Ternyata Ogoh-ogoh Harus Dibakar dan Dikuburkan, Ini Alasannya

"Ini adalah bentuk ketidaktulusan, padahal seharusnya "dipralina" atau dikembalikan pada asalnya dengan cara dibakar," kata Satria, di Denpasar, Rabu (14/3).
KERAJINAN "OGOH-OGOH": Perajin membuat boneka "Ogoh-ogoh" di salah satu sanggar di kawasan Sesetan, Denpasar, Bali, Rabu (7/3). Terjadi lonjakan permintaan "Ogoh-ogoh" ke berbagai wilayah seperti Australia, Jakarta, Kalimantan, dan Surabaya menjelang hari raya Nyepi. "Ogoh-ogoh" tersebut dijual seharga Rp 500 ribu hingga Rp 75 juta per buah tergantung ukuran, bahan, dan tingkat kesulitan pembuatan. (Foto: Ant/Fikri Yusuf)

Denpasar, (Tagar 14/3/2018 )  - Ternyata"ogoh-ogoh" harus dibakar di kuburan seusai diarak pada saat Pengerupukan atau sehari sebelum Hari Suci Nyepi. Menurut Akademisi pengajar filsafat Hindu di Universitas Hindu Indonesia (Unhi) Denpasar I Kadek Satria MPdH, seringkali masih ada yang enggan membakar ogoh-ogoh karena dianggap sudah diukir dengan sangat baik dan begitu besar.

"Ini adalah bentuk ketidaktulusan, padahal seharusnya "dipralina" atau dikembalikan pada asalnya dengan cara dibakar," kata Satria, di Denpasar, Rabu (14/3).

Satria menambahkan, ogoh-ogoh merupakan bentuk ilustrasi dari bhuta kala atau sosok yang berbadan besar dan menyeramkan. Ogoh-ogoh, sekaligus menjadi kreativitas generasi muda untuk membentuk penyomian (mengubah unsur negatif menjadi positif) dalam bentuk nyata yang bisa dilihat.

"Kalau dilihat di dalam lontar, tidak ada satupun lontar yang menyatakan bahwa saat Pengerupukan itu harus menggunakan ogoh-ogoh sebagai sarana untuk Pengerupukan. Namun, ini menurut saya adalah bentuk kreativitas yang berdasar karena pada pagi atau siangnya itu, umat Hindu melakukan 'penyomian' dengan menggelar ritual Tawur Kesanga," ucap akademisi di Fakultas Pendidikan Agama dan Seni Unhi Denpasar itu.

Jadi, ujar Satria, ogoh-ogoh merupakan "nyomia" dalam bentuk "sekala" atau yang nyata dilihat oleh generasi muda karena sebagian besar pemahaman umat tidak bisa mencakup abstrak, sehingga untuk lebih mudahnya dibuat ogoh-ogoh.

"Karena ogoh-ogoh sebagai sarana ritual, maka ada proses ritual, yakni ada ritual pemlaspas, urip-urip, dan selanjutnya diarak mengelilingi desa, yang pada akhirnya ogoh-ogoh dibakar di kuburan," ucapnya.

Satria tidak memungkiri, ritual "pralina" memang dapat dilakukan tidak hanya dengan dibakar, namun juga bisa dengan menggunakan tirta atau air suci.

"Tetapi kalau ogoh-ogoh tersebut yang hanya diperciki tirta, terus diletakkan di balai banjar itu akan menimbulkan persoalan karena pada beberapa desa di Bali, pernah terjadi ogoh-ogoh hidup sendiri," kata Satria.

Oleh karena itu, lanjut dia, pembakaran harus dilakukan di kuburan sebagai bentuk pengembalian. "Saya kira ini perlu penertiban dari desa pakraman (desa adat) bahwa ogoh-ogoh itu sebagai bagian yadnya (pengorbanan) yang dilakukan generasi muda sebagai bentuk kreativitas dan harus dibakar," ucapnya.

Umat Hindu akan merayakan Hari Suci Nyepi Tahun Baru Saka 1940 pada 17 Maret mendatang. Nyepi tahun ini juga bertepatan dengan Hari Suci Saraswati yang diyakini merupakan Hari Turunnya Ilmu Pengetahuan. ant/rmt

Berita terkait
0
Dua Alasan Megawati Belum Umumkan Nama Capres
Sampai Rakernas PDIP berakhir, Megawati Soekarnoputri belum mengumumkan siapa capresnya di Pilpres 2024. Megawati sampaikan dua alasan.