Syahdu Azan Pitu Cirebon Warisan Sunan Gunung Jati

Azan pitu, warisan Sunan Guning Jati di Masjid Agung Cipta Rasa Cirebon hingga saat ini masih terjaga.
Para muazin pelantun azan pitu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa, Cirebon. (Foto: Tagar/Charles)

Cirebon - Azan pitu, suara azan syahdu yang dikumandangkan tujuh orang pilihan. Hanya ada di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon, Jawa Barat. Azan tersebut warisan Sunan Gunung Jati hasil munajatnya kepada Sang Pencipta

Siang itu, Jumat 22 Desember 2019. Mentari nyaris tepat di atas kepala. Jam di layar telepon seluler Tagar menunjukkan angka 11.00 WIB. Suasana di Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon sudah mulai dipenuhi oleh jemaah yang hendak menunaikan salat Jumat. 

Sementara di luar masjid, kaum muslim sekitar atau warga luar daerah yang kebetulan melintas terlihat seperti aliran air. Datang bergelombang dan berurutan, baik perorangan maupun rombongan dengan kawan atau kerabatnya.  

Mereka ada yang langsung masuk ke masjid dan menyiapkan peralatan salatnya. Ada pula yang langsung ke ruang wudlu untuk bersuci. Sementara yang lebih dulu datang, kebanyakan berzikir dan menunaikan salat sunah. 

Para jemaah memenuhi bagian dalam masjid. Malah tidak terlihat lagi ada ruang saf yang kosong. Semua terisi oleh deretan jemaat yang duduk bersila, khusyuk memanjatkan kalimat puja dan puji sembari menunggu tibanya prosesi Jumatan.  

Dengan kondisi ini, sudah tidak memungkinkan lagi bagi jemaat yang datang belakangan mengambil saf di bagian dalam masjid. Sehingga, mereka harus rela berada di bagian teras maupun di luar masjid. Yang penting, tidak ketinggalan salat Jumat.

Uniknya, meskipun di bagian dalam masjid sudah penuh oleh jemaah namun ada sebuah area yang kosong dan sama sekali tidak ada yang menempatinya. Area itu berada di tengah-tengah masjid. Di depannya, terpampang beberapa microphone yang terhubung ke pengeras suara 

Menjelang pukul 12.00 WIB, tiba waktunya azan salat Jumat berkumandang. Sesaat hening, masuk tujuh orang berserban ke bagian dalam masjid. Pakaian mereka sejenis layaknya busana timur tengah, memanjang hingga menutup kedua kaki. Mayoritas berwarna hijau, hanya satu orang yang berbusana muslim warna putih. 

Ketujuh orang tersebut, rata-rata sudah paruh baya. Menempati tempat kosong di tengah masjid tersebut, tepat di depan alat pengeras suara. Ya, mereka adalah para muazin Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Area yang ditempati memang sengaja dikosongkan karena menjadi tempat para muazin melantunkan panggilan salat. 

Pernah terjadi wabah penyakit di Cirebon ini zaman Wali Sanga dulu. Bahkan, salah satu korbannya adalah Nyi Mas Pakungwati, istri dari Sunan Gunung Jati.

Azan Pitu 2Jemaah harus membungkuk saat melewati pintu masuk bagian dalam Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. (Foto: Tagar/Charles)

Di awali dengan suara bedug yang dipukul bertalu-talu dengan nada tertentu dan irama khas pertanda akan dimulainya azan. Dan waktunya azan pun tiba. Ketujuh muazin berserban tadi secara serentak mengumandangkan azan bersama. 

Lantunan azan mereka seirama. Tidak ada yang saling mendahului maupun melambat. Intonasi panjang dan pendeknya pun selaras. Sehingga, azan yang dikumandangkan oleh tujuh orang tersebut sangat kompak. Belum lagi kemerduan dan suara khas yang dihasilkan masing-masing muazin, berbeda karakter namun saling mengisi. 

