Jakarta - Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Abra Talattov mengatakan kinerja Menteri Koordinator (Menko) Perekonomian Darmin Nasution tidak terlalu baik, terutama di sektor ekonomi makro, seperti investasi dan nilai ekspor.
"Berdasarkan evaluasi kita, kinerja Menko Darmin sendiri dari sisi macro economy sendiri selama empat tahun terakhir sebenarnya cenderung memburuk," kata Abra saat dihubungi Tagar pada Rabu, 16 Oktober 2019.
16 paket kebijakan yang digulirkan pemerintah tidak mampu memberikan dampak positif.
Mengutip dari laman Bappenas, dalam lima tahun terakhir, pemerintah tidak pernah memenuhi target pertumbuhan ekonomi. Tahun 2015 realisasi pertumbuhan ekonomi hanya mencapai 4,79 persen lebih rendah dari target 5,7 persen. Tahun 2016 ekonomi Indonesia tumbuh 5,02 persen, lebih rendah dari target yang ditetapkan 5,2 persen.
Pada 2017, pemerintah kembali memasang target pertumbuhan mencapai 7,1 persen, namun hanya terealisasi 5,07 persen. Tren tidak terpenuhinya target pertumbuhan ekonomi berlanjut pada 2018 hanya mencapai 5,17 persen, meleset dari target sebesar 7,5 persen. Sementara, pada semester satu 2019, ekonomi Indonesia hanya tumbuh 5.06 persen, lebih rendah dari target 8 persen.
Tidak tercapainya target pertumbuhan, kata dia, disebabkan buruknya koordinasi Menko Perekonomian. Sebagai catatan, setidaknya ada 11 kementerian yang berada di bawah koordinasi Kementerian Koordinasi Perekonomian.
"Padahal kan nilai strategis Kemenko Perekonomian ini mengkoordinir 11 kementerian. Artinya, Menko Perekonomian tidak berhasil dalam mengkoordinir atau mengharmonisasi kebijakan-kebijakan antar sektor," kata Abra.
Menurut Abra, 16 paket kebijakan yang digulirkan pemerintah tidak mampu memberikan dampak positif yang merangsang pertumbuhan ekonomi nasional.
"Selain itu, 16 paket kebijakan ekonomi yang sudah diterbitkan pemerintah dibawah Kemenko Perekonomian hasilnya tidak berhasil, signifikansinya kecil. Karena memang masih jadi keluhan utama Presiden juga mengenai investasi, ekspor, dan transaksi berjalan," tuturnya.
Tidak berhasilnya 16 paket kebijakan tersebut, kata Abrar, dapat terlihat dari tidak masuknya Indonesia sebagai salah satu negara tujuan relokasi perusahaan-perusahaan besar asal China.
Menurut dia, paket-paket kebijakan ekonomi tersebut tidak cukup kuat menarik minat investor asal China, untuk membuka pabrik di Indonesia.
"Bisa dilihat dari 33 relokasi perusahaan asal China kan nggak ada satupun yang berinvestasi di Indonesia, itu bisa menjadi sinyal bahwa 16 paket kebijakan tersebut tidak cukup kuat menjadi magnet buat investor," kata dia.
Capaian Pemerintah di Sektor Pemberantasan Kemiskinan
Menurut Abra, capaian pemerintah menurunkan tingkat kemiskinan hingga satu digit sejak 2018, tidak mutlak disebabkan pembangunