Pematangsiantar - Sutiem, 54 tahun, seorang pedagang pecel di Kota Pematangsiantar, Sumatera Utara. Pernah dinyatakan positif Covid-19 sehingga menjalani isolasi dan perawatan di rumah sakit. Setelah dinyatakan negatif, stigma pembawa virus seakan melekat padanya.
Ibu warga Gang Demak, Jalan Singosari, Kelurahan Martoba, Kecamatan Siantar Utara, itu menuturkan pengalamannya selama dirawat di rumah sakit. Menurut dia, lebih bagus di dalam penjara ketimbang dirawat di rumah sakit.
"Pokoknya ngeri lah diisolasi. Cukup sayalah yang diisolasi, janganlah keluarga lain di Siantar ini diisolasi. Ngak tahan saya diisolasi, lebih bagus saya dipenjara daripada saya diisolasi. Kalau di penjara, jam 9 pagi sudah dikeluarkan," kata dia ditemui di depan gedung Pengadilan Negeri (PN) Pematangsiantar, Senin, 29 Juni 2020.
Dikatakan, informasi dirinya positif corona yang diumumkan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Pematangsiantar pada Minggu 3 Mei 2020 lalu adalah keliru. Dia dan keluarga pun mempertanyakan hasil pemeriksaan swab kala itu.
"Pertama, saya dibilang hasil swab dikirim ke Jakarta. Jadi nanti saya diswab lagi katanya dua hari atau tiga hari berikutnya. Saya katakan saya udah ngak tahan lagi di rumah sakit ini, nanti saya bunuh diri lho di sini, saya bilang," katanya, menirukan ucapannya saat diisolasi.
"Dari mana jalannya? Saya ngak punya sesak, ngak punya sakit yang lain, saya bilang. Saya pulang dari rumah sakit dikasih surat warna hijau. Saya malas baca, anak-anak yang di rumah yang baca. Kata anak saya, keterangan isi surat negatif covid. Saya 28 hari dirawat dan isolasi di rumah sakit," sambungnya.
Setelah saya ke luar dari rumah sakit ada sampai sekarang yang ngak berani melihat saya
Nenek dengan cucu delapan itu pun mengaku, saat dalam perawatan di rumah sakit mendapat perlakuan baik oleh tim medis. Meski begitu, ia merasa tidak betah saat menjalani isolasi.
"Saya ke luar dari rumah sakit kayak kucing ke luar dari karung. Waktu diisolasi ngak pernah kena matahari, dikurung dalam kaca. Perawatan medis bagus, dikasih susu, jus, tapi karena saya ngak betah, makanan yang dikasih ngak saya makan, saya buang itu. Saya kurus, Pak. Saya masuk berat 72 kilogram, ke luar saya jadi 60 kilogram. Selera makan saya ngak ada," terangnya.
Atas informasi simpang siur statusnya, Sutiem mengaku terkena imbas pada pekerjaannya. Warga seakan mengucilkan keluarganya dengan label sebagai pembawa virus di daerahnya.
"Setelah saya ke luar dari rumah sakit ada sampai sekarang yang ngak berani melihat saya. Ngak berani lewat dari depan rumah saya pun ada, Pak. Maka saya pun jualan ngak laku lagi," ujarnya.
"Itulah, ngerilah saya. Sudah tiga bulan ngak bisa cari makan. Tadinya pelanggan ramah sama saya, sekarang jadi buang muka, ngga mau nengok saya gitu. Selama tiga bulan tak bekerja belum ada bantuan pemerintah sama saya," katanya menyudahi.
Kedatangan Sutiem ke PN Pematangsiantar untuk menggugat karena mengaku menjadi korban. Ia dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pematangsiantar mengajukan gugatan class action terhadap Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Pematangsiantar yang diketuai Hefriansyah Noor. Tercatat dalam isi gugatan itu, delapan orang pengacara sebagai kuasa penggugat.
"Mewakili kelompok warga Gang Demak mengajukan gugatan class action terhadap Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kota Pematangsiantar ke PN Siantar dengan Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2002 tentang acara gugatan perwakilan kelompok," kata Binaris Situmorang, salah satu dari delapan pengacara LBH.
Disebutkan Binaris, atas nama korban warga Gang Demak menggugat dengan menuntut kerugian material. "Melakukan gugatan class action ini dengan tujuan menuntut ganti kerugian material. Bahwa mereka diperlakukan secara buruk penanganannya oleh petugas covid, sehingga mereka mengalami halangan-halangan dalam melanjutkan aktivitas ekonomi," katanya.
Kemudian secara immaterial nama baik warga di hadapan masyarakat umum sudah dilecehkan. Karena mereka dituduh terpapar covid. []