Untuk Indonesia

11 Tahun Hari Konservasi Alam Nasional

Permasalahan lingkungan sebagaian besar akibat antroposentrik, yaitu pemahaman bahwa manusia merupakan spesies yang menjadi pusat alam semesta.
Warga negara asing memotret penyu hijau (Chelonia mydas) saat pelepasliaran di Pantai Kuta, Badung, Bali, Rabu, 5 Agustus 2020. Ditpolairud Polda Bali, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Bali dan para pemerhati satwa dilindungi melepasliarkan 25 dari 36 ekor penyu hijau hasil sitaan dari upaya penyelundupan di perairan Serangan, Denpasar dan 11 ekor lainnya sebagai barang bukti dalam persidangan dengan delapan tersangka. (Foto: Antara/Nyoman Hendra Wibowo)

Oleh: Dwipayana*

Permasalahan lingkungan dapat dikatakan sebagaian besar akibat antroposentrik, yaitu pemahaman bahwa manusia merupakan spesies yang menjadi pusat alam semesta dan paling eksklusif dibandingan hewan, tumbuhan, dan lingkungan hidup.

Oleh karenanya, timbul banyak sekali dampak negatif dari kegiatan yang dilakukan dengan eksploitasi pemanfaatan sumber daya alam atas nama pembangunan untuk kelangsungan dan kenyamanan hidup manusia.

Dalam pemanfaatan sumber daya alam, seringkali manusia mengabaikan risiko lingkungan yang mungkin timbul dan berdampak buruk bagi lingkungan serta kelangsungan hidup manusia di generasi berikutnya.

Eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan akan menimbulkan kerusakan lingkungan yang pada akhirnya akan berpengaruh terhadap jasa lingkungan dalam memenuhi kebutuhan manusia, seperti kekeringan, kelangkaan bahan pangan, polusi udara, pencemaran air laut, termasuk punahnya beberapa spesies yang dilindungi.

Pemanfaatan yang semula diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi, justru pada akhirnya menjadi bumerang dan dapat berbalik menjadi kerugian dari biaya pemulihan lingkungan yang dikeluarkan serta kerugian terkait jasa lingkungan yang tidak lagi dapat dimanfaatkan.

Walaupun Indonesia cukup peduli dengan konservasi alam, dengan adanya regulasi khusus mengenai konservasi alam, yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dengan maraknya permasalahan lingkungan saat ini, rasanya kita masih perlu melakukan aksi nyata terhadap konservasi alam sehingga tidak sepenuhnya mengandalkan pemerintah.

Dengan lebih dari 70 persen wilayah perairan, Indonesia memiliki keanekaragaman hayati laut yang tinggi. Selain itu, Indonesia juga terletak di kawasan The Coral Triangle, yang juga dikenal dengan Amazon of the Ocean. Konservasi alam di Indonesia, terlebih konservasi keanekaragaman hayati laut menjadi suatu keharusan demi terwujudnya slogan pembangunan berkelanjutan.

Kondisi ekosistem alam bawah laut yang tidak mudah dilihat manusia bila di bandingkan dengan ekosistem di daratan, tidak dapat dijadikan alasan untuk abai terhadap konservasi alam bawah laut.

Konservasi Terumbu Karang

Berkaitan dengan Hari Konservasi Alam Nasional pada 10 Agustus 2020, Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) telah menyelenggarakan Kick Off Coral Reef Rehabilitation and Management Program-Coral Triangle Initiative (COREMAP-CTI) yang bertempat di ruang rapat Djunaedi Hadisumarto Bappenas pada 30 Juli 2020 lalu.

Kegiatan tersebut dihadiri oleh Menteri Bappenas serta Menteri Kelautan dan Perikanan. Kick off COREMAP-CTI seolah juga sebagai perayaan terhadap 11 tahun Hari Konservasi Alam Nasional, khususnya konservasi terumbu karang serta ekosistem pesisir dan laut, serta menjadi penanda resmi dimulainya pelaksanaan COREMAP-CTI oleh mitra pelaksana di lapangan.

Hari Konservasi Alam Nasional atau biasa disebut HKAN pertama kali digagas pada 10 Agustus 2009 oleh Susilo Bambang Yudhoyono yang saat itu menjabat sebagai Presiden Indonesia. Tujuannya adalah untuk mengampanyekan pentingnya konservasi alam bagi kesejahteraan masyarakat serta untuk mengedukasi dan mengajak masyarakat berperan aktif dalam menyelamatkan ekosistem alam.

Konservasi terumbu karang di Indonesia, khususnya dalam lingkup COREMAP, sudah diinisiasi sejak tahun 1998 dengan tujuan mendukung upaya pemerintah mencapai pengelolaan berkelanjutan dari sumber daya pesisir dan laut di Indonesia. Pada masa itu, sejumlah besar terumbu karang di Indonesia terancam oleh aktivitas manusia yang mengarah kepada hilangnya keanekaragaman hayati laut.

Karena sejatinya manusia bukanlah pusat alam semesta dan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan

Saat ini, COREMAP memasuki Fase III atau dikenal dengan COREMAP-CTI. Program kali ini bertujuan untuk penguatan kapasitas kelembagaan dalam monitoring ekosistem pesisir dan penelitian untuk menghasilkan data berbasis informasi pengelolaan sumber daya, dan meningkatkan efektivitas pengelolaan ekosistem pesisir prioritas.

COREMAP-CTI World Bank, di mana ICCTF sebagai implementing agency, merupakan pilot project yang dilaksanakan oleh ICCTF melalui mitra pelaksana di lapangan di dua provinsi, yaitu (i) Laut Sawu, Provinsi Nusa Tenggara Timur, dan (ii) Raja Ampat, Provinsi Papua Barat. Program ini fokus pada pengelolaan ekosistem pesisir prioritas dengan target mencapai 75 persen level biru.

