Soal Hukuman Kebiri, ICJR: Bagaimana Jika Terpidana Tak Bersalah?

ICJR menilai hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Komitmen pemerintah tangani korban dinilai cenderung mundur.
Ilustrasi. (Foto: Antara)

Jakarta - Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu angkat bicara soal disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 oleh Presiden Joko Widodo atau Jokowi.

PP Nomor 70 Tahun 2020 itu berisi tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak.

Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali?

Eramus menegaskan, ICJR menilai hukuman kebiri kimia adalah aturan yang bersifat populis. Sampai saat ini, kata dia, komitmen pemerintah untuk penanganan korban masih minim dan cenderung mundur.

"Tidak lengkapnya peraturan mengenai korban kekerasan seksual dan anggaran lembaga yang menangani korban seperti LPSK yang terus dipangkas adalah contoh sederhana," kata Eramus melalui keterangan yang diterima Tagar, Senin, 4 Januari 2020.

Dia mengatakan, sedari awal ICJR menilai mekanisme kebiri sebagai intervensi kesehatan tidak bisa berbasis hukuman seperti apa yang dimuat dalam UU 17/2016.

Menurutnya, sampai detik ini, efektivitas kebiri kimia dengan penekanan angka kekerasan seksual juga belum terbukti.

"Maka jelas pelaksanaannya yang melibatkan profesi harus melakukan tindakan berdasarkan kondisi klinis dan berbasis ilmiah akan bermasalah. Dalam PP ini tidak dijelaskan aspek apa saja yang harus dipertimbangkan, PP ini bahkan melempar ketentuan mengenai penilaian, kesimpulan dan pelaksanaan yang bersifat klinis pada aturan yang lebih rendah," ujarnya.

Lebih lanjut, tambahnya, PP ini memuat banyak permasalahan karena tidak detail dan memberikan keterangan yang jelas, misalnya bagaimana mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan.

"Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya," tuturnya.

Dalam kritik yang disusun ICJR, KPI, Ecpat dan Mappi FH UI pada 2016, sedari awal ide tindakan kebiri dicetuskan, telah terbukti dalam praktik di negara lain bahwa menyiapkan dan membangun sistem perawatan kebiri kimia yang tepat membutuhkan banyak sumber daya dan mahal.

"Sampai dengan saat ini, pihak pemerintah dan kementerian-kementerian terkait tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran pendanaan yang harus disediakan untuk menerapkan sistem yang mahal ini. Terlebih sistem ini tidak sesuai dengan pendekatan kesehatan." ucapnya.

"Dari proyeksi yang bisa dilakukan, maka anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit, karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia," kata Eramus menambahkan.

Dia berujar, fakta ini juga diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana kekerasan seksual.

Berdasarkan data anggaran LPSK, ditemukan bahwa sejak 2015 sampai dengan 2019 jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat, pada 2015 hanya 148 layanan, 2019 menjadi 9.308 layanan, namun anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 terus mengalami penurunan, bahkan cukup signifikan, anggaran LPSK pada 2015 berjumlah Rp 148 miliar.

Sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya disediakan Rp 54.5 miliar, padahal kebutuhan korban meningkat. Sebagai catatan, pada 2019, anggaran yang terkait dengan layanan terhadap korban hanya sebesar Rp 25 miliar.

Jika dibandingkan dengan alokasi anggaran di lembaga penegakan hukum lainnya untuk sasaran yang tidak substansial, misalnya hasil studi ICW soal aktivitas digital pemerintah, ditemukan anggaran paling banyak dari 2014-2020 dipegang oleh kepolisian mencapai Rp 937 miliar.

"Angka ini jelas jauh lebih besar dibandingkan dengan anggaran yang disediakan untuk pendampingan, perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana, termasuk korban kekerasan seksual di Indonesia," ucap dia.

Dengan adanya PP 70/2020 ini, pandangannya, negara justru seolah menyatakan diri siap dengan beban anggaran baru yang digunakan untuk penghukuman pelaku. Padahal korban masih menjerit harus menanggung biaya perlindungan dan pemulihannya sendiri.

"Politik anggaran dari pemerintah yang selalu memangkas kebutuhan anggaran dari pemulihan dan perlindungan korban seperti LPSK menunjukkan bahwa perlindungan dan pemulihan korban belum menjadi prioritas negara," katanya.

Eramus menyebut, selain anggaran, sampai saat ini Indonesia belum memiliki pengaturan yang komprehensif dalam satu aturan terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.

Berdasarkan tinjauan ICJR, aturan pemulihan korban kekerasan seksual tersebar dan berbeda-beda minimal di 5 undang-undang (UU Perlindungan Saksi dan Korban, UU TPPO, UU PKDRT, UU Perlindungan Anak dan UU SPPA).

"Perlu adanya satu UU baru yang dapat merangkum dan secara komprehensif menjangkau semua aspek perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual," tuturnya.

Untuk itu, ICJR tetap menekankan pentingnya negara mempertimbangkan soal prioritas perlindungan dan pemulihan korban, hal ini bisa dilakukan dengan meningkatkan peningkatan anggaran lembaga yang bertugas pada pelayanan tersebut.

"Pemulihan dan perlindungan korban, serta penyusunan aturan atau undang-undang yang secara komprehensif mengatur perlindungan dan pemenuhan korban," ujarnya.

"Wacana seperti RUU Perlindungan dan Pemulihan Korban atau RUU Penghapusan kekerasan seksual yang berbasis pemulihan korban sudah harus mulai dicanangkan dan dibahas. Untuk Pemerintah, cukupkanlah fokus pada kebijakan yang hanya bersifat populis seperti kebiri, saatnya beralih pada mekanisme perlindungan dan pemulihan korban," kata Eramus.[]

Berita terkait
PM Pakistan Dukung Hukuman Kebiri Bagi Pelaku Pemerkosaan
PM Pakistan, Imran Khan, dilaporkan telah menyetujui prinsip dasar UU baru tentang pengebirian dan hukuman gantung terhadap pemerkosa
Kak Seto Minta Pemerintah Setujui Hukum Kebiri
Ketua LPAI Seto Mulyadi meminta pemerintah segera memutuskan tindakan hukum kebiri. Mengingat banyaknya kejadian kekerasan seksual terhadap anak.
Indonesia dan Enam Negara yang Kebiri Pedofil
Enam negara juga melakukan kebiri bagi pedofil. Berikut negara-negara yang mengatur hukuman kebiri kimia dalam peraturan Undang-undangnya.
0
Pengamat Nilai KPK Beri Harapan Tindak Lanjuti Penyelidikan Formula E
Gengan diperiksanya Gatot juga bisa memberikan informasi yang berarti dalam penyelidikan dugaan korupsi penyelenggaraan Formula E.