Para jemaah langsung tertunduk. Mata mereka terpejam menikmati syahdunya kumandang azan yang unik tersebut. Beberapa mulut jemaah terlihat komat-kamit melantunkan doa pujian menjawab setiap kalimat azan. Yang lain tetap duduk tafakur, sembari mengucap doa dalam hati di antara jeda lantunan azan. 

Sekilas, mungkin ini adalah pemandangan biasa bagi masyarakat sekitar maupun jamaah yang sering menunaikan solat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Tapi tidak bagi mereka yang belum pernah salat Jumat di masjid tersebut. Bagi pendatang atau wisatawan yang kebetulan Jumatan di situ adalah pemandangan yang tak biasa. 

Oleh masyarakat, ketujuh muazin yang mengumandangkan azan tesbut dikenal dengan pengumandang azan pitu. Dalam bahasa Indonesia berarti azan tujuh. Hal tersebut dikarenakan azan tersebut dikumandangkan oleh tujuh orang.

Azan pitu ini hanya dikumandangkan pada saat azan salat Jumat saja. Meski ada dua kali azan saat salat Jumat di Masjid Agung Sang Cipta namun azan pitu hanya dikumandangkan saat azan pertama saja. Sedangkan azan kedua dikumandangkan oleh satu muazin saja. Begitu pula untuk azan-azan di salat wajib lainnya, hanya dikumandangkan satu muazin saja.

Untuk bisa menikmati syahdu azan pitu ini, maka jemaah harus mengambil tempat di bagian dalam masjid. Butuh sedikit perjuangan memang lantaran harus datang lebih awal dari jemaah lain. Sebab jika waktu telah menunjukkan pukul 11.00 WIB maka dipastikan bagian dalam masjid sudah penuh. 

Eksotisme bagian dalam masjid dipastikan juga bakal menambah nuansa kekusyukan salat. Dinding bagian dalam terlihat utuh tanpa pelapis semen. Sehingga terlihat jelas susunan batu batanya. Belum lagi pilar-pilar penyangga yang terbuat dari kayu jati, masih seperti pilar asli saat pertama kali dibangun Sunan Kalijaga atas prakarsa Sunan Gunung Jati. 

Dan suasana lebih ke era zaman dulu ketika masuk ke area dalam masjid. Pintu masuk, lebih tepatnya rongga tembok, berukuran tidak lazim. Para jemaah yang hendak masuk harus membungkuk badan. Ini sebagai pengingat bahwa mereka yang hendak menunaikan salat agar rendah diri, menanggalkan ego dan kesombongan. Meski begitu, lantunan azan pitu masih bisa dinikmati suaranya oleh mereka yang salat di bagian luar masjid. 

Penangkal Wabah

Keberadaan azan pitu tidak terlepas dari sejarah Masjid Agung Sang Cipta Rasa dan Kesultanan Cirebon yang saat itu dipimpin oleh Sunan Gunung Jati. Azan pitu merupakan sebuah tradisi turun-temurun sejak awal mula dibangunnya masjid hingga sekarang.

Masjid Agung Sang Cipta Rasa yang terletak di Alun-alun Keraton Kesepuhan Kota Cirebon adalah salah satu masjid tertua yang didirikan oleh para Wali Sanga pada tahun 1480 Masehi. Kala itu, selain sebagai tempat ibadah, masjid ini menjadi salah satu tempat musyawarah para sunan dalam menyebarkan agama Islam di tanah Jawa.

Terdapat kisah di balik munculnya kebiasaan azan pitu di Masjid Agung Sang Cipta Rasa ini. Sultan Sepuh XIV PRA Arief Natadiningrat menjelaskan, azan pitu berawal adanya wabah penyakit yang melanda Cirebon di zaman para Wali Sanga. Wabah penyakit itu disebabkan ulah Menjangan Wulung, sebutan siluman yang bersembunyi di memolo atau lubang masjid.

