Jakarta, (Tagar 21/2/2019) - Gunung Bromo terkenal dengan panoramanya yang begitu indah. Namun, di balik keindahannya, gunung ini menyimpan energi mematikan karena tergolong sebagai gunung berapi yang masih aktif.
Gunung Bromo menjadi salah satu dari banyak gunung api aktif di Indonesia. Terletak di Jawa Timur, gunung dengan ketinggian 2.329 meter di atas permukaan laut itu memiliki juru kunci.
Juru kunci itu disebut dukun, tugasnya mendeteksi datangnya letusan sekaligus memimpin upacara Kasada di Gunung Bromo.
Upacara Kasada merupakan ritual suku Tengger mengorbankan makanan, hasil pertanian, benda maupun pakaian ke ke kawah Gunung Bromo. Dahulunya, pengorbanan dalam bentuk mahluk hidup, salah satunya manusia.
"Tidak ada juru kunci di Gunung Bromo, tapi di setiap desa di sekitar pegunungan ada dukunnya," ujar Ketua Tim Tanggap Darurat Gunung Bromo, Gede Suantika, dikutip Tagar News dari Okezone.
Suku Tengger memang kental dengan adat istiadat. Setiap tahun menyelenggarakan upacara Kasada, lima tahun sekali melakukan upacara Unan-Unan sebagai tradisi wajib untuk menentukan penanggalan Tengger.
Upacara Unan-Unan dipercaya untuk membersihkan desa dari beragam bencana agar warga Tengger terhindar dari bala. Sementara penanggalan diperuntukkan untuk warga yang mencari tanggal tepat kenduri atau selamatan.
Warga Gunung Bromo ini juga terkenal dengan kecintaan untuk menjaga alam dan menganggap keramat tempat-tempat tertentu yang tidak boleh diganggu. Itu diyakini akan berdampak buruk pada kehidupan jika melanggar. Dapat berupa sakit, bahkan bencana.
Dalam peranannya, selain dipercaya memantau aktivitas gunung, dukun tersebut penting hadir di tiap desa. Suku Tengger lebih memilih tidak memiliki kepala desa daripada tidak memiliki dukun.
Di empat kabupaten yang didiami Suku Tengger dipastikan terdapat satu atau dua dukun, totalnya sekitar 47 dukun di 41 Desa Tengger.
"Dukun mempunyai peranan penting dalam kehidupan orang Tengger. Bahkan, mereka lebih memilih tidak ada kepala desa atau petinggi daripada tidak ada dukun dalam suatu desa," tutup pria yang juga pernah meneliti hukum adat Tengger itu.
Baca juga: Seruput Kopi di Paris, Ini Penilaian Edy Rahmayadi Terhadap Kopi Lokal