Jakarta - Kalimat ini mungkin sudah tak asing di telinga kita ketika sedang berbagi cerita ke orang lain : “Kamu harus tetap positif! Di luar sana masih banyak yang nggak seberuntung kamu!”
Pada umumnya memang manusia akan cenderung berbagi kisah dengan orang lain ketika sedang mengalami masalah. Alih-alih mendapat dukungan, tak jarang balasan yang didapat justru malah memaksa kita untuk menyembunyikan emosi negatif tersebut.
Sadar atau tidak, mungkin kita juga pernah melakukan hal serupa ketika orang lain bercerita mengenai masalah hidupnya. Nah, berikut penjelasan mengenai toxic positivity yang harus kamu tahu.
1. Apa arti toxic positivity ?
merupakan suatu pola pemikiran untuk selalu berpikir positif serta menganggap bahwa hal tersebut merupakan cara yang tepat untuk menjalani hidup. Dengan kata lain, kita hanya menerima hal-hal positif dalam hidup dan menolak hal-hal lainnya termasuk emosi negatif. Hal ini seperti suatu paradoks, ucapan-ucapan positif dihadapkan pada emosi negatif dapat menjadi racun bagi mereka yang menerimanya.Toxic positivity merupakan suatu pola pemikiran untuk selalu berpikir positif serta menganggap bahwa hal tersebut merupakan cara yang tepat untuk menjalani hidup. Dengan kata lain, kita hanya menerima hal-hal positif dalam hidup dan menolak hal-hal lainnya termasuk emosi negatif. Hal ini seperti suatu paradoks, ucapan-ucapan positif dihadapkan pada emosi negatif dapat menjadi racun bagi mereka yang menerimanya.
Tak jarang, mereka yang sedang memiliki masalah akan menjadi lebih larut dalam emosi negatif ketika diberi dukungan dengan kalimat-kalimat positif yang tidak tepat. Hal tersebut dapat terjadi karena orang yang sedang memiliki masalah cenderung ingin dimengerti, tak cukup diberi simpati melainkan perlu ditunjukkan empati.
Apa dampak yang ditimbulkan?
Memaksa seseorang untuk bersikap baik-baik saja di saat kondisinya sama sekali tidak demikian. Mereka dipaksa untuk bungkam dengan apa yang mereka rasakan. Mengekspresikan ketakutan di saat terpuruk akan dianggap sebagai sesuatu hal yang salah oleh penyebar . memaksa seseorang untuk bersikap baik-baik saja di saat kondisinya sama sekali tidak demikian. Mereka dipaksa untuk bungkam dengan apa yang mereka rasakan. Mengekspresikan ketakutan di saat terpuruk akan dianggap sebagai sesuatu hal yang salah oleh penyebar .Toxic positivity memaksa seseorang untuk bersikap baik-baik saja di saat kondisinya sama sekali tidak demikian. Mereka dipaksa untuk bungkam dengan apa yang mereka rasakan. Mengekspresikan ketakutan di saat terpuruk akan dianggap sebagai sesuatu hal yang salah oleh penyebar toxic positivity.
Paksaan untuk selalu berpikir positif tersebut dapat mendorong seseorang untuk menyangkal perasaan mereka. Penyangkalan yang bertumpuk ini akan berdampak kepada kondisi psikis seseorang.
Mereka yang terkena toxic positivity akan lebih mudah merasakan stres. Karena dilarang untuk mengekspresikan emosi negatif, mereka merasa diasingkan dan tertekan. Hal ini akan berujung kepada pengurangan harga diri, dan merasa bersalah jika tidak bisa untuk selalu berpikir positif seperti yang orang lain katakan.
Apa yang harus dilakukan?
Kamu tidak bisa mengontrol apa yang orang lain akan katakan. Satu-satunya yang bisa kamu kontrol adalah diri kamu sendiri. Untuk itu, ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk menghadapi toxic positivity.
Hal pertama yang harus kamu lakukan adalah kelola emosi negatif mu dan jangan menyangkalnya. Coba untuk mengidentifikasi perasaan yang sedang kamu rasakan. Jangan sesekali menyangkalnya, karena perasaan setiap orang bersifat valid.
Kedua, hargai dirimu. Normalisasikan bahwa berada dalam masa-masa negatif adalah hal yang wajar. It’s okay to not be okay! Lalu cobalah cari jalan keluar dari masalah yang kamu hadapi tersebut.
Ketiga, apabila dirasa terlalu berat cobalah untuk curhat kepada orang yang tepat. Bercerita mengenai masalah yang kamu alami memang tidak membuat masalah itu hilang, namun setidaknya dapat mengurangi beban yang kamu tanggung. Tapi pastikan orang tersebut adalah orang yang benar-benar kamu percayai, seperti sahabat, keluarga, atau psikolog.
(Sri Wahyuni Sitorus)
Baca Juga:
- Sekolahkan Anak di Sekolah Kristen, Putri Titian: Soal Jarak
- Ketahui 4 Macam Doa Umat Kristen Sehari-hari
- 3 Tips Praktis Berdoa untuk Umat Kristen
- Doa Pertama yang Diajarkan Yesus dalam Katolik