Selamat Jalan Djaduk Ferianto, Guru Toleransi Umat

Petra, istri almarhum Djaduk Ferianto, mendekap foto mendiang suaminya. Dia mengantarkannya ke peristirahatan abadinya, Rabu, 13 November 2019.
Ribuan pelayat mengantarkan jenazah Djaduk Ferianto dari Padepokan Seni Bagong Kusudiardjo, di Kembaran, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul menuju peristirahatan terakhir. (Foto: Tagar/Kuniawan Eka Mulyana)

Bantul - Tangan Bernadetta Petra, istri almarhum Djaduk Ferianto, mendekap foto mendiang suaminya. Kelopak matanya masih terlihat sembap, dan sisa air mata tampak jelas di pipinya.

Petra, demikian perempuan itu biasa disapa, duduk di kursi depan mobil jenazah yang mengantarkan Djaduk ke peristirahatan abadinya, Rabu, 13 November 2019 sore, berangkat dari Padepokan Seni Bagong Kusudiardjo, di Kembaran, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul.

Ribuan pelayat masih menyesaki tempat itu, mengiringi keberangkatan rekan, keluarga dan idola mereka.

Mendung yang menyelimuti tempat itu menutup sebagian cahaya matahari. Seolah turut berduka dan mengantar kepergian Djaduk dengan keteduhannya.

Karangan bunga tanda duka cita berjejer rapi di sepanjang jalan masuk ke padepokan. Beberapa di antaranya berasal dari pejabat di negeri ini, termasuk Presiden RI, Joko Widodo (Jokowi).

Mantan Menteri Agama RI, Lukman Hakim Syaifuddin juga hadir di tempat itu. Dia mengaku sangat berduka atas meninggalnya Djaduk, karena tidak bisa lagi bercanda bersama serta mendengarkan buah pikiran dan pandangan Djaduk.

Meski demikian, menurut Lukman, kepergian Djaduk adalah hal yang dinantikan oleh mendiang, yakni bertemu kembali dengan Sang Pencipta.

"Saya ingin mengajak melihat dari perspektif berbeda, bahwa sesungguhnya ini adalah saat yang dinantikannya, saat untuk bisa kembali pada sang pencipta. Mari kita antar dengan suka cita karena dia telah menyelesaikan tanggung jawab dan tugas kemanusiaannya," ucap Lukman.

Lukman berharap agar kita semua diberi kekuatan untuk mempertahankan dan menjaga hal yang telah dilakukan Djaduk, termasuk bagaimana kedamaian tetap mengejawantah di tengah masyarakat.

Menurutnya, meski usia Djaduk lebih muda darinya, Djaduk adalah guru untuknya, khususnya dalam hal bertoleransi antarumat beragama.

"Saya berguru tentang toleransi dari dia, saya ingat tahun 2012 di Malang, ada pagelaran untuk penggalangan dana almarhum Munir. Ada pertunjukan di sana, ketika Mas Djaduk akan tampil siang hari, tapi dari masjid terdengar bunyi pujian jelang azan, Mas Djaduk sesaat menghentikan pertunjukannya," papar Lukman.

Temukan Komposisi Baru di Table Mountain

butetSeniman Butet Kertarajasa melayat di rumah duka Djaduk Ferianto di di Kembaran, Ngestiharjo, Kecamatan Kasihan, Kabupaten Bantul menuju peristirahatan terakhir. (Foto: Tagar/Kuniawan Eka Mulyana)

Kakak kandung Djaduk, Butet Kertarajasa, mengatakan, pada September lalu dia bersama Djaduk pergi ke Afrika Selatan, karena ada rencana kolaborasi antara Djaduk dengan vokalis dan pemusik perkusi di Cape Town.

Semestinya akan tampil di Cape Town Jazz pada Maret nanti, di mana Djaduk akan berkolaborasi dengan vokalis dan pemusik perkusi dari Johannesburg dan dari Cape Town, ini sedang kami siapkan," jelasnya.

Saat berada di Table Mountain, Djaduk juga pernah mengatakan pada Butet, bahwa dia telah menemukan melodi yang akan dimainkan untuk satu komposisi kolaborasi, yang akan dimainkan dengan pemusik dari Afrika itu.

"Dia bersiul-siul dan direkam melodi itu. Setiba di Indonesia dia sudah cerita pada kawan-kawannya bahwa telah menemukan melodinya," imbuhnya.

Saya berguru tentang toleransi dari dia.

Tadi pagi, saat melayat di rumah duka, Butet seizin istri Djaduk, membuka ponsel Djaduk. Butet men-tracking atau mencari file itu, dan berhasil menemukan melodi yang dia dapatkan di puncak gunung itu.

"Mudah-mudahan kawan-kawan yang biasa bekerja sama dengan Djaduk dapat mewujudkan satu komposisi...," Butet menghentikan pernyataannya karena dia terisak.

"Yang melodinya sudah ditemukan di puncak gunung yang sangat tinggi itu, Gunung Meja," lanjutnya sambil menahan tangis.

Butet juga menuturkan, pada hari-hari terakhir ini, Djaduk sangat sibuk untuk latihan musik dan sedang menyiapkan Ngayogjazz, yang akan dilaksanakan tanggal 16 November di Godean, Yogyakarta, yang rencananya akan dibuka oleh Mahfud MD.

"Menurut kawan-kawan dari Ngayogjazz, para pendiri Ngayogjazz sudah diperintahkan oleh Djaduk untuk naik panggung mendampingi Pak Mahfud MD," ucap Butet.

Di mata Butet, Djaduk merupakan seniman pekerja keras, penuh disiplin, dan menyiapkan segala sesuatu secara perfeksionis, sehingga dia bisa memahami bahwa setiap persiapan yang dilakukan oleh Djaduk menyedot energi, konsentrasi yang berlebih dari dosisnya.

"Di Surabaya saya ada pekerjaan lain, tapi di sana saya juga sedang menyiapkan satu pertunjukan untuk tanggal 6 dan 7 Desember, para pensiunan 2049 bersama Teater Gandrik, di mana semestinya Djaduk yang akan menyutradarai seperti pementasan sebelumnya," bebernya.

Bahkan Teater Gandrik, kata dia, berencana untuk melaksanakan latihan perdana pada tanggal 14 November malam, untuk pementasan di Surabaya itu.

Dengan meninggalnya Djaduk, Butet mengaku belum tahu apakah pementasan di Surabaya akan diteruskan atau dibatalkan. Dia tidak bisa membayangkan perasaan bermain Teater Gandrik yang harus full dengan kejenakaan, tapi suasana hati seperti hari ini.

"Membutuhkan perjuangan tersendiri untuk menata hati. Ini teman-teman Teater Gandrik sudah datang, tapi belum tahu mau bagaimana, tapi mudah-mudahan Ngayogjazz bisa terus dilanjutkan tanggal 16 November ini sebagai monumen terakhirnya Djaduk," pungkasnya.

Seniman lain, yang juga rekan Djaduk di Teater Gandrik, Susilo Nugroho, memiliki penilaian yang sama dengan Butet. Djaduk Ferianto kata dia, merupakan sosok seniman yang cenderung perfect atau sempurna saat akan pentas, khususnya dalam grup Teater Gandrik yang diikutinya.

"Disiplin, itu jelas, galak nek karo konco-konco sing enom (galak kalau sama teman-teman yang masih muda). Nek karo aku yo gojek (kalau sama saya ya bercanda)," ucapnya.

Sudah menjadi rahasia umum dalam Teater Gandrik, bahwa Djaduk merupakan sosok yang selalu berusaha sempurna untuk pementasan.

Meski selalu ingin sempurna, tapi Djaduk akan menurut jika teman lain dinilainya lebih siap. Misalnya, teman lain sudah mempunyai pemikiran atau konsep yang jelas, dia akan mengikuti keinginan rekannya tersebut.

"Nek mung waton (kalau cuma asal) ngobrol mesti ra dadi. Saya nggak tahu apa itu pengaruh kekuatan dia di musik, tapi di teater cenderung begitu," imbuhnya.

Awal Djaduk ikut di Teater Gandrik, kata Susilo, cukup mengesankan, karena tradisi atau kebiasaan bermainnya berbeda dengan teman lain.

"Kekuatan Djaduk adalah teliti, sangat mempertimbangkan permainan dan musik. Awal-awal bikin jengkel karena seakan tidak ada kebebasan. Bagian ini harus tepat dengan musik, tapi menyampaikan itu kan tidak gampang. Misalnya ada dialog panjang, harus sesuai musiknya. Kebiasaan itu dulunya nggak ada, jadi padu, dirasani," pungkasnya. []

Baca Juga: 

Berita terkait
Djaduk Ferianto Sosok yang Sempurna Saat Pentas
Djaduk Ferianto selalu berusaha tampil sempurna saat di atas panggung khususnya di Teater Gandrik yang diikutinya. Dia terbuka menerima kritik.
Peran Djaduk Ferianto dalam Karier Hanung Bramantyo
Kabar wafatnya seniman Djaduk Ferianto mengagetkan banyak orang termasuk sutradara Hanung Bramantyo.
Mendiang Djaduk Ferianto di Mata Butet Kertaradjasa
Di mata Butet Kertaredjasa, mendiang Djaduk Ferianto selalu disiplin dalam mempersiapkan berbagai pementasan seni yang akan digelar.
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.