda hidup di lingkungan orang seperti ini, Anda harus mengetahui cara berpikir mereka terlebih dahulu. Bersarkan buku karangan Baek Se Hee yang berjudul “I Want To Die, but I Want To Eat Tteokpokki” pada pengantar dijelaskan 8 cara berpikir orang-orang yang sedang hidup dalam depresi dan distimia.
1. Black and White Thinking
Pada keadaan ini, seseorang cenderung untuk melihat segala sesuatu sebagai 100 % hitam dan 100% Putih, tidak ada abu abu dan tidak ada warna lain. Pemikiran ini cenderung terpolarisasi dalam keadaan depresi.
2. Overgeneralization
Selanjutnya, orang yang sedang mengalami depresi dalam hidupnya, ia bisa tampak sangat mudah menggeneralisasi keadaan. Satu kejadian buruk dapat dianggap mewakili keseluruhan hidup.
3. Personalization
Seseorang yang menganggap segala sesuatu yang terjadi adalah kesalahannya, ia selau menyalahkan semua yang terjadi di dunia ini karena kesalahannya.
- Baca Juga: Bangun Tidur Lebih Awal Bantu Atasi Depresi
Contohnya. "teman saya menjauh adalah kesalahan saya atau saya kesepian adalah kesalahan saya, saya gagal adalah kesalahan saya, gempa bumi dan tsunami juga kesalahan saya".
4. Fortune Telling
Dalam keadaan ini, seseorang cenderung membayangkan masa depan, tetapi dalam bayangan buruk. Seperti, masa depan saya pasti akan sia-sia, pekerjaan saya akan digantikan oleh orang lain, di masa depan saya bukan siapa-siapa.
5. Mind Reading
Dalam cara berpikir ini, kita seakan bisa membayangkan isi pikiran orang lain. Ketika orang lain bicara hal yang netral pun dapat kita terjemahkan sebagai “dia pasti kayak gitu karena mau merendahkan saya”, “dia pasti kayak gitu untuk menghina saya”, seakan kita tahu motif orang lain melakukan sesuatu.
6. Emotional Reasoning
Seseorang cenderung menggunakan emosinya sebagai landasan pikir. Kalau saya merasa cemburu artinya “berarti pasangan saya selingkuh, karena saya merasa cemburu”. Saya merasa tertolak dan diabaikan maka artinya “kamu pasti sedang menolak dan mengabaikan saya”.
7. Disqualifying the Positive
Segala peristiwa yang masuk kita persepsikan dengan sudut pandang yang negatif. Kalau ada peristiwa positif yang kita alami, maka itu akan diartikan buruk.
8. Ambivalensi
Melatarbelakangi itu semua, bisa saja ada pikiran yang saling berkontradiksi yang keduanya sama - sama dirasakan. Seperti, bisa saja saya ingin mengakhiri hidup dan di saat yang bersamaan saya juga ingin hidup. Hal yang kontradiktif yang berada dalam persamaan ini dinamakan ambivalensi.
(Putri Fatimah)