Penyakit Penyebab Utama Kematian di Indonesia yang Luput dari Debat Capres dan Cawapres untuk Pilpres 2024

Warga tidak bisa lihat kemapuan Capres dan Cawapres untuk tanggulangi berbagai penyakit di Indonesia karena tidak jadi materi debat
Ilustrasi (Sumber: griswoldhomecare.com)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - Debat calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) untuk pemilihan presiden (Pilpres) 2024 ternyata mengabaikan masalah-masalah besar, dalam hal ini penyakit penyebab utama kematian penduduk Indonesia, yang sedang dan akan dihadapi bangsa Indonesia.

Jargon ‘Indonesia Emas’ yang disebut akan tercapai pada 100 tahun setelah Indonesia Merdeka, yaitu tahun 2045, bisa saja hanya tinggal kenangan karena penyakit-penyakit yang jadi penyebab kematian penduduk Indonesia diabaikan.

Selama ini yang dilakukan pemerintah di era reformasi hanyalah membangun sarana dan prasanana kesehatan, seperti pusat-pusat kesehatan masyarakat yang dikenal luas sebagai pusat kesehatan masyarakat (Puskesmas) dan rumah sakit (RS).

Celakanya, akar persoalan yaitu pola hidup warga yang jadi pemicu penyakit menular dan tidak menular justru diabaikan karena Puskesmas bukan jadi pusat promosi kesehatan, tapi sudah jadi tempat berobat (kuratif) bahkan ditingkatkan fungsinya jadi RS.

Kalau disimak tabel terkait dengan penyakit penyebab utama kematian di Indonesia, maka perlu langkah yang komprehensif karena 9 dari 10 penyebab utama kematian di Indonesia bukan penyakit menular, tapi penyakit degeneratif.

penyakit penyebab kematian di indonesiaTABEL: 10 Penyakit Penyebab Utama Kematian di Indonesia per 100.000 Penduduk Tahun 2019 (Sumber: Dok Pribadi/Syaiful W Harahap)

Secara medis penyakit-penyakit degeneratif bisa diatasi agar tidak sampai jadi penyebab kematian yaitu melalui promosi kesehatan yang sejatinya dijalankan oleh layanan kesehatan yang dekat dengan masyarakat, dalam hal ini pusat kesehatan masyarakat yang lebih dikenal sebagai Puskesmas.

Jika isu ini masuk dalam debat Capres dan Cawapres yang dijlankan Komisi Pemilihan Umum (KPU), tentulah bisa kelihatan bagaimana dan apa yang akan mereka lakukan secara faktual kelak ketika menjabat sebagai presiden dan wakil presiden.

Celakanya, isu kesehatan ini tidak masuk agenda Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai materi debat pasangan Capres dan Cawapres. Akibatnya, warga yang mempunyai hak pilih tidak bisa menilai pasangan Capres/Cawapres mana yang cakap untuk mengatasi masalah kesehatan dengan skala nasional.

Pada awalnya pusat-pusat kesehatan masyarakat, dikenal luas sebagai Puskesmas, dibangun di semua penjuru Tanah Air sebagai ujung tombak promosi (promotif) kesehatan yaitu mendorong perubahan perilaku masyarakat agar hidup sehat melalui pencegahanpenyakit (preventif).

Di akhir masa Orde Baru fungsi Puskesmas terus beralih sebagai tempat pengobatan (kuratif) bahkan belakangan ini ada Puskesmas yang justru jadi tempat rawat inap yang berfungsi sebagai RS.

Di masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono (SBY) yang dijalankan adalah membangun RS. Menurut SBY, selama hampir 10 tahun ini rumah sakit bertambah 837, ini meningkat lebih dari 600 persen. Puskesmas bertambah 1.960, meningkat 600 persen. Apotik 1.056, meningkat 400 persen. Jumlah dokter kini tercatat 76.523 dokter, meningkat 200 persen (nasional.news.viva.co.id, 14/7-2014).

Tapi, ada realitas sosial di belakang fakta itu (pertambahan RS) yang tidak muncul ke permukaan yaitu pertambahan jumlah RS itu karena jumlah warga yang sakit juga bertambah banyak sehingga memerlukan tempat tidur dan ruang perawatan.

Semula di awal-awal pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ada harapan besar untuk mengembalikan fungsi Puskesmas sebagai pusat promosi kesehatan untuk mengajak masyarakat mengetahui risiko penyakit yang akan mereka hadapi dan membangun pola hidup sehat.

Tapi, yang terjadi kemudian tidak seindah ide yang dilontarkan, termasuk upaya Presiden Jokowi untuk mengerem warga berobat ke luar negeri. Soalnya, yang berobat ke Singapura (baca: luar negeri) justru seorang menteri di kabinetnya dan relawan pendukungnya di Pilpres.

Dalam wawancara dengan pakar kesehatan masyarakat UI Prof Dr Ascobat Gani, MPH, Dr PH, beberapa tahun lalu juga jelas dia sebutkan bahwa Puskesmas bukan sebagai tempat berobat, tapi sebagai ujung tombak mendidik masyarakat agar hidup dengan perilaku yang terhindar dari penyakit.

Selanjutnya Puskesmas pun ditingkatkan fungsinya sebagai fasilitas kesehatan yang bisa melakukan rawat inap. Dengan kondisi ini jelas dokter dan tenaga medis di Puskesmas tidak punya waktu lagi untuk sosialisasi hiudp sehat ke masyarakat.

Bahkan, ada daerah yang menjadikan biaya berobat di Puskesmas sebagai pendapatan asli daerah (PAD). Ini memakai paradigma berpikir yang jungkir balik karena kesehatan adalah hak setiap warga tanpa memandang status sosial dan ekonomi. Maka, langkah Presiden Jokow yang menggenjot pemasyarakatan BPJS Kesehatan merupakan bagian dari kewajiban pemerintah untuk memenuhi hak warga negara.

Nah, kalau ini jadi isu debat akan tampak bagaimana para Capres dan Cawapres itu meningkatkan derajat kesehatan warga dengan skala nasional. Bisa jadi ada di paslon itu yang justru akan mengebiri hak kesehatan warga negara dengan menyebutnya sebagai ‘perubahan,’ misalnya, dengan memberikan syarat yang memberatkan untuk memperoleh biaya berobat seperti yang terjadi sebelum masa jabatan Presiden Jokowi.

Kesehatan sangat penting bagi kemajuan bangsa karena, kesahatan adalah investasi yang jadi modal pada sektor sumber daya manusia (SDM). Pemerintah mendengung-dengungkan ‘Indonesia Emas’ di tahun 2045, tapi jika tingkat kesehatan masyarakat rendah tentulah kualitas SDM juga parah sehingga tidak bisa diandalkan untuk melanjutkan pembangunan negeri.

Persoalan lain yang terjadi di Indonesia adalah kian banyak orang tua yang tidak mau membawa anak-anaknya ke Posyandu, Puskesmas atau layanan kesehatan lain untuk menjalani vaksinasi atau immunisasi secara rutin.

Banyak alasan para orang tua itu yang justru tidak masuk akal, mulai dari isu kandungan vaksin, negara pembuat vaksin, dan lain-lain. Akibatnya, anak-anak yang tidak divaksinasi akan hidup dengan berbagai macam penyakit yang menderanya dan tidak bisa disembuhkan yang kelak jadi beban negara.

Laporan “VOA Indonesia” (23/2/2017) menyebutkan: Para ahli medis mengatakan mereka yang menolak vaksinasi anak-anak bergantung pada ilmu pengetahuan semu dan bermasalah dan membuat jutaan anak-anak berisiko.

Maka, sejatinya tugas dokter dan tenaga medis di Posyandu dan Puskesmas harus dikembalikan ke tujuan semula yaitu sebagai ujung tombak sosialisasi pencegahan penyakit, bukan lagi sebagai rumah sakit.

Sayang, isu ini tidak masuk sebagai materi debat sehingga warga tidak bisa melihat kemampuan Capres dan Cawapres untuk meningkatkan derajat kesehatan warga (dari berbagai sumber). *

* Syaiful W. Harahap adalah Redaktur di Tagar.id

Berita terkait
Epidemi HIV/AIDS yang Luput dari Debat Capres dan Cawapres untuk Pilpres 2024
Daerah Capres Anies Baswedan dan Capres Ganjar Pranowo semasa gubernur masuk 5 besar jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS nasional