Makassar – Sebanyak 22 pimpinan perguruan tinggi (PT) baik negeri dan swasta melakukan pertemuan di Ruang Rapat A, Lantai 4 Gedung Rektorat Unhas, Tamalanrea, Makassar, Selasa 1 Oktober 2019. Pertemuan sejumlah pimpinan PT ini untuk membahas dinamika pergerakan mahasiswa.
"Jika kita amati, apa yang dituntut oleh mahasiswa itu pada dasarnya merupakan aspirasi yang mewakili kepentingan publik. Misalnya, mereka meminta ada undang-undang dibatalkan, seperti UU KPK dan UU Sumber Daya Alam. Itu adalah sesuatu yang menurut mahasiswa merupakan kebutuhan rakyat. Jadi ini bukan gerakan politik," kata Rektor Unhas Prof Dwia Ariestina Pulubuhu yang bertindak sebagai pimpinan forum.
Dengan demikian, sudah seharusnya pimpinan perguruan tinggi tidak boleh melarang aksi mahasiswa. Namun demikian, Dwia menegaskan, pimpinan perguruan tinggi berkewajiban menjaga agar gerakan mahasiswa tidak disusupi oleh provokator dari pihak-pihak yang memiliki kepentingan politik.
"Kita perlu mempersiapkan beberapa langkah konkret dalam jangka pendek. Yang paling penting adalah melakukan pendekatan dialog kepada mahasiswa. Kita juga perlu mengadakan pendampingan, terutama dalam kegiatan mereka di kampus, termasuk ketika mereka melakukan aksi ke luar kampus," tambah Dwia.
Anggota kepolisian dalam penanganan aksi unjuk rasa tidak membabi buta dalam membubarkan mahasiswa
Kapolda Sulsel, Irjen Poliso Mas Guntur Laupe, menyebut pada beberapa aksi mahasiswa yang melibatkan massa dalam jumlah besar, sangat rentan untuk disusupi kelompok tertentu. Bahkan tidak jarang oleh preman-preman.
"Mereka inilah yang pada awalnya memprovokasi mahasiswa dan menyeret mahasiswa agar rusuh. Kita tidak ingin itu terjadi, tetapi perkembangan situasi di lapangan sangat dinamis," kata Irjen Mas Guntur.
Minta Aparat Tidak Membabi Buta
Dalam sesi dialog, beberapa pimpinan perguruan tinggi berkesempatan menyampaikan pandangannya, terkait dinamika gerakan mahasiswa di kampus masing-masing maupun pendekatan pengamanan.
Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan Universitas Bosowa, Abdul Haris Hamid memaparkan dilema yang dihadapi oleh kampusnya.
"Universitas Bosowa ini merupakan kampus yang lokasinya paling dekat dengan area hot spot unjuk rasa, yaitu fly over dan kantor DPRD Sulsel. Ditambah lagi kampus kami itu pagarnya rendah. Sehingga, ketika terjadi situasi rusuh, massa mahasiswa dari kampus manapun larinya ke kampus kami. Mohon kiranya hal ini dapat menjadi perhatian Bapak Kapolda, sehingga anggota kepolisian dalam penanganan aksi unjuk rasa tidak membabi buta dalam membubarkan mahasiswa," kata Abdul Haris.
Di akhir pertemuan, forum pimpinan perguruan tinggi se-Kota Makassar ini menyepakati beberapa hal penting, yang akan dituangkan dalam rumusan pernyataan sikap.
Beberapa titik kesepakatan itu antara lain, perlunya pendampingan bagi mahasiswa, perlunya dialog secara intensif, serta perlunya ada proses literasi akademik terkait isu-isu aktual.
"Hal ini penting, agar mahasiswa memahami substansi dari isu yang mereka perjuangkan. Juga agar mereka dapat memahami mengapa suatu kebijakan itu diambil oleh pemerintah," pungkas Dwia.[]