Jakarta - Ketua RW 7 Kelurahan Bidara Cina, Mamat Sahroni mengatakan alat pengeras suara atau toa yang dipasang Pemprov DKI Jakarta untuk memberi tanda peringatan dini banjir kurang bermanfaat. Karena suara sirine yang dikeluarkan kurang nyaring sehingga banyak warga yang tidak mengetahui adanya peringatan banjir.
"Menurut saya enggak ada fungsinya, enggak ada pengaruh. Suaranya pelan paling terdengar 50 meter," kata Mamat saat dibincangi di kediamannya di Bidara Cina, Jakarta Timur, Rabu, 22 Januari 2020.
Mamat menjelaskan ada empat pengeras suara yang dipasang di atas kantor sekretariat RW. Toa tersebut telah dipasang sekitar sepuluh tahun yang lalu.
"Toa dipasang di pos RW ada 4 toa. Dipasang sejak Gubernur (Fauzi Bowo) Foke, enggak pernah bunyi," ujar bapak empat anak ini.
Mamat menyarankan pemerintah tidak lagi menganggarkan dana untuk menambah toa yang dirasa tidak efektif tersebut. Dia memiliki ide agar setiap ketua RT diberikan HT (handy talky) untuk berkoordinasi se-lingkungan RW.
"Lebih efektif HT, jadi 18 RT di RW 7 dikasih satu-satu HT untuk saling kontak kalau ada peringatan banjir. Kemudian para RT meminta keamanan untuk saling berkeliling memberi tahu warga," kata Mamat.
Lebih lanjut, dia menjelaskan dari 18 RT tersebut 14 RT selalu menjadi langganan banjir jika air sungai Ciliwung meluap. Sehingga jika mengandalkan toa menurutnya cuma tiga wilayah RT yang mungkin bisa mendengarnya.
Tidak hanya itu, pria berusia 58 tahun ini mengatakan petugas BPBD DKI memberikan kode untuk mengakses ke mesin Disaster Warning System (DWS). Sebelumnya, hanya pihak BPBD yang dapat membunyikan toa tersebut.
"Sekarang sudah bisa nyalakan. Kemarin diberi kode biar bisa bunyikan kalau kondisinya mau banjir," ujarnya.
Mamat membandingkan pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sangat lamban dalam menangani banjir. Hal itu sangat jauh berbeda dengan gubernur sebelumnya, Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok.
"Dulu sudah pernah diukur sepanjang kali yang belum dinormalisasi. Tapi ganti gubernur rencana itu tidak jadi sampai sekarang. Kalau dinormalisasi mengurangi debit air. Aturan banjir dua hari itu cuma beberapa jam," tutur pria asli Banten tersebut.
Sementara itu, warga RW 7 Ana Setiawati mengatakan saat banjir pada 1 Januari 2020, rumahnya terendam setinggi pintu. Oleh karenanya dia harus mengungsi karena tempat tinggalnya hanya satu lantai.
"Saya ngungsi di kelurahan sampai sehari semalam. Karena kan air tinggi sekali kan," ucap Ana.
Ana juga mengaku peringatan terhadap banjir dirasa kurang. Pasalnya sebelumnya hanya diberi peringatan bahwa ketinggian air di Katulampa Bogor masih 170 sentimeter, tapi tiba-tiba tidak lama kemudian air menggenangi permukiman.
"Rumah kelelep sampai dua meter. Katanya di Katulampa airnya 170 sentimeter. Eh, di sini tiba-tiba banjir aja," ucap dia. []