Konservasi terumbu karang sehingga memiliki kondisi sehat merupakan salah satu contoh upaya pelestarian lingkungan serta menjadi solusi menggerakkan pertumbuhan ekonomi masyarakat dan nasional saat masa pandemi. Sebaliknya, jika terumbu karang rusak atau bahkan mati, maka aset nilai ekonomi dari terumbu karang tersebut tentu tidak dapat lagi diambil manfaatnya.

Menurut kalkulasi United Nations Environment Programme (UNEP), jika seluruh ekosistem terumbu karang dikelola dengan baik, valuasi aset terumbu karang di kawasan segitiga terumbu karang (coral triangle) Indonesia mencapai US$ 37 miliar atau setara dengan Rp 540 triliun pada 2030, sebagaimana disampaikan Menteri Bappenas pada acara Kick Off COREMAP-CTI lalu.

Ekosistem terumbu karang adalah tempat berlindung dan sumber pangan bagi sekelompok spesies ikan. Dengan keanekaragaman hayati laut yang sangat tinggi, Indonesia diharapkan mampu menggerakkan ekonomi nasional sekaligus menyejahterakan masyarakat melalui terumbu karang, mengingat luasnya mencapai 25.000 km2 dengan 69 persen jenis terumbu karang di dunia ditemukan di perairan Indonesia, sebagaimana juga disampaikan Menteri Bappenas pada acara Kick off COREMAP – CTI lalu.

Untuk itu, urgensi implementasi COREMAP-CTI sangat tinggi, terutama untuk menghentikan kerusakan terumbu karang. Di beberapa wilayah perairan, terumbu karang terancam punah akibat pengeboman dan penggunaan bahan kimia beracun untuk menangkap ikan.

Selain itu, pola hidup masyarakat yang tidak ramah lingkungan juga berkontribusi terhadap kesehatan ekosistem terumbu karang, contohnya membuang limbah ke laut. Hal tersebut bukan berarti hanya dilakukan oleh masyarakat pesisir, namun juga oleh masyarakat kota yang jauh dari pesisir yang kebetulan berwisata ke daerah tersebut, termasuk juga limbah yang akhirnya terbawa ke laut karena penanganan limbah yang buruk.

Perlindungan Lingkungan dan Sosial

Setiap aktivitas tentu dapat memberikan dampak positif dan negatif secara bersamaan. Untuk itu, dalam seluruh pendanaan program, Global Environment Facility (GEF) melalui World Bank selaku pemberi hibah COREMAP-CTI selalu menerapkan perlindungan lingkungan dan sosial sebagai bagian dari pengelolaan risiko.

Mengacu pada Environmental and Social Framework (ESF) World Bank, terdapat 10 Environmental and Social Standard (ESS), di mana salah satunya membahas spesifik mengenai konservasi, yaitu ESS 6 Biodiversity Conservation and Sustainable Management of Living Natural Resources, disebutkan bahwa ESS6 mengakui bahwa melindungi dan melestarikan keanekaragaman hayati dan mengelola sumber daya alam secara berkelanjutan adalah dasar dari pembangunan berkelanjutan.

Selain itu, ESF juga peduli terhadap dampak lingkungan yang mungkin timbul dari kegiatan konstruksi walaupun hanya konstruksi sederhana, seperti yang menjadi bagian dari COREMAP-CTI, antara lain konstruksi sederhana untuk mendukung kegiatan ekowisata dan perikanan berkelanjutan.

Meskipun secara keseluruhan bertujuan untuk konservasi terumbu karang, COREMAP – CTI tentu tidak mengharapkan adanya dampak negatif, seperti limbah berbahaya hasil konstruksi tersebut masuk ke kawasan perairan yang justru akan mencemari laut serta mematikan bagi spesies di dalamnya, termasuk terumbu karang. Perlindungan lingkungan dan sosial dalam lingkup dan melalui COREMAP-CTI menegaskan bahwa semestinya tidak ada trade off satu sama lain untuk pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan.

Mengutip pembuka film dokumenter bertema lingkungan Diam & Dengarkan yang dinarasikan oleh Christine Hakim, Peradaban Sapiens hanya dalam usianya yang baru sekitar 12 ribu tahun ini, kemudian sudah bertanggung jawab untuk kiamatnya banyak sekali spesies.

Selanjutnya tentu kita perlu bertanggung jawab dan bijak dalam memilih, dengan selalu mempertimbangkan isu konservasi alam dalam setiap aktivitas, karena sejatinya manusia bukanlah pusat alam semesta dan memiliki ketergantungan yang sangat besar terhadap keanekaragaman hayati dan jasa lingkungan.[]

 *Environmental and Social Specialist ICCTF Bappenas


Berita terkait
Ini Langkah PLN untuk Dorong Energi Ramah Lingkungan
PLN mendorong penggunaan energi rendah karbon yang ramah lingkungan, khususnya dengan memanfaatkan energi baru terbarukan.
Aksi Teatrikal Hari Lingkungan Hidup di Siantar
Sahabat Lingkungan (SaLing) merayakan Hari Lingkungan Hidup Sedunia dengan cara melakukan aksi teatrikal.
Peringati Hari Lingkungan Hidup Sedunia, ASP Minta Pemerintah Pemulihan dan Penyelamatan Rimba
Mereka meminta pemerintah dan penegak hukum mengambil sikap tegas dalam menegakkan hukum lingkungan kepada perusahaan yang melanggar hukum lingkungan.
0
JARI 98 Perjuangkan Grasi untuk Ustadz Ruhiman ke Presiden Jokowi
Diskusi digelar sebagai ikhtiar menyikapi persoalan kasus hukum yang menimpa ustaz Ruhiman alias Maman.