Selamatkan Masyarakat Adat Nusantara dari Covid-19

Masyarakat adat berada pada posisi yang sangat rentan tertular virus corona (Covid-19) karena keterbatasan daya mereka mencegah penyebaran virus
Keluarga masyarakat adat "Orang Rimba" di Kabupaten Batang Hari, Provinsi Jambi. (Foto: theaseanpost.com/Goh Chai Hin/AFP).

Di era Orde Baru (Orba) ada gerakan massal yang mengatasnamakan pembangunan dengan ‘memodernisasi’ masyarakat adat yang sebenarnya disebut indigenous peoples atau pribumi. Tapi, rezin Orba menyebut mereka sebagai ‘masyarakat terbelakang’, ada juga yang menyebut primitif, dll.

Ini terjadi karena banyak orang yang merasa dirinya lebih berbudaya dan beradab dari masyarakat adat, padahal mereka membabat hutan, menebang pohon, merusak alam, membunuh satwa, memperdagangkan satwa, dll. Sementara masyarakat adat hidup serasi dengan alam.

1. Masyarakat Adat Jadi Objek

Bahkan, ada menteri yang mengagamakan sebuah komunitas masyarakat adat dengan mengatakan: “Baru sekarang mereka mengenal Tuhan.” Astaga, ini menteri rupanya tidak paham pengertian religi dan agama. Animisme bukan atheis. Animisme adalah religi yang mengakui ada kekuasaan di atas manusia. Dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) religi disebut sebagai kepercayaan kepada Tuhan; kepercayaan akan adanya kekuatan adikodrati di atas manusia; kepercayaan (animisme, dinamisme); agama.

Maka, amatlah gegabah seorang menteri mengatakan masyarakat adat tidak mengenal Tuhan. Mungkin menteri itu menyebut Tuhan sebagai yang dipercayai oleh manusia yang menganut agama samawi (agama langit yang dibawa oleh nabi dan rasul).

Suku Laut didaratkan. Padahal, kehidupan mereka di atas air. Suku Anak Dalam (Kubu) di Jambi diusir dari hutan. Mereka dipaksa tinggal di rumah papan dengan atap seng, padahal rumah mereka ada di pepohonan di hutan belantara.

Celakanya, banyak pula orang yang menjadikan kehidupan masyarakat adat sebagai objek wisata dan berita. Ini membuka peluang bagi penyakit orang-orang yang menyebut diri berbudaya membawa ‘penyakit’ ke masyarakat adat.

2. Physical Distancing Tidak Bisa di Kehidupan Komunal Masyarakat Adat

Pada masa pandemi Covid-19 ini masyarakat adat sangat rentan tertular ketika mereka keluar dari komunitasnya untuk berbagai keperluan. Mereka tidak disiapkan untuk melindungi diri karena tidak ada yang membagikan masker.

ilus2 opini 14 apr 20Pemukiman di Baduy Dalam, Kabupaten Lebak, Banten, yang rapat tentulah riskan terjadi penyebarna Covid-19 jika ada warga masyarakat adat yang tertular corona. (Foto: thetraveljunkie.org).

Ketika mereka kembali ke komunitasnya maka masyarakat adat ada pada posisi berisiko terpapar virus karena mereka tidak disiapkan untuk melindungi diri dari penyakit atau virus yang dibawa anggota masyarakat mereka atau ‘orang-orang berbudaya’ yang ingin melancong.

Ketika physical distancing jadi salah satu langkah untuk memutus mata rantai penyebaran Covid-19 tentulah masyarakat adat tidak memahaminya. Apalagi dalam kehidupan sehari-hari mereka hidup bersama secara komunal (kelompok yang hidup bersama).

Sampai hari ini, Selasa, 14 April 2020, belum ada sinyal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk melarang ‘orang-orang berbudaya’ masuk ke wilayah masyarakat adat yang tersebar di Nusantara.

Di Banten ada Baduy di wilayah Kabupaten Lebak. Masyarakat adat ini jadi tujuan wisata ‘orang-orang berbudaya’ dengan berbagai alasan sehingga sangat riskan terjadi penyebaran Covid-19 di Baduy. Di Tasikmalaya, Jawa Barat, ada Kampung Naga yang tidak terjamah kemajuan teknologi.

3. Mengisolasi Masyarakat Adat Agar Terhindar dari Covid-19

Di Pulau Sumatera ada Suku Anak Dalam atau Orang Rimba di Jambi. Komunitas ini juga jadi tujuan ‘wisata’ dan objek penelitian dan berita. Ada juga Suku Laut di Kepulauan Riau.

Di Pulau Kalimantan di beberapa daerah ada Suku Dayak dengan berbagai nama. Mereka hidup dan menggantungkan kehidupan kepada alam. Di Pulau Sulawesi ada Suku Bajo yang hidup serasi dengan laut. Di Tanah Papua banyak suku sebagai masyarakat adat. Dan di pulau lain juga ada masyarakat adat.

Selain menghentikan perjalanan ke komunitas masyarakat adat pemerintah juga diharapkan membagikan masker dan sembako agar mereka tidak keluar dari komunitasnya sebagai bagian dari upaya menyelamatkan masyarakat adat.

Untuk menguatkan langkah-langkah penyelamatan masyarakat adat perlu dibuat regulasi atau campur-tangan aparat penegak hukum menghalangi kunjungan ‘orang-orang berbudaya’ yang ingin ke komunitas masyarakat adat.

Kunjungan wisatawan dalam dan luar negeri pun sudah saatnya dilarang ke komunitas masyarakat adat selama pandemi Covid-19. Begitu juga kunjungan-kunjungan dinas, sosial, dll., termasuk liputan media.

Masyarakat adat juga perlu diisolasi agar tidak terjadi penyebaran Covid-19 di komunitas mereka. Ini merupakan bentuk perlindungan negara terhadap masyarakat adat yang merupakan kekayaan budaya Nusantara. []

Berita terkait
Apakah Indonesia Akan Jadi Episentrum Covid-19 ASEAN
Jika berkaca ke AS yang sejak 27 Maret 2020 jadi episentrum baru penyebaran Covid-19 bisa jadi Indonesia terancam jadi episentrum di ASEAN
Indonesia Potensial Jadi Episentrum Covid-19 ASEAN
Covid-19 di Indonesia terus bertambah seiring dengan tes Covid-19, pertambahan kasus yang pesat Indonesia bisa jadi episentrum Covid-19 di ASEAN
Fenomena AIDS Persis Serupa dengan Corona
Jika virus corona ditandai dengan informasi palsu (hoaks) di media sosial, di awal epidemi HIV/AIDS awal tahun 1980-an ditandai dengan mitos
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.