Untuk Indonesia

Saatnya Radikal Dalam Tindakan Beradab dan Pancasilais

Radikal atau radikalisme, mulai populer di akhir abad ke-18 di Britania Raya.
Monumen Pancasila Sakti terletak di Jalan Raya Pondok Gede Lubang Buaya, Cipayung, Jakarta. (Foto: Istimewa)

Oleh: *Ingot Simangunsong

Radikal atau radikalisme, mulai populer di akhir abad ke-18 di Britania Raya. Ini sebutan bagi sekelompok pendukung gerakan yang meminta perubahan sistem pemilihan secara radikal.

Dalam bahasa Latin disebut radix yang artinya akar. Jadi kaum radikal, dalam gerakannya senantiasa mencari atau membicarakan atau mempersoalkan satu masalah sampai ke akar-akarnya.

Sarlito Wirawan, seorang psikolog, menyebutkan radikal adalah afeksi atau perasaan yang positif terhadap segala sesuatu yang bersifat ekstrim sampai ke akar-akarnya.

Sikap yang radikal akan mendorong perilaku individu untuk membela secara mati-matian mengenai suatu kepercayaan, keyakinan, agama atau ideologi yang dianutnya.

Kika Nawangwulan dkk, menyebutkkan radikal adalah suatu perbuatan kasar yang bertentangan dengan norma dan nilai sosial.

Sementara itu, dalam bidang politik istilah radikal diartikan sebagai sikap yang sangat keras dalam menuntut perubahan, apakah perubahan dalam pemerintahan ataupun pembaharuan undang-undang. 

Reformasi Birokrasi dan Hukum 

Misalnya saatnya kita bikin UU dan berbagai produk hukum lainnya semata-mata hanya demi kemaslahatan rakyat, bangsa dan negara. Selama ini kita tahu banyak UU dan produk hukum lainnya yang disusupi kepentingan sebaliknya.

Dalam filsafat, radikal adalah proses berpikir secara kompleks sampai ke akar-akarnya, sampai kepada esensi, hakikat atau substansi yang dipikirkan. (Ali Mudhofir: 2001)

Di sesi sejarah, radikal adalah golongan atau kelompok yang langsung mencari ke akar masalah, mempertanyakan segalanya, mengamati masalah secara keseluruhan dan kemudian membalikkan semua hal demi mencapai peradaban dan keadilan yang lebih baik. (Muhidin M. Dahlan : 2000).

Tetapi, di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), radikal diartikan sebagai segala sesuatu yang sifatnya mendasar sampai ke akar-akarnya atau sampai pada prinsipnya. Dapat juga diartikan sebagai sifat maju dalam hal pola pikir atau tindakan.

Dengan penjelasan tersebut, kita dapat berpandangan bahwa sebenarnya radikal merupakan istilah yang sangat positif yang menunjukkan sesuatu yang sifatnya berpegang teguh pada prinsip.

Memaknai dalam Keberadaban

Namun, seiring perjalanan waktu, istilah radikal yang semula bernakna positif, karena sering dikaitkan dengan hal-hal negatif, konotasinya pun berubah menjadi negatif.

Jika mendengar atau menyebut kata ini, yang terlintas di pikiran kita adalah sebuah kelompok yang melakukan tindak kekerasan, menggunakan bom, produsen dan penyebar hoaks dan fitnah serta hal-hal negatif lainnya.

Hal ini semakin menguat, ketika kebanyakan media menggunakan kata radikal saat menyajikan berita-berita kekerasan. Sehingga secara otomatis masyarakat memaknai kata radikal sebagai sesuatu yang negatif.

Pergeseran konotasi radikal dari positif ke negatif ini, perlu dilakukan perbaikan melalui gerakan radikal keberadaban yang Pancasilais.

Artinya, jika satu kelompok masyarakat hendak melihat sesuatu yang menyimpang dan ingin melakukan kajian sampai ke akar-akarnya dengan prinsip-prinsip yang ada pada kelompok tersebut, tetaplah berpedoman pada tujuan yang sama, untuk Indonesia maju.

Keberadaban, tidak akan mengurangi radikalisme. Kemudian, radikalisme tidak juga harus diwarnai dengan kekerasan atau tindakan-tindakan negatif yang dapat merugikan banyak pihak. Memperlambat proses Indonesia maju.

Tindakan radikal yang diwarnai dengan kekerasan dan melakukan pengrusakan, adalah produk dari konspirasi 4 kubu jahat.

Dalam rilisnya Juni 2017, Dr Asvi Marwan Adam menyatakan bahwa: "Pasca reformasi 98, musuh bersama kita saat ini adalah Konspirasi 4 Kubu Jahat, yakni politisi busuk, pengusaha hitam, kaum radikal agama transnasional dan operator profesional (nekolim)."

Keempat konspirasi jahat inilah, yang senantiasa mendorong gerakan radikal negatif, (penuh kekerasan, hoaks, ghibah dan fitnah) dan harus dilawan dengan tindakan radikal keberadaban yang Pancasilais.

"Mari saatnya kita memaknai pikiran radikal dengan tindakan yang beradab dan Pancasilais".

*Ingot Simangunsong

Penulis senior GDD Sumut

Gerakan Daulat Desa

Berita terkait
Jernihkan Sejarah Negeri dari "Rumah Nurani" Sejarawan
Setiap kali menonton film Gerakan 30 September Partai Komunis Indonesia (G30S/PKI), batin selalu tapakur.
Kembalikan Pelajaran Sejarah
Sekolah, begitulah tuntunan sekaligus tuntutan kurikulum, sudah sangat minim memberikan waktu (les) khusus bagi pelajaran sejarah.
Menhan Bersama Tokoh Agama dan Adat Gelorakan Pancasila
Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu mengatakan Pancasila sebagai alat pemersatu bangsa harus terus disosialisasikan.