Waspada Pemodal untuk Peserta Pemilu 2019 Memicu Aksi Korupsi

Mahar politik dalam kontestasi demokrasi dapat memicu tindakan korupsi.
Ilustrasi (Foto: unsplash.com)

Jakarta, (Tagar 26/3/2019) - Mahar politik dalam kontestasi demokrasi dapat memicu tindakan korupsi. Sudah jelas, mahar politik adalah realitas berbahaya yang menyebabkan tatanan bernegara rusak, baik secara langsung ikut dalam perebutan kekuasaan atau sebagai 'pemodal' bagi salah satu calon yang ikut dalam suatu kontestasi politik di daerah, maupun di nasional.

Permintaan mahar politik oleh partai sempat menjadi isu yang sering dibahas di berbagai kalangan masyarakat. Sebut saja La Nyalla Mattalitti mengaku pernah dimintai mahar politik sebesar Rp 40 miliar oleh Prabowo Subianto selaku Ketua Umum Partai Gerindra. Terakhir, La Nyalla Mattalitti pun memilih membelot dan menjadi kader Partai Bulan Bintang (PBB) untuk menjadi caleg Dewan Perwakilan Daerah.

Seperti diketahui, dari peserta pemilu, Partai NasDem menegaskan antimahar dan tidak memotong gaji kader yang duduk di parlemen guna mencegah korupsi.

Sekjen Partai NasDem, Johnny G Plate mengatakan, maraknya kasus korupsi di Indonesia karena biaya politik yang sangat tinggi. Untuk meminimalisir hal itu, NasDem tidak membebani atau memunguti dana bagi para caleg dengan biaya mahar.

"Di NasDem tidak ada mahar politik. Baik di pilkada, pileg maupun pilpres. Tidak ada maharnya," tegas Johnny, seperti diberitakan Antara pada November 2018. 

Baca juga: Ini Daftar Keluhan Tidak Punya Duit dari Kubu Prabowo-Sandi

Dia berharap dengan adanya prinsip politik tanpa mahar di Partai NasDem dapat memberikan sumbangsih dalam pencegahan korupsi di Indonesia karena mahar politik dapat menghabiskan setengah dari keseluruhan biaya politik.

Dengan demikian, kata dia, NasDem hanya membebani para kader dengan biaya politik murni, seperti biaya alat peraga kampanye dan kebutuhan lain. Sehingga, beban finansial bagi calon, baik yang terpilih atau tidak, bisa diatasi.

Setiap kader atau calon yang diusung, kata dia, telah menandatangani pakta integritas anti korupsi partai. Maka itu, NasDem tak ragu memecat calon atau kader yang ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) karena mereka dianggap melanggar fakta tersebut.

"Maka beban finansial calon baik terpilih, apalagi yang tidak terpilih, bisa diatasi dengan tidak membebankan menjadi biaya politik di Indonesia," imbuhnya.

Plate menuturkan pemberantasan korupsi tidak saja melalui OTT yang selama ini dilakukan KPK, tetapi bagaimana mencegahnya agar tak terjadi lagi.

"Apa pun caranya kami bisa membantu mencegah kader-kader yang punya potensi atau menurut pertimbangan KPK ada potensi tindak pidana korupsi. Maka kami bisa diberitahu untuk mencegahnya," ucapnya.

Peneliti ICW Almas Sjafrina mendukung, partai politik untuk tidak meminta mahar seperti NasDem. Menurutnya di undang-undang juga sudah dilarang pemberian mahar baik dalam bentuk uang maupun lainnya.

"Terima mahar ini membuat kandidat biaya pemenangan itu sangat tinggi. Sedangkan, kandidat untuk lain-lain saja sudah membutuhkan banyak uang ditambah mahar tinggi itu semakin membuat menjadi faktor atau membuka peluang untuk melakukan korupsi ketika mereka terpilih," kata Almas.

Secara peraturan, memang telah diatur tentang larangan pemberian mahar politik oleh calon kepada partai seperti yang tertulis dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 pasal 47 ayat (1) "partai politik atau gabungan partai politik dilarang menerima imbalan dalam bentuk apapun pada proses pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota."

Juru Bicara KPK Febri Diansyah mengapresiasi langkah partai politik yang menerapkan politik antimahar. Ia mengharapkan partai politik dapat melakukan standar integritas tidak melakukan politik uang dan mahar politik.

"Itu poin yang harus dijaga. Juga kan ada pernyataan beberapa parpol tidak mahar. KPK tentu diharapkan terus diimplentasikan sehingga kita punya harapan lebih proses Pemilu 2019 lebih bagus," kata Febri kepada wartawan, Rabu (6/2).

Febri juga mengakui antimahar dapat mencegah adanya kepala daerah atau anggota dewan terlibat korupsi.

"Kalau masih harus bayar mahar, praktik politik uang masih tinggi itu yang disebut politik biaya tinggi. Kalau politik butuh biaya tinggi misal jadi kepala daerah atau anggota DPR, kami duga menjadi faktor pendorong korupsi ketika menjabat nanti," tandasnya.

Baca juga:

Berita terkait
0
Video Jokowi 'Menghadap' Megawati Sangat Tidak Elok Dipertontonkan
Tontonan video Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) yang sedang bertemu dengan Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarno Putri, sangat tidak elok.