KETERLIBATAN tiga petinggi polisi dalam kasus pelarian Djoko Soegiarto Tjandra benar-benar menampar muka Kepolisian Republik Indonesia, institusi yang baru beberapa pekan lalu merayakan hari jadinya ke-74. Kasus ini menunjukkan dengan gamblang, reformasi di institusi ini masih belum mencapai apa yang diinginkan Kapolri sendiri: polisi yang profesional dan jauh dari sikap korup.
Kapolri Jenderal Idham Azis sudah tepat mencopot tiga bawahannya yang diduga terlibat kasus memalukan ini: Brigjen Prasetijo Utomo, Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte, dan Sekretaris NCB Interpol Indonesia Brigjen Nugroho Slamet Wibowo. Prasetijo diduga membuat surat jalan untuk Djoko Tjandra ke Pontianak dan lainnya diduga terlibat dalam “memuluskan” Djoko masuk ke Indonesia. Dengan status barunya, Djoko leluasa membuat KTP, paspor, dan berlalu lalang ke luar masuk Indonesia.
Untuk hal terakhir ini Jenderal Idham Azis, bisa bekerja kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan
Publik patut marah atas apa yang terjadi ini. Petinggi kepolisian, yang semestinya menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi dan teladan bawahannya, membantu buronan korupsi yang bertahun-tahun jejaknya terendus tapi tak bisa ditangkap.
Djoko seperti mempertontonkan bahwa ia, dengan jaringan dan kekayaannya, adalah “penunggang hukum” yang andal. Di tangannya hukum dan aparat tak berdaya. Divonis dua tahun pada 2009 oleh Mahkamah Agung melalui putusan kasasi karena kasus korupsi pencairan hak tagih Bank Bali (cessie) senilai Rp 940 miliar, Djoko kabur sehari sebelum putusan diumumkan. Sulit untuk mempercayai ia bisa lolos –atau mempersiapkan diri untuk lolos- tanpa bantuan dan informasi dari “orang dalam.” Belakangan kita tahu, ia diterima dengan tangan terbuka oleh pemerintah Papua Nugini: menjadi warga negara negeri itu dan menanamkan modal di sana. Dari negeri ini, Djoko bebas terbang ke sana-ke mari untuk tetap mengurus bisnisnya. Selama bertahun-tahun itu, pemilik Grup Mulia yang asetnya antara lain Gedung BRI di kawasan Jenderal Sudirman, Jakarta itu, membuat aparat hukum kita seolah mati kutu.
Kini publik tahu persekongkolan memang ada untuk melindungi Djoko. Dan itu justru dilakukan oleh mereka yang semestinya menangkapnya. Kita angkat topi kepada Jenderal Idham Azis yang dengan cepat memberhentikan dan menindak anak buahnya yang terlibat kasus ini. Mereka tak hanya diberhentikan atau dimutasi, tapi layak diperiksa, diajukan ke pengadilan. Mereka juga perlu diusut: mendapat apa dari jasa menyelamatkan Joker -demikian sebutan pengusaha bernama asli Tjan Kok Hui- ini. Untuk hal terakhir ini Jenderal Idham Azis, bisa bekerja kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), lembaga yang berhak dan memiliki wewenang mengusut rekening yang diduga hasil kejahatan. []