"Pernah terjadi wabah penyakit di Cirebon ini zaman Wali Sanga dulu. Bahkan, salah satu korbannya adalah Nyi Mas Pakungwati, istri dari Sunan Gunung Jati," jelas Sultan Sepuh, Sabtu, 21 Desember 2019. 

Melihat fenomena ini, Sunan Gunung Jati tidak tinggal diam. Dia berdoa dan meminta kepada Yang Maha Kuasa untuk menurunkan cara atau jalan keluar dari wabah tersebut.

Karena ini adalah kekayaan seni dan budaya kita, masyarakat Cirebon, yang harus kita jaga dan lestarikan.

Azan Pitu 3Gerbang masuk Masjid Agung Sang Cipta Rasa Cirebon. (Foto: Tagar/Charles)

Akhirnya, Sunan Gunung Jati mendapat petunjuk, yakni dengan mengumandangkan azan oleh tujuh orang. Sunan Gunung Jati pun memilih orang-orang dari abdi dalem keraton untuk mengumandangkan azan yang kemudian disebut sebagai azan pitu.

Konon ceritanya, ketika dikumandangkan azan, Menjangan Wulung terlempar bersamaan dengan memolonya. Memolo itu terlempar jauh hingga ke Masjid Agung Banten. Karena itulah, kubah Masjid Agung Banten ada dua dan bertumpuk.

Akibat kejadian tersebut, memolo Masjid Agung Sang Cipta Rasa menghilang. Namun sebagai gantinya, wabah penyakit yang melanda Cirebon pun berangsur menghilang. Istri Sunan Gunung Jati menjadi sembuh.

"Dengan adanya kejadian itu, maka tradisi azan pitu tetap dilestarikan. Tujuannya adalah agar terhindar dari marabahaya. Namun, hanya dikumandangkan saat azan salat Jumat saja," jelas Sultan.

Dan untuk menjadi muazin pelantun azan pitu juga tidak bisa sembarang orang. Mereka haruslah orang dalam keraton atau abdi dalam dan dipilih langsung oleh Sultan Kesepuhan. Tradisi ini terus dilakuan secara turun temurun.

Selain melestarikan azan pitu, khotbah Jumat di Masjid Agung Sang Cipta Rasa juga beda dengan masjid umum lainnya. Yakni disampaikan menggunakan bahasa Arab. Tujuannya masyarakat membiasakan diri dengan bahasa Arab sehingga memudahkan belajar Alquran.

Sultan pun berpesan agar masyarakat Cirebon bisa tetap melestarikan warisan-warisan budaya leluhur tersebut. Karena kehidupan yang sekarang ada tidak lepas dari kisah masa lalu. Azan pitu dan khotbah Jumat bahasa Arab adalah salah satu contoh dari warisan leluhur yang terjaga sampai saat ini.

"Karena ini adalah kekayaan seni dan budaya kita, masyarakat Cirebon, yang harus kita jaga dan lestarikan. Karena banyak makna yang terkandung dalam warisan budaya leluhur itu," imbuh. []

Baca juga: 

Berita terkait
Masjid Tertua di Surabaya yang Jadi Rujukan Azan
Masjid tertua di Surabaya ini dibangun di era Sunan Ampel. Merupakan akulturasi budaya Islam-Hindu.
Kisah Hidup Pengumandang Azan Pertama Dalam Islam
Anda tahu siapa pengumandang azan pertama dalam Islam? Sebentar lagi Anda bisa menyaksikan kisah hidupnya.
Tujuh Fakta Mengagumkan tentang Azan
Adzan ternyata memiliki tujuh fakta yang mengagumkan.
0
Melihat Epiknya Momen Malam HUT DKI Jakarta Lewat Lensa Galaxy S22 Series 5G
Selain hadir ke kegiatan-kegiatan yang termasuk ke dalam agenda perayaan HUT DKI Jakarta, kamu juga bisa merayakannya dengan jalan-jalan.