Wali Kota Malang Masih Berharap Penerapan PSBB

Wali Kota Malang Sutiaji meminta Pemprov Jatim untuk memfasilitasi penerapan PSBB di wilayah Malang Raya.
Wali Kota Malang Sutiaji didampingi Kapolresta Malang Kombes Leonardus Simarmata saat jumpa pers di kantor Balai Kota Malang, Senin 30 Maret 2020. (Foto: Dokumen Tagar/Moh Badar Risqullah)

Malang - Rencana Wali Kota Malang Sutiaji untuk menerapkan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) ibarat jauh panggang dari api. Jika sebelumnya Sutiaji begitu ngotot untuk menerapkan PSBB di Kota Malang, kali ini pasrah dengan menunggu instruksi dari Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

Apalagi, dua daerah lain di Malang Raya yakni Kabupaten Malang dan Kota baru masih belum satu suara dalam rencana penerapan PSBB. Dua daerah tersebut menganggap penyebaran Covid-19 masih bisa dicegah dengan cara kebijakan physical dan social distancing di setiap desa atau kelurahan.

Suratnya sudah di sana. Itu sudah bukan otoritasnya kami. Tapi kami sudah minta pada provinsi untuk memfasilitasi terkait itu di Malang Raya.

Sutiaji mengaku sudah angkat tangan dengan perbedaan pandangan di Malang Raya tersebut. Dia sudah menyerahkan sepenuhnya kepada Pemprov Jatim dengan meminta agar memfasilitasi penerapan kebijakan PSBB tersebut.

"Suratnya sudah di sana. Itu sudah bukan otoritasnya kami. Tapi kami sudah minta pada provinsi untuk memfasilitasi terkait itu (penerapan PSBB) di Malang Raya," ujarnya kepada Tagar, Selasa, 21 April 2020.

Hal itu menurutnya menindaklanjuti catatan Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa terkait pengajuan PSBB oleh Pemkot Malang. Mantan Menteri Sosial RI itu memberikan catatan bahwa penerapan PSBB itu lebih efektif diberlakukan di Malang Raya.

"Dalam catatan Gubernur itu kami diminta ini harus bersama dengan dua daerah lainnya di Malang Raya. Karena efektivitasnya memang seperti itu," kata Sutiaji.

Sementara itu, Pemkab Malang melalui Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Fuad Fauzi mengatakan pihaknya tidak mau gegabah dengan menunggu instruksi Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa terkait penerapan PSBB di Malang Raya.

Namun, saat ini Pemkab Malang dikatakannya sedang fokus dengan menerapkan pembatasan fisik di tiap desa atau village physical distancing (VPD) sudah berlaku sejak Rabu 15 April 2020 kemarin.

"Kami tetap menunggu instruksi dari Bu Gubernur terkait PSBB. Apabila beliau menginstruksikan, ya kita laksanakan," kata dia dalam keterangan tertulisnya.

Kemudian, dia menyampaikan bahwa alasan Pemkab Malang tidak ikut mengajukan PSBB dikarenakan belum memenuhi kriteria sesuai dalam Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 Tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dalam Rangka Penanganan Covid-19.

Oleh sebab itu, Kabupaten Malang tidak ikut mengajukan PSBB dan lebih menerapkan VPD di sejumlah desa selama 50 hari ke depan. Sesuai dengan masa kedaruratan pandemi Covid-19.

"Sesuai dengan pasal 2 di Permenkes itu. Kami belum memenuhi kriteria pengajuan PSBB dan kita fokus di VPD dulu," kata dia

VPD sendiri dijelaskannya bahwa pembatasan sosial di masing-masing perbatasan desa dengan di jaga aparat pemerintah desa. Tujuannya untuk mendeteksi keluar masuk masyarakat di desa tersebut.

"Jadi, masyarakat diimbau untuk tidak keluar desa jika tidak ada hal yang urgent dan mendesak. Apabila terpaksa harus keluar, wajib menggunakan masker," tuturnya.

Senada disampaikan Juru Bicara Satuan Tugas Covid-19 Kota Batu Muhammad Chori menyebutkan bahwa Pemerintah Kota Batu belum mengajukan PSBB. Dia beralasan karena ada syarat utama yang harus dipenuhi daerah berkaitan dengan hal kebijakan tersebut.

"Sudah kami sampaikan sebemumnya Pemerintah Kota Batu belum mengajukan PSBB. Karena ada syarat utama yg harus dipenuhi yaitu PSBB harus memenuhi beberapa kriteria," kata dia.

Dia memaparkan salah satu kriterianya yaitu ada peningkatan jumlah kasus dan atau jumlah kematian akibat Covid-19. Kemudian menyebar secara signifikan dan cepat ke beberapa wilayah serta terdapat kaitan epidemiologisnya dengan kejadian serupa di wilayah atau negara lain.

"Nah, hal itu belum terpenuhi di Kota Batu. Sementara, data di kamai sampai saat ini masih 2 orang yang konfirm dan 1 orang pun sudah sembuh," ujarnya.

Dengan begitu, sampai saat ini baru Pemkot Malang yang ngotot ingin menerapkan PSBB karena ini harus segera ditangani. Sedangkan Pemkab Malang dan Pemkot Batu beralasan wilayahnya belum memenuhi kriteria.

Disisi lain, tiga daerah di Jatim yaitu Surabaya, Sidoarjo dan Gresik secara resmi sudah mengajukan PSBB ke Kementerian Kesehatan RI dengan difasilitasi Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa per Senin 20 April 2020.

Ilustrasi Covid-19Seorang warga Kota Malang melintasi coretan terkait Covid-19. (Foto: Tagar/Moh Badar Risqullah)

Akademisi dan Dokter Minta Pemkot Malang Tegas Tangani Corona

Sementara itu, akademisi dan dokter di Malang menyikapi betapa rumit dan sulitnya pengajuan penerapan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) sebagai upaya di daerah mengantisipasi penyebaran Covid-19 atau virus corona.

Seperti sudah dicoba oleh Pemerintah Kota Malang atas inisiatif sendiri tanpa Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Malang dan Pemerintah Kota (Pemkot) Batu dengan mengajukannya pada Rabu 15 April 2020 kemarin.

Ketua Tim Advokasi Kebijakan Publik dalam Pencegahan Penyebaran Covid-19 Universitas Brawijaya (UB) Malang Prof Unti Ludigdo mengatakan jika dalam menerapkan PSBB patokannya masih pada jumlah kasus dan sebaran Covid-19. 

Dia mengatakan jangan salah dengan harapan tidak terjadi yaitu penyebarannya akan sulit dibendung dan dampak terhadap beberapa sektor seperti ekonomi akan juga semakin besar.

"Kalau seperti itu ya sama halnya memelihara luka. Lukanya sudah menganga dan sakitnya parah. Baru diobati," tuturnya saat diwawancarai Tagar melalui sambungan telepon, Senin, 20 April 2020.

Padahal, kata dia, untuk menangani bencana nasional non alam ini diperlukan kebijakan pemerintah pusat dan daerah radikal dan tegas sejak awal. Tentunya sebagai langkah preventif sebelum kasusnya meluas dan sulit dibendung sebagaimana sudah terlanjur terjadi di DKI Jakarta dan di Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan (Sulsel).

Dengan catatan bahwa dalam menerapkan pembatasan ataupun PSBB sebagaimana arahan Pemerintah Pusat ini menurutnya tidak perlu menunggu korban atau orang yang menderita Covid-19 ini banyak. Justru, saat belum banyak itulah dia menyampaikan celah untuk harus segera dilakukan langkah preventif yang tegas dan terukur untuk mencegahnya.

"Nah, sebenarnya disinilah letak strategis Provinsi (Jatim) itu untuk mengambil langkah. Artinya, jangan menunggu Covid-19 itu menyebar sedemikian luas dan jumlahnya (korban) semakin banyak. Dan justru itu yang kami khawatirkan dan tidak diharapkan," kata Unti.

Namun, alasan kedua Pemprov Jatim yang menolak pengajuan PSBB Pemkot Malang karena penerapannya memang lebih efektif dilakukan bersama tiga daerah Malang Raya. Pihaknya mengakui setuju dengan hal tersebut.

Dia berpendapat, ketiganya yaitu Kota Malang, Kabupaten Malang serta Kota Batu secara geografis dan sosiologisnya tidak bisa dipisahkan. Sehingga, untuk penerapan PSBB diakuinya memang harus dilakukan bersama tiga kepala daerah Malang Raya tersebut.

"Dalam hati, kami juga memang berpikir. Kalau hanya kota Malang tentu tidak akan efektif. Karena, persoalan ini Malang secara keseluruhan yang tidak bisa dipisahkan secara geografis dan sosiologisnya," ujarnya.

Maka dari itu, Unti menyebutkan langkah selain timnya yang berjumlah sebanyak 15 orang dengan terdiri dari para akademisi dan dokter di Malang Raya ini akan mengadvokasi Pemprov Jatim agar bisa lebih detail menyikapi persoalan Covid-19.

Dia menyampaikan pihaknya sekaligus juga akan mengadvokasi dengan mendekati kembali tiga pemimpin daerah di Malang Raya agar bisa bersatu. Dengan harapan agar semua pihak bisa menelaah kembali langkah kebijakan seperti apa yang akan diambil dalam menangani pandemi Covid-19 ini.

Apakah para pemimpin ini yaitu tiga kepala daerah di Malang Raya maupun Pemprov Jatim dikatakannya masih akan tetap bertahan dengan keadaan sekarang yaitu tingkat kasusnya masih kecil atau menunggu penyebarannya lebih meluas lagi.

"Makanya, mari kita mengambil langkah yang komprehensif dengan melakukannya bersama-sama. Bagaimana jumlah yang ada ini kita pertahankan dan tidak naik lagi," ucapnya.

Untuk itu, lanjut Unti, dia berharap Pemprov Jatim bisa bergerak lebih proaktif untuk menyikapi persoalan Covid-19 di setiap daerah. Artinya bahwa apa yang dilihat itu bukan lagi berapa jumlah kasusnya. Melainkan dampak kedepannya jika terus menerus dibiarkan begitu saja.

Apalagi, secara keseluruhan bahwa sebaran kasus Covid-19 di semua daerah di Jawa Timur sudah masuk zona merah. Meninggalkan dua wilayah di Madura yaitu Sampang dan Sumenep yang masih biru tanpa ada kasus confirm positif.

"Sebenarnya, kalau masih seperti itu (melihat jumlah kasus). Sedangkan skalanya sudah merata (penyebaran Covid-19). Bisa-bisa nantinya akan dilakukan (penerapan kebijakan PSBB) se Jawa Timur," kata dia.

"Memang, masih menyisakan dua daerah di Madura (nol kasus confirm positif Covid-19). Tapi, itu ya tinggal nunggu waktu saja. Apalagi, kultur Madura mudik kan. Tapi, semoga saja tidak terjadi," ucapnya.

Terlepas dari itu, dia juga menambahkan bahwa dengan melakukan kebijakan radikal sejak dari awal. Dia menyakini bahwa pembiayaan yang dikeluarkan oleh pemerintah maupun masyarakat tidak akan terlalu besar kebelakangnya.

Memang, ketika kebijakan pembatasan atau PSBB jika diterapkan sejak awal tentu dampaknya terhadap ekonomi cukup besar. Namun, hal itu dikatakannya hanya terjadi di awal penananganan pandemi saja.

Dengan asumsi bahwa tidak akan terjadi di kemudian harinya ketika kebijakan itu tiba-tiba diterapkan di tengah meluasnya penyebaran. Yang bisa saja ada hal tidak harapkan terjadi seperti chaos ataupun panic buying secara besar-besaran.

"Kalau ini menunggu penyakitnya menyebar kemana-mana. Bukan tidak mungkin, ongkos yang harus ditanggung pemerintah dan masyarakat lebih tinggi dengan waktu yang juga relatif lebih panjang. Nah, inilah yang menjadi persoalannya," ucapnya.

Makanya, kebijakan lockdown jika dibandingkan dengan PSSB itu dikatakannya memang kebijakan paling radikal untuk mengatasi Covid-19. Dan semestinya kebijakan itu dilakukan sejak sekian waktu yang lalu di Jakarta dengan melihat di sana sudah menjadi episentrum corona di Indonesia.

"Seharusnya, disanalah yang merupakan hulunya (Covid-19) itu di tutup terlebih dahulu. Jangan nunggu menyebar ke berbagai daerah yang sekarang sudah seperti penyakit kanker akut dan sulit dibendung," ucapnya.

Walaupun pada akhirnya Pemerintah Indonesia sudah terlambat jauh dengan menerapkan PSBB dalam menangani pandemi Covid-19 ini. Karena, ongkos ekonomi yang dipertimbangkan sebelumnya akan sangat tinggi justru terbukti lebih mahal lagi.

"Saya katakan itu sudah terlambat. Meskipun saat ini pemerintah sudah melakukan kebijakan PSBB yang efektifnya juga masih dipertanyakan," tuturnya.

Oleh sebab itu, berkaca pada hal itu pihaknya kembali menegaskan bahwa timnya akan mencoba kembali melakukan advokasi kepada para pimpinan daerah. Khususnya di Jawa Timur dan Malang Raya.

Harapannya dengan berlandaskan perspektif dari ilmu kesehatan, hukum dan ekonomi serta sosial yang sudah disusun para akademisi dan dokter tersebut. Dia berharap bisa dijadikan patokan dalam langkah setiap kebijakan yang diambilnya.

"Tapi, tentu saja. Keputusan akhirnya di mereka ini. Karena mereka lah yang punya wewenang. Kami hanya punya pandangan akademisi dari berbagai aspek yang bisa dijadikan pedoman," jelasnya.

"Sebenarnya, saya yakin kalau pemerintah mau gerak cepat untuk mengatasi. Itu bisa dilakukan. Tapi, kalau ini semakin panjang dan dibiarkan yang pada akhirnya tidak akan kuat. Bisa saja akan terjadi chaos yang hal itu saya harap jangan sampai terjadi," harapnya.

Maka dari itulah, sebelum itu terjadi dan masih bisa bernapas dengan kekuatan yang masih ada. Pihaknya menyarankan agar ada langkah radikal yang perlu dilakukan guna memutus penyebaran Covid-19 ini tidak semakin luas.

"Kita tidak ingin membiarkan masyarakat yang sudah mengalami persoalan ekonomi dibiarkan begitu saja. Pemerintah kan punya perangkat. Punya sumber daya. Nah itu yang dikerahkan," tegasnya.

"Dan mumpung belum terjadi. Persediaan (ekonomi) kita masih kuat. Ditambah dengan jumlah tenaga kesehatan yang juga masih kuat. Sebelum akhirnya nanti malah kewalahan dan kehabisan energi serta lain-lainnya," imbaunya.

Sedangkan melihat data sebaran kasus Covid-19 di Malang Raya. Sesuai data yang dilansir dari situs resmi Pemprov Jatim yaitu di http://infocovid19.jatimprov.go.id/ diketahui tercatat ada sebanyak 1.337 kasus per Selasa 21 April 2020.

Dengan rinciannya yaitu tercatat sudah ada 28 orang dinyatakan confirm positif Covid-19. Dari kasus tersebut, sebanyak 18 kasus terjadi di Kabupaten Malang, 8 kasus di Kota Malang dan 2 kasus di Kota Batu.

Sedangkan untuk kategori PDP (Pasien Dalam Pengawasan) tercatat sebanyak 255 kasus yang rinciannya 116 di Kabupaten Malang, 124 di Kota Malang dan 15 di Kota Batu. Selanjutnya untuk kategori ODP (Orang Dalam Perawatan) tercatat sebanyak 1.017 kasus yang rinciannya 275 di Kabupaten Malang, 601 di Kota Malang dan 141 di Kota Batu. []

Berita terkait
Pandemi Covid-19 Ujian Bagi Kartini di Jawa Timur
Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa mengaku ujian besar bagi kaum perempuan di saat pandemi Covid-19 perannya sangat bermanfaat.
Malaysia Jadikan Ponpes di Magetan Klaster Covid-19
Bupati Magetan Suprawoto langsung melakukan tracing dan rapid test terhadap santri terhadap ustaz dan santri di Ponpes Al Fatah Temboro.
Pasien Sembuh Covid-19: Jatim Satu Orang, Bali Empat
Selain tidak ada kasus baru, juga tidak tercatat ada pasien Covid-19 di Jawa Timur yang meninggal dunia.