Yogyakarta - Coronavirus sindrom pernapasan akut berat 2 (SARS-CoV-2) penyebab penyakit coronavirus 2019 (Covid-19) menjadi momok menakutkan untuk sebagian orang. Saking takutnya, seseorang bisa saja merasa mengalami gejala terpapar Covid-19, meski orang itu sebenarnya dalam keadaan sehat.
Beberapa gejala influenza yang mirip dengan gejala Covid-19, yakni bersin dan batuk, bahkan cukup mampu membuat diri sendiri dan orang lain menjadi paranoid, takut sudah terpapar dan takut akan tertular.
Perasaan takut yang berlebihan itu dirasakan juga oleh seorang gadis berusia 20 tahun, Evi Nur Afiah. Gadis bermata bening dan hidung cukup mancung ini mengisahkan, dirinya pernah merasa paranoid dan berniat untuk memeriksakan kesehatannya.
Di rumah sakit, tahu enggak? Cuma dibilangin kalau dia cuma kecapean dan asam lambung naik. Tiwas (padahal) satu kampung sudah ingin mengarantina dan mau diisolasi.
Penyebabnya sangat sepele, hanya karena Evi sempat berada di dekat seorang temannya yang batuk dan bersin. "Soalnya temanku tuh batuk sama bersin kayak gitu, terus aku takut dia kenapa-napa," kata Evi, Senin, 30 Maret 2020.
Padahal, teman Evi sudah membantah bahwa dirinya memiliki gejala Covid-19. Sebab, meskipun bersin dan batuk, temannya tidak mengalami demam, seperti gejala lain Covid-19.
Setelah pertemuan itu, gadis yang berprofesi sebagai jurnalis tersebut merasa sesak napas. Membuatnya semakin panik dan ketakutan.
"Jadi aku tiba-tiba sesak napas. Aku enggak tahu kenapa tiba-tiba kayak gitu, terus aku panik dong," lanjutnya.
Evi kemudian menuangkan air hangat ke dalam gelas, lalu meminumnya. Hal itu dilakukan beberapa kali, sampai dia merasa napasnya menjadi lebih lega dan perasaannya lebih nyaman.
"Aku cari tahu sebenarnya aku kenapa. Aku kumat lagi sesak napas. Terus aku ceritalah sama temanku, kalau aku kumat lagi sesak napas," tuturnya.
Selain sesak napas, Evi juga mengalami sendawa dan sempat demam. Ternyata asam lambungnya meningkat.
Ilustrasi batuk dan bersin di tengah wabah corona. (Foto: express.co.uk)
Auto-Dizalimi
Ketakutan masyarakat yang berlebihan terhadap Covid-19, kata Evi, membuat seseorang bisa autodizalimi atau secara otomatis dizalimi oleh orang di sekitarnya.
"Asli, sekarang pilek dikit doang dikucilkan. Apalagi sampai batuk-batuk, auto dizalimi sama masyarakat sekitar," candanya.
Dampak ketakutan yang berlebihan itu, bahkan bisa membuat gempar warga sekampung. Seperti yang dikisahkan rekan Evi, Akbar Putra, 25 tahun.
Seorang tetangga Akbar belum lama ini kedatangan tamu, yang ternyata anaknya sendiri. Tapi, si anak mengalami demam yang cukup tinggi, batuk dan pilek.
"Nah, dia itu tadi suhu tubuh tinggi banget, batuk, flu, pokoknya hampir sama kayak corona deh. Langsung tuh, satu kampung gempar dong. Langsung Pak RW sama lurah dihadirkan di tempat dan ada juga polisi," katanya.
Terduga Covid-29 ini pun dibawa ke rumah sakit menggunakan ambulans, dan para tokoh masyarakat itu diminta untuk melakukan sterilisasi di rumahnya.
"Di rumah sakit, tahu enggak? Cuma dibilangin kalau dia cuma kecapean dan asam lambung naik. Tiwas (padahal) satu kampung sudah ingin mengarantina dan mau diisolasi," lanjutnya.
Hal sama diceritakan Erli, 40 tahun. Menurutnya, Covid-19 membuat orang seperti saling bermusuhan, khususnya saat posisinya berdekatan, seperti di dalam lift.
"Sudah kayak orang musuhan, saling membelakangi. Misalnya di lift. Apalagi kalau orangnya tidak saling kenal," kata dia.
Belum lagi kalau ada orang yang batuk atau bersin di area publik, orang-orang yang ada di sekelilingnya otomatis melirik secara bersamaan.
Tapi, pandemi itu diakuinya memberikan pelajaran positif. Salah satunya adalah membuat orang menjadi lebih higienis dan meningkatkan kesadaran tentang hidup sehat. Dia mencontohkan anaknya yang masih duduk di kelas VI sekolah dasar.
"Sekarang kalau misalnya adiknya bersin, dan dia di dekatnya, langsung cuci tangan pakai sabun. Jadi ada sisi baiknya juga, orang jadi lebih higienis," tuturnya.
Kekhawatiran Menimbulkan Stres
Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Prof Koentjoro, menjelaskan, ketakutan atau kondisi insecure, merupakan hal yang wajar dirasakan seseorang saat alam bawah sadarnya merasa terancam. Sehingga dia melakukan perlawanan terhadap ancaman tersebut.
Kondisi semacam itu muncul saat otak sering menerima informasi yang negatif, yang membuat pikiran menjadi stres. Kondisi semacam itu, kata dia, tidak menguntungkan untuk tubuh.
Psikolog UGM Prof. Koentjoro (Foto: Dok Tagar)
Mengenai kondisi yang disebabkan ketakutan terhadap Covid-19, Ketua Dewan Guru Besar UGM periode 2018-2021 ini menyebut ada tiga kelompok masyarakat dalam menghadapi wabah corona.
Kelompok pertama adalah masyarakat yang cuek terhadap isu itu. Orang-orang yang saat ini masih keluyuran di luar rumah, masuk dalam kategori kelompok tersebut. Mereka seakan tidak ada masalah dengan isu corona.
"Bisa kita lihat sekarang ini di luar orang-orang masih keluyuran seakan tidak ada masalah. Mereka adalah orang-orang cuek," kata Prof Koentjoro saat dihubungi Tagar, Selasa, 24 Maret 2020.
Kelompok kedua adalah orang yang menganggap pandemi corona adalah sebagai lelucon. Kreativitas mereka seperti tidak pernah habis. Meskipun virus corona bisa mengakibatkan kematian, kelompok ini akan menganggapnya sebagai guyonan belaka.
"Ada yang mengatakan bahwa lebih baik mati sahid dengan corona daripada mengonsumsi obat buatan China maupun Amerika yang sama-sama kafir. Ada juga yang bilang mati mah di tangan Tuhan. Itu adalah bagian guyonan yang tidak sehat dan itu bunuh diri," ujarnya.
Kelompok ketiga adalah yang paling rentan terkena stres akibat rasa khawatir. Mereka adalah orang-orang dengan kelas sosial menengah ke atas. Termasuk mereka yang bekerja dari rumah atau Work from Home (WFH). Mereka juga paling banyak membaca informasi tentang virus corona melalui media sosial.
Kelompok ini betul-betul melahap semua pemberitaan tentang virus corona. Mulai dari jumlah korban yang meninggal, cara penularan, gejala saat terjangkit, dan beragam hal negatif lain.
"Karena mereka ini orang- orang terdidik konsumsinya meneliti, yang kedua membaca media sosial. Hampir setiap saat media sosial menceritakan tentang hal buruk wabah corona," ucapnya.
Stresor atau penyebab stres pun semakin bertambah dengan situasi yang tidak pasti, situasi darurat, situasi yang dinilai mengerikan, sehingga yang terjadi adalah stres full.
Jika terus dibiarkan, dikhawatirkan akan terjadi stres massal ke depannya. Salah satu gejalanya adalah orang menjadi lebih mudah tersinggung.
Olehnya itu, Prof Koentjoro meminta pemerintah membatasi berita-berita negatif dan buruk, yang bisa membuat masyarat terbebani. Dia menyarankan untuk memperbanyak tayangan dan suguhan berita menyenangkan di media.
"Masyarakat sudah mengalami gangguan stres khususnya pada orang-orang terdidik. Soalnya orang-orang di desa tidak ada masalah. Ada isu Work from Home mereka enggak tahu masalahnya apa," kata dia.
Prof Koentjoro juga meminta pemerintah memberikan tahapan-tahapan tertentu, yang boleh dan tidak boleh dilakukan masyatakat selama status keadaan darurat. Sehingga masyarakat tidak bertanya-tanya kapan kehidupan kembali normal. []
Baca cerita lain:
- Libur Corona, Anak Aceh Main Game di Rental Play Station
- Wabah Corona: Kalau Tak Keluar Rumah Tak Dapat Uang