Tiga Kata Sakti Ratu Keraton Agung Sejagat Purworejo

Sluman, slumun, slamet. Tiga kata yang sering dinyatakan Fanni Aminadia 41 tahun yang menyebut diri Ratu Keraton Agung Sejagat di Purworejo.
Fanni Aminadia berkostum ala ratu di akun Instagramnya. (Foto: Instagram/@fanniaminadia)

Semarang - Sluman, slumun, slamet. Tiga kata yang sering dituliskan Fanni Aminadia 41 tahun yang menyebut diri sebagai Ratu Keraton Agung Sejagat, di akun Instagramnya @fanniaminadia. Tiga kata semacam mantera sakti ini menghiasi beberapa unggahan status perempuan yang mentasbihkan diri dengan gelar Kanjeng Ratu Dyah Gitaja.

Seperti dalam unggahan bergambar beberapa tangan mengepal dengan gelang warna merah putih. Foto ini diunggah @fanniaminadia tiga hari lalu. Di bawah foto adalah keterangan, "Hanya 'welas asih' yang bisa menyatukan ini, bagaimana kita memanusiakan manusia tanpa memandang rendah lainnya. pasrahke marang alam jagad. Sumeleh sluman slumun slamet."

Keterangan foto itu dilengkapi tanda pagar #keratonagung #keratonagungsejagad #kerajaan #nusantara #sejarah #sejarahindonesia. Hingga berita ini ditulis, unggahan itu telah mendapat 679 komentar dari netizen. Mayoritas warganet menanggapi dengan pernyataan bernada bully.

"Piye kabare bunda ratu kami? Aman ya di hotel prodeo. Sembah sungkem kami," komentar seorang netizen disertai emoticon tertawa.

Penyebutan sluman, slumun, slamet juga ada dalam unggahan foto Fanni bersama seorang anak perempuan, 21 Desember 2019. Keduanya mengenakan kebaya, berdandan ala putri keraton, memperlihatkan kecantikan khas perempuan Jawa. Keterangan di foto bernada pesan kepada si anak perempuan tersebut.

"Jadilah sejatinya manusia Jawa, sumeleh sluman slumun slamet." Begitu bunyi status foto tersebut. Lengkap dengan tagar #jawa #jatidiri #nusantara #indonesia #sanjaya #syailendra #mataramkuno #majapahit. Senada dengan unggahan sebelumnya, ratusan warganet memberi komentar bernada bully dikemas bahasa candaan.

Piye kabare bunda ratu kami? Aman ya di hotel prodeo. Sembah sungkem kami.

raja dan permaisuriDua orang yang mengaku Raja Keraton Agung Sejagat Toto Santoso dan Permaisuri Fanni Aminadia duduk di singgasana. (Foto: Grup Facebook/Tagar/Kurniawan Eka Mulyana)

Sementara itu hingga saat ini belum ada keterangan dari Fanni Aminadia tentang kasus Keraton Agung Sejagat yang dipimpinnya bersama Toto Susanto. Belum diketahui apa yang sebenarnya hendak mereka perbuat dengan pendirian keraton tersebut. Saat jumpa pers di Markas Kepolisian Daerah Jawa Tengah, Rabu, 15 Januari 2020, keduanya buru-buru digelandang petugas, dibawa masuk ke rumah tahanan. 

Walaupun demikian, melalui akun Instagram @fanniaminadia, Fanni sempat menyampaikan kegundahannya, tertuju kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo dan Kepolisian Daerah Jawa Tengah. 

"Sugeng siang Pak Ginanjar, prinsipnya kami sangat menyambut baik bahkan menunggu agar diskusi dan diuji secara akademisi sejarah ini bisa terealisasi. Tapi pelintiran berita dan penggalan dokumentasi ternyata mampu merubah makna dari pernyataan kami.

Saya yang dituduh menyebar berita hoax, padahal yang menyebar media. Dan saya kemarin berencana memposting surat terbuka dan untuk Bapak, tapi tanpa diberi kesempatan klarifikasi, mediasi dan bahkan penangkapan kami terkesan eksklusif lengkap dengan media. Kami berusaha korporatif tapi justru diperlakukan layaknya teroris kelas dunia atau dihakimi sebelum diberi hak mengklarifikasi.

Di mana prosedur yang harusnya dijalankan untuk menjaga asas praduga tak bersalah. Barusan saya diminta ganti baju tahanan, tanpa diberi tahu salahnya dan menjadi tersangka atas apa? Saya mohon Bapak bisa mengimbau agar aparatur yang bertugas jangan politisir kasus kami yang terlanjur viral untuk sekadar pers conference berhasil menangkap.... #ganjarpranowo #nurani #poldajateng."

Curhatan itu kembali jadi bahan tertawan warganet karena salah menyebut Ganjar dengan Ginanjar.

Sluman Slumun Slamet

Praktisi budaya Jawa, Slamet Rahayu, mengatakan sluman slumun slamet artinya berjalan apa adanya atau asal, yang penting selamat sampai tujuan atau akhir perjalanan. Bagi Slamet, tiga kata tersebut tidak punya sejarah kebudayaan tertentu.

"Seperti sebuah gerakan yang tidak terkonsep tapi yang utamanya selamat di akhir. Tapi tidak ada sejarah yang bisa menerangkan asal usul kata itu. Sumber yang mendasari secara gramatikal tidak ada. Itu seperti bahasa pergaulan sejenis prokem," tutur Slamet kepada Tagar, Jumat, 18 Januari 2020.

Hanya saja, lanjutnya, karena ungkapan itu bahasa Jawa, disampaikan orang Jawa atau kalangan orang Jawa, kemudian dianggap terkait budaya Jawa atau kejawen. "Dianggap seperti itu meski sebenarnya itu sekadar sebuah ungkapan."

Selain dikaitkan dengan kejawen, sluman slumun slamet juga kerap disandingkan simbol atau tokoh pewayangan Jawa, Semar. "Sah-sah saja orang mengaitkan atau menafsirkan ungkapan itu dengan apa pun. Tidak ada aturan yang melarangnya. Hanya saja biasanya memang ada maksud atau tujuan tertentu. Tapi ini bukan berarti bagian dari budaya Jawa maupun kejawen. Karena ini tak lebih dari sebuah ungkapan berbahasa Jawa." []

Baca juga:

Berita terkait
Keraton Agung Sejagat Purworejo Pertunjukan Seni?
Kemunculan Keraton Agung Sejagat di Purworejo di mata seniman tak lebih dari sebuah pertunjukan seni berdampak.
Dagelan Gaya Keraton Agung Sejagat di Purworejo
Majelis Adat Kerajaan Nusantara (MKAN) menganggap Keraton Agung Sejagat seperti dagelan. MAKN sama sekali tidak mengakui kerajaan abal-abal itu.
Keraton Agung Sejagat Purworejo di Mata Habib Luthfi
Habib Luthfi menyerahkan persoalan Keraton Agung Sejagat di Purworejo ke Polda Jawa Tengah.