Epidemi HIV/AIDS yang Luput dari Debat Capres dan Cawapres untuk Pilpres 2024

Daerah Capres Anies Baswedan dan Capres Ganjar Pranowo semasa gubernur masuk 5 besar jumlah kasus kumulatif HIV/AIDS nasional
Pasangan calon presiden dan wakil presiden, Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, menghadiri Debat Kedua Cawapres Pemilu 2024 pada Jumat (22/12/2023) di Jakarta (Foto: voaindonesia.com/VOA/Indra Yoga)

Oleh: Syaiful W. Harahap*

TAGAR.id - Debat calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden (Cawapres) untuk pemilihan presiden (Pilpres) 2024 ternyata mengabaikan masalah-masalah besar yang sedang dan akan dihadapi bangsa Indonesia, salah satu di antaranya adalah kesehatan yaitu epidemi HIV/AIDS.

Epidemi HIV/AIDS di Indonesia diperkirakan bisa jadi ‘afrika kedua’ jika tidak ada langkah-langkah yang konkret untuk menanggulanginya, terutama intervensi di hulu untuk menurunkan insiden infeksi HIV baru pada laki-laki dewasa.

Pemerintah menatap 100 tahun kemerdekaan RI yaitu ‘Indonesia Emas’ di tahun 2045, tapi epidemi HIV/AIDS bisa memorak-porandakanhanya harapan itu justru hanya pada tahap perunggu, bahkan yang terjadi kala itu justru memanen bencana ledakan kasus HIV/AIDS sebagai ‘afrika kedua.’

Laporan sihakemkes menunjukkan sampai 31 Maret 2023 jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS di Indonesia mencapai 672.266 yang terdiri atas 522.687 HIV dan 149.579 AIDS.

Jika dikaitkan dengan fenomena gunung es yang menyelimuti epidemi HIV/AIDS, maka angka tersebut (672.266) tidak menggambarkan jumlah kasus yang sebenarnya di masyarakat.

Angka tersebut (672.266) hanya yang terdeteksi, sedangkan kasus lain di masyarakat di terdeteksi karena warga yang tertular HIV tidak menunjukkan tanda-tanda, gejala-gejala atau ciri-ciri khas AIDS pada fisik dan keluhan kesehatan sebelum masa AIDS (secara statistik terjadi antara 5-15 tahun setelah tertular HIV jika tidak menjalani pengobatan dengan obat antiretroviral/ART).

Itu artinya warga pengidap HIV/AIDS dikenal sebagai Odha (Orang dengan HIV/AIDS) yang tidak terdeteksi jadi mata rantai penyebaran HIV/AIDS di masyarakat, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.

Coa kita bayangkan kondisi ini. Persentase kasus HIV-positif tertinggi sampai Maret 2023 dilaporkan pada kelompok umur 25-49 tahun (70,2 %) yang diikuti kelompok umur 20-24 tahun (16,0%).

Maka, warga yang merupakan pengidap HIV (HIV-positif) yang berumur 25-40 tahun di ‘Tahun Emas’ 2045 akan berada di kelompok usia 46-61 tahun jika mereka bisa selamat melewati infeksi HIV.

Sedangkan pengidap HIV (HIV-positif) yang berumur 20-24 tahun di ‘Tahun Emas’ 2045 akan berada di kelompok usia 41-45 tahun jika mereka bisa selamat melewati infeksi HIV. Ini pada rentang waktu usia produktif yang akhirnya jadi beban pemerintah yaitu menyediakan obat antiretroviral (ARV) seumur hidup mereka dan obat untuk infeksi oportunistik.

obat arvObat ARV. (Foto: iac.or.id).

Laporan sehatnegeriku.kemkes.go.id (5/12/2017) menyebutkan di tahun anggaran 2017 pemerintah alokasikan dana APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah) untuk pembelian ARV saja sebesar Rp 800 miliar.

Angka itu untuk kondisi per Desember 2017 dengan jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS sebanyak 383.290 yang terdiri atas 280.623 HIV dan 102.667 AIDS.

Bayangkan jika sampai periode 31 Maret 2023 dengan jumlah kasus HIV/AIDS sebanyak 654.799. Ini hampir dua kali lipat sehingga dana APBN yang dipakai untuk membeli obat ARV akan membengkak, apalagi dana donor asing kelak tidak ada lagi.

Yang lebih celaka karena pemerintah, terutama pemerintah daerah dalam hal ini kabupaten dan kota, tidak mempunyai program yang konkret untuk mencegah infeksi HIV baru di hulu pada laki-laki dewasa melalui perilaku seksual berisiko, maka kasus HIV/AIDS akan terus meroket.

Bahkan, penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia lebih mengedepankan orasi moral ketimbang menyampaikan fakta medis dalam ranah komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) HIV/AIDS. Akibatnya, yang sampai ke masyarakat hanya mitos (anggapan yang salah) tentang HIV/AIDS yang membuat masyarakat lalai menerapkan seks aman.

Baca juga: Indonesia Tetap Ngotot Sebut Seks Bebas Sebagai Penyebab Penularan HIV/AIDS

Laporan sihakemkes menunjukkan hasil tes HIV di triwulan pertama tahun 2023, dari 1.230.023 warga yang jalani tes HIV terdeteksi HIV-positif sebanyak 13.279 atau 1,08%.

Perlu diperhatikan tidak semua daerah menyasar jumlah yang besar. Data menunjukkan jumlah warga yang tes HIV per provinsi dari yang terbanyak Jawa Barat yaitu 216.420 (0,43% dari populasi 49,94 juta per tahun 2020), sedangkan yang paling sedikit Maluku Utara yaitu 4.905 (0,39% dari populasi 1,256 juta).

Beberapa daerah, kabupaten dan kota, ada yang tidak pernah melaporkan kasus HIV/AIDS, sebagian lagi ada daerah yang menutup-nutupi jumlah kasus HIV/AIDS yang sebenarnya dengan 1001 macam alasan yang justru merusak program penanggulangan HIV/AIDS.

Thailand yang diawal epidemi HIV/AIDS jadi salah satu negara yang ‘kalang-kabut’ menghadapi kasus HIV/AIDS, ternyata bisa mengatasinya dengan lima program yang konkret secara simultan dengan skala nasional di awal tahun 1990-an.

kondom di thailandSosialisasi kondom di Thailand (Foto: thailand.un.org)

Thailand menjalankan lima program penanggulangan yang realistis secara serentak dengan skala nasional. Di urutan pertama adalah memanfaatkan media massa sebagai media pembelajaran masyarakat, pendidikan sebaya (peer educator), pendidikan HIV/AIDS di sekolah, pendidikan HIV/AIDS di tempat kerja di sektor pemerintah dan swasta, pemberian keterampilan, promosi kondom, dan program kondom 100 persen di lingkungan industri seks (Integration of AIDS into National Development Planning, The Case of Thailand, Thamarak Karnpisit, UNAIDS, Desember 2000).

Bandingkan dengan Indonesia yang mengawali penanggulangan dengan sosialisasi kondom, ini artinya mengekor ke ekor program Thailand, di saat masyarakat masih buta soal HIV/AIDS yang akurat. Akibatnya, terjadi penolakan besar-besaran terhadap kondom.

Baca juga: Menyoal Peran Aktif Pers Nasional Menanggulangi HIV/AIDS di Indonesia

Dua Capres untuk Pilpres 2024 yaitu Anies Baswedan yang menjabat Gubernur DKI Jakarta periode 2017–2022 dan Ganjar Pranowo menjabat Gubernur Jawa Tengah periode 2018-2023 menunjukkan selama kepemimpinan mereka tidak ada kemajuan dalam penanggulangan epidemi HIV/AIDS.

Lihat saja di Jakarta jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 – 31 Desember 2022 di DKI Jakarta sebanyak 91.998 yang terdiri atas 80.611 HIV (terbanyak secara nasional) dan 11.387 AIDS (terbanyak keempat secara nasional).

Rincian kumulatif kasus HIV/AIDS di Jakarta pada masa jabatan Gubernur Anies Baswedan periode 2017–2022 (Sumber: sihakemkes.go.id):

  • Per Desember 2018: 68.809
  • Per Desember 2019: 76.095
  • Per Desember 2020: 81.257
  • Per Desember 2021: 84.323
  • Per Desember 2022: 91.998

Selama 5 tahun Anies Baswedan memimpin DKI Jakarta sebagai gubernur ternyata kasus HIV/AIDS bertambah sebanyak 23.189 atau rata2 sebanyak 4.638 per tahun. Ini menunjukkan tidak ada program penanggulangan epidemi HIV/AIDS yang dijalankan pada masa itu.

Hal yang saja juga terjadi di Jawa Tengah jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 – 31 Desember 2022 di Jawa Tengah sebanyak 65.033 yang terdiri atas 49.319 HIV (terbanyak keempat secara nasional) dan 15.714 AIDS (terbanyak ketiga secara nasional).

Rincian kumulatif kasus HIV/AIDS di Jawa Tengah pada masa jabatan Gubernur Ganjar Pranowo periode 2018–2023 (Sumber: sihakemkes.go.id):

  • Per Desember 2018: 37.803
  • Per Desember 2019: 45.046
  • Per Desember 2020: 51.964
  • Per Desember 2021: 56.242
  • Per Desember 2022: 65.033

Selama 5 tahun Ganjar Pranowo memimpin Jawa Tengah sebagai gubernur ternyata kasus HIV/AIDS bertambah sebanyak 27.230 atau rata2 sebanyak 5.446 per tahun. Ini menunjukkan tidak ada program penanggulangan epidemi HIV/AIDS yang dijalankan pada masa itu.

Secara nasional jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS dari tahun 1987 – 31 Desember 2022 di Indonesia sebanyak 654.799 yang terdiri atas 509.408 HIV dan 145.391 AIDS.

Dengan data jumlah kumulatif kasus HIV/AIDS secara nasional, maka persentase kasus kumulatif HIV/AIDS di Jakarta secara nasional per 31 Desember 2022 adalah 14,05%.

Sedangkan persentase kasus kumulatif HIV/AIDS di Jawa Tengah secara nasional per 31 Desember 2022 adalah 9,93%.

Dengan data empiris pertambahan kasus yang terus terjadi, seperti pada triwulan pertama tahun 2023 yaitu sebanyak 13.279, sehingga pertambahan kasus per tahun sebanyak 53.116 dan selama lima tahun ke depan kasus HIV/AIDS akan bertambah sebanyak 3.186.960.

Padahal, pemerintah melalui Kemenko PMK sesumbar di tahun 2030 Indonesia bebas HIV/AIDS, tapi tanpa program yang konkret. Ini hanya sebatas orasi mora.

Baca juga: Omong Kosong Penularan HIV Baru di Indonesia Bisa Dihentikan pada Tahun 2030

Angka-angka itu dengan perkiraan jumlah warga yang tes HIV seperti triwulan pertama tahun 2023, tapi kalau kelak jumlah warga yang tes HIV bertambah dengan kondisi tidak ada langkah konkret pemerintah menanggulangi HIV/AIDS, maka bisa jadi negeri ini jadi ‘afrika kedua’ dalam kasus HIV/AIDS yang bisa saja membuyarkan ‘Indonesia Emas’ di tahun 2045.

Perlu juga diingat bahwa Indonesia merupakan negara keempat di dunia dengan kecepatan pertambahan kasus di belakang Rusia, India dan China berdasarkan data tahun 2018 (aidsmap.com).

Dengan kondisi seperti yang terjadi di Jakarta dan Jawa Tengah di masa kepemimpinan Capres Anies dan Capres Ganjar, apakah kedua Capres itu, Anies dan Ganjar, bisa diharapkan untuk menanggulangi epidemi HIV/AIDS di Indonesia? (aidsmap.com, hivaids-pimsindonesia.or.id dan sumber-sumber lain). []

* Syaiful W Harahap adalah Redaktur di Tagar.id.

Berita terkait
Siapkah Indonesia Menghadapi Epidemi dan Pandemi di Masa Depan?
Berolak dari pengalaman Indonesia hadapi epidemi HIV/AIDS dan pandemi Covid-19, siapkah Indonesia menghadapi epidemi dan pandemi di masa depan?