Sejarah dan Dua Pengertian Kata Jancuk

Jokowi mendapat gelar Cak Jancuk. Serta-merta hal ini ramai menjadi perbincangan netizen. Positif apa negatif sih kata jancuk ini?
Tank berjenis M3A3 Stuart, buatan Amerika Serikat milik koalisi tentara Inggris dan Belanda saat mendarat di Surabaya. (Foto: Instagram/babeadi)

Jakarta, (Tagar 8/2/2019) - Calon presiden nomor urut 01 Ir. Joko Widodo diberi gelar "Cak Jancuk" oleh pembawa acara Deklarasi Relawan Forum Alumni Jatim, di Tugu Pahlawan, Kota Surabaya, Sabtu (2/2) lalu.

Gelar "Cak" disebut MC merupakan singkatan dari Cakap, Agamis dan Kreatif. Sedangkan Jancuk adalah kependekan dari Jantan, Cakap, Ulet dan Komitmen.

Pemberian gelar tersebut kemudian menjadi ramai diperbincangkan oleh warganet. Pasalnya, kata “Jancuk” sejatinya adalah kata yang tabu dalam kebudayaan masyarakat Pulau Jawa secara umum karena dianggap memiliki konotasi negatif.

Namun demikian, masyarakat di sekitaran Surabaya dan Malang menggunakan kata tersebut sebagai identitas komunitas mereka, sehingga kata tersebut kemudian mengalami perubahan makna ameliorasi (ke arah yang lebih positif).

Jika ditilik dari beberapa sumber sejarah, asal kata Jancuk memiliki beragam latar belakang dan versi. Mulai dari serapan Bahasa Belanda, Bahasa Jepang hingga Bahasa Arab.

Namun, sejarah yang paling populer mengenai asal-usul kata Jancuk, barangkali adalah cerita tentang tulisan Jan Cox pada sebuah Tank.

Dikisahkan, sewaktu jelang akhir Perang Dunia II, tentara Belanda dan Inggris datang melucuti senjata tentara Jepang di Surabaya. Kata Jan Cox tertulis di bagian depan salah satu Tank yang menjadi armada perang tentara Belanda.

Jan Cox sendiri merupakan nama seorang pelukis terkenal di Belanda dan Belgia. Diduga, awak Tank berjenis M3A3 Stuart, buatan Amerika Serikat itu begitu mengidolai Jan Cox.

Tulisan Jan Cox di badan Tank kemudian digunakan oleh tentara pejuang kemerdekaan (Tentara Keamanan Rakyat/Cikal bakal TNI) di Surabaya untuk mengidentifikasi pasukan musuh.

Prajurit Tentara Keamanan Rakyat menyebut "Jan Cox! Jan Cox!" sebagai peringatan kedatangan pasukan musuh. Tentara lain yang mendengar peringatan tersebut selalu dibuat kesal dan geram. Karena mereka yang hanya memiliki persenjataan seadanya,  harus menghadapi tentara musuh yang difasilitasi kendaraan lapis baja itu.

Kata Jan Cox kemudian diserap menjadi kata Jancuk, sebagai ekspresi kekesalan oleh masyarakat Jawa Timur secara umum. Sejarah itu dikisahkan secara turun-temurun, di antara kisah-kisah lain yang bertebaran terkait asal-usul kata Jancuk.

Budayawan sekaligus seniman serba bisa asal Jember, Jawa Timur, Sujiwo Tejo memiliki pemahaman tersendiri mengenai arti dari kata Jancuk. Dalang wayang kulit itu bahkan dengan bangga menobatkan dirinya sebagai Presiden Jancukers, pemimpin dari sebuah negara ideal dalam khayalannya, yang disebut "Negeri Jancukers".

Dalam salah satu buku gubahannya, Mbah Tejo, panggilan akrab beliau, menjelaskan dengan fasih tentang apa yang disebut dengan kata Jancuk.

Pada halaman X Mbah Tejo menjelaskan:

“Jancuk itu ibarat sebilah pisau. Fungsi pisau sangat tergantung dari user-nya dan suasana psikologis si user. Kalau digunakan oleh penjahat, bisa jadi senjata pembunuh. Kalau digunakan oleh seorang istri yang berbakti pada keluarganya, bisa jadi alat memasak. 

Kalau dipegang oleh orang yang sedang dipenuhi dendam, bisa jadi alat penghilang nyawa manusia. Kalau dipegang orang yang dipenuhi rasa cinta pada keluarganya bisa dipakai menjadi perkakas untuk menghasilkan penghilang lapar manusia. 

Begitupun jancuk, bila diucapkan dengan niat tak tulus, penuh amarah, dan penuh dendam maka akan dapat menyakiti. 

Tetapi bila diucapkan dengan kehendak untuk akrab, kehendak untuk hangat sekaligus cair dalam menggalang pergaulan, jancuk laksana pisau bagi orang yang sedang memasak. 

Jancuk dapat mengolah bahan-bahan menjadi jamuan pengantar perbincangan dan tawa-tiwi di meja makan," kata Mbah Tejo di halaman X.

Jancuk merupakan simbol keakraban. Simbol kehangatan. Simbol kesantaian. Lebih-lebih di tengah khalayak ramai yang kian munafik, keakraban dan kehangatan serta santainya jancuk kian diperlukan untuk menggeledah sekaligus membongkar kemunafikan itu,” papar Mbah Tejo lagi di halaman 397.

“Jancuk itu spektrumnya luas, Jancuk itu bisa berarti gini loh, ‘Jancuk, aku abis duit, utangin aku dong’. Dia (yang dipintai pinjaman), bisa njawab ‘Wah, Jancuk. Aku juga lagi gak punya duit’, gitu loh,” papar Sujiwo Tejo dalam prolog klip musik lagu Jancuk, gubahannya, tahun 2012. []

Berita terkait
0
Surya Paloh Sebut Nasdem Tidak Membajak Ganjar Pranowo
Bagi Nasdem, calon pemimpin tak harus dari internal partai. Ganjar Pranowo kader PDIP itu baik, harus didukung. Tidak ada membajak. Surya Paloh.