Untuk Indonesia

Tak Mau Dicurangi Dalam Pemilu? 13 Hal Ini Harus Dilakukan Saksi-saksi di TPS

Adakah potensi kecurangan dalam Pilpres dan Pileg 2019 nanti? Di manakah titik-titik potensi kecurangannya?
Anggota Komisi Pemilihan Umum RI Hasyim Asy'ari memberikan paparan kepada para peserta Bimbingan Teknis Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN) di Shanghai, China, Rabu (20/2). Kegiatan yang digelar pada 19-23 Februari 2019 tersebut diikuti para anggota dan staf sekretariat PPLN dari KBRI Beijing, KJRI Shanghai, KJRI Guangzhou, KJRI Hong Kong, KBRI Pyongyang (Korea Utara), KBRI Tashkent (Uzbekistan), dan KBRI Astana (Kazakshtan). (Foto: Antara/M Irfan Ilmie)

Oleh: Girindra Sandino*

Persiapan kubu capres-cawapres nomor urut 01, Jokowi-Ma'ruf Amin untuk menyiapkan 2 juta saksi berikut dengan hampir 10.000 advokad – dan sudah memberikan pembekalan tertutup -, untuk mengawal preses pemungutan dan penghitungan suara, serta rekapitulasi suara berjenjang hingga tingkat pusat sudah merupakan langkah awal strategis yang tepat. Oleh karena tahapan yang paling terpenting dari proses pelaksanaan pemilu adalah hari H atau pemungutan suara, serta proses rekap yang berjenjang. 

Menurut pengalaman saya  sebagai pemantau lapangan, ada beberapa hal yang sangat perlu diperhatikan secara serius, antara lain:

Pertama, para saksi harus tahu betul situasi dan kondisi daerah serta TPS yang akan dipantau, serta memahami secara detail dan rinci aturan-aturan main yang ada di TPS-TPS. Sebagai contoh, apakah DPT terpampang di TPS, apakah kotak suara tersegel, apakah masih ada APK lawan yang dapat mempengaruhi pemilih dalam radius tertentu, apakah masih ada warga yang belum mendapat formulir C6 (surat pemberitahuan lokasi memilih/TPS).

Kedua, harus tahu betul tugas-tugas PPS dan KPPS (Khususnya Ketua KPPS dan PPS). Juga harus mengetahui tujuh orang petugas KPPS apa saja tugasnya. Paling rawan misalnya, anggota KPPS keempat dan KPPS kelima, yang bertempat di dekat pintu masuk TPS menerima pemilih yang akan masuk ke dalam TPS. 

Kenapa KPPS keeempat rawan, karena tugasnya meminta pemilih menunjukkan e-KTP atau identitas lain sebagai syarat memilih, memeriksa kesesuaian pemilih dengan form C6, memeriksa kesesuaian nama pemilih (NIK harus diperhatikan untuk menghindari pemilih ganda), termasuk memeriksa jika terdapat pemilih yang tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb.

Ketiga, khusus mengenai pemilih yang memiliki e-KTP tapi tidak terdaftar dalam DPT dan DPTb yang akan didaftarkan di dalam DPK. Dan saksi harus jeli soal identitas lain seperti suket, kartu keluarga, paspor dan surat izin mengemudi sebagai syarat dapat memilih. Serta pemilih dengan kondisi tertentu. Hal ini untuk menghindari mobilisasi pemilih fiktif.

Keempat, saksi harus mengetahu jenis-jenis dan fungsi formulir-formulir.

Kelima, saksi harus cermat saat proses penghitungan suara dimulai, seperti memperhatikan dan mendokumentasikan C1 plano, PPWP, DPR, DPRD Provinsi dan Kabupaten dan DPD. Jumlah pemilih tedaftar di DPT, DPTb, DPK  yang memberikan suara, surat suara yang rusak atau tidak digunakan atau sah, tidak sahnya surat suara.

Keenam, bagaimana menghadapi penyelesaian keberatan, misal salah menulis angka keberatan tersebut harus dilaksanakan KPPS dan dibetulkan seketika itu juga.

Ketujuh, penyampaian salinan formulir Model C-KPU (5 jenis model). Memperhatikan 1 rangkap formulir kepada PPS yang disegel dalam sampul kertas untuk diumumkan di kelurahan/desa atau nama lainnya. Saksi dan pengawas TPS wajib mendapat salinan tersebut dan mencocokannya terkait kebenaran angka.

Kedelapan, pengawalan dan pengamanan kotak suara setelah rapat penghitungan suara.

Kesembilan, menurut pengalaman kami yang sering melakukan pemantauan, penjagaan ketat harus dilakukan di tingkat kecamatan. Sebagaimana diketahui, dengan tidak mengurangi rasa hormat kepada petugas jajaran bawah penyelenggara pemilu, kerap kali “masuk angin” atau “rapuh” secara psikologis jika berhadapan dengan uang, atau janji-janji lain oleh oknum-oknum “pemain” yang biasanya orang-orangnya adalah pemain yang sama setiap ada hajatan pemilu maupun pilkada.

Kesepuluh, saksi harus diberi modul atau alat kerja berupa kertas atau lainnya yang dapat menggambarkan secara keseluruhan proses pemungutan, penghitungan di TPS serta rekap berjenjang. Jika ada kejanggalan, sebaiknya dibentuk tim khusus yang langsung menangani permasalahan, jangan ditunda-tunda.

Kesebelas, proses perekrutan saksi-saksi harus benar-benar selektif. Yang memang harus dimulai dari sekarang, karena waktu sudah mepet. Khususnya untuk mencari koordinator atau korlap baik tingkat kecamatan dan kelurahan, yang memiliki militansi, idealis, memiliki kompetensi dan kredibilitas, responsif, bernyali besar, organizer, dan memiliki kemampuan teknis kepemiluan yang memadai. Sulit untuk mencari orang atau saksi yang memiliki kaliber seperti itu, terkecuali dilakukan pelatihan dengan dikarantina dan melakukan perjanjian seperti perjanjian sakral atau suci.

Keduabelas, mendirikan posko-posko untuk para saksi. Untuk koordinasi di setiap kecamatan atau kelurahan, untuk klinik kesehatan, persediaan logistik, karena pengawalan suara membutuhkan kondisi fisik dan mental yang prima. Oleh karena itu wajar bila saksi seharusnya lebih dari satu.

Ketigabelas, Tim sukses inti yang mengelola IT atau tabulasi suara yang masuk harus menguji coba sistem teknologi tersebut. Uji publik, seperti dibiarkan dulu di hacker atau dijaili, agar jika terjadi seperti itu kelak, dapat segera ditangani dengan cepat. Hal ini juga dapat berlaku pada sistem IT KPU.

Sebetulnya masih banyak lagi yang harus dilakukan, namun paparan di atas cukup untuk menggambarkan bagaimana saksi-saksi harus bekerja dengan jeli, profesional, cermat, dan bertanggung jawab, sehingga tidak hanya sekadar piknik di TPS-TPS.

*Penulis adalah Peneliti 7 (Seven) Strategic Studies

Berita terkait
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.