Jakarta - Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Hamonangan Laoly menjelaskan, salah satu faktor lahirnya Undang-undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ialah untuk mengatasi benang kusut perizinan.
"Ini merupakan sesuatu yang sangat visioner. (UU Cipta Kerja) satu lompatan yang memerlukan keberanian untuk mengambil keputusan tentang perubahan," ujar Yasonna dalam keterangan tertulis diterima wartawan di Jakarta, dikutip Tagar, Jumat, 25 Desember 2020.
Kami yakin bahwa ini sangat baik untuk kepentingan bangsa dan negara untuk memajukan perekonomian kita.
Politikus PDI Perjuangan (PDIP) itu menilai, selama ini banyak investor merasa kesulitan saat ingin memproses perizinan dan investasi, lantaran proses perizinan usaha yang berbelit. Ditambah adanya ego sektoral antara pemerintah pusat dan daerah.
Baca juga: Vaksin dan UU Cipta Kerja Adalah Key Market Drivers 2021
"Otonomi daerah kita, kabupaten/kota, daerah, provinsi, yang melalui perda-nya kadang-kadang membuat masalah perizinan menjadi lebih ruwet. Maka untuk itu diperlukan suatu upaya yang reformatif," ucapnya.
"Maka kita melahirkan UU Cipta Kerja ini, terlepas dari kontroversi yang membayanginya, kami yakin bahwa ini sangat baik untuk kepentingan bangsa dan negara untuk memajukan perekonomian kita, dan tentunya pada gilirannya menciptakan lapangan kerja yang luas," ujar dia lagi.
Diketahui, adanya UU Cipta Kerja telah memangkas lebih dari 70 UU dari berbagai sektor. Terkait dengan sanksi, sebagai produk administratif, pelanggaran perizinan berusaha yang diatur dalam UU Cipta Kerja selayaknya dikategorikan sebagai pelanggaran administratif.
Baca juga: Cipta Kerja Beri Kepastian & Penegakan Hukum Perizinan Usaha
"Perizinan adalah tindakan administratif, maka pada dasarnya kalau pelanggaran perizinan itu haruslah sifatnya administratif," katanya.
Menurut dia, adanya pelanggaran administratif, sepanjang pelanggarannya tidak mengandung unsur mala-'verse' (mengandung niat jahat), maka pengenaan sanksinya dalam UU Cipta Kerja dilakukan dengan prinsip 'ultimum remedium' yang mengedepankan pengenaan sanksi administratif daripada sanksi pidana.
"Kita tidak mengatakan tidak perlu sanksi pidana, karena kadang-kadang bisnis juga mau meng-'extend' keuntungan sebesar-besarnya, sehingga dapat berakibat K3L (Kesehatan, Keselamatan, Keamanan, dan Lingkungan). Itu baru masuk ranah pidananya. Gradasi-nya nanti kita susun secara baik," ujar Menkumham Yasonna Laoly. []