Jakarta - Ekonom Universitas Indonesia Mari Elka Pangestu menyebutkan, Indonesia memiliki peluang untuk bisa menggenjot pertumbuhan ekonomi ke level 6 persen. Walaupun dirasa berat, sejumlah upaya bisa dilakukan pemerintah, setidaknya untuk mempertahankan momentum pertumbuhan.
"Faktanya, itu (pertumbuhan ekonomi) pasti akan diikuti oleh outcome yang membuat defisit transaksi berjalan akan naik. Kita harus melihat ini bukan sebagai bencana kalau memang bisa dibiayai oleh investasi," ujarnya di Jakarta, Rabu 5 Februari 2020.
Menurutnya, volatilitas pembayaran tersebut tidak akan terlalu berpengaruh terhadap kerentanan ekonomi di Indonesia. Sebab, sebagian besar barang impor yang didatangkan ke dalam negeri bersifat barang modal dan barang produksi, sehingga, dapat menjadi motor penggerak roda perekonomian di Tanah Air. "Asal dia barang modal maka akan membantu meningkatkan produktivitas itu sendiri. Ini juga bisa meningkatkan ekspor dan penyediaan lapangan kerja," kata Mari.
Defisit transaksi berjalan memang membuat kita rentan kalau dibiayai oleh dana jangka pendek.
Mari menambahkan, hasil berbeda akan terjadi apabila terlalu mengandalkan investasi portofolio yang bersifat jangka pendek. Pasalnya, apabila terjadi shock di pasar keuangan maka dengan mudah modal asing tersebut akan cepat meninggalkan Indonesia (capital outflow). Sehingga, instrumen investasi portofolio ini menjadi lebih rentan terhadap gejolak ketidakpastian.
"Current account deficit (defisit transaksi berjalan) memang membuat kita rentan kalau dibiayai oleh dana jangka pendek atau membiayai impor yang bersifar konsumtif dan bukan untuk sektor produktif," tutur Mari.
Terkait pertumbuhan ekonomi, sebelumnya Direktur Eksekutif Departemen Kebijakan Ekonomi Moneter Bank Indonesia (BI) Endy Dwi Tjahjono pernah mengatakan BI memproyeksikan ekonomi Indonesia akan tumbuh sebesar 5,1 persen year on year (yoy) di 2019, stabil dengan 2018 yaitu sebesar 5,17 persen. Angka pertumbuhan membaik di kuartal IV 2019, karena stimulus dari realisasi belanja pemerintah di akhir tahun, perbaikan kinerja ekspor, dan tren konsumsi masyarakat pada liburan Natal dan Tahun Baru.
"Kontribusi fiskal itu biasanya pada akhir tahun, anggaran keluar semua. Jadi, akan terjadi lonjakan di pengeluaran pemerintah. Dan liburan Natal dan Tahun Baru akan dongkrak ekonomi," ujar Endy Dwi Tjahjono di Manggarai Barat, Nusa Tenggara Timur, Senin, 9 Desember 2019 seperti dilansir dari Antara.
Selain itu, menurutnya defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) pada 2019 akan menurun 2,7 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB) dibanding pada 2018 yaitu sebesar 2,93 persen PDB. "Kami melihat akan lebih baik di 2019 dengan current account deficit di 2,7 persen PDB," tutur Endy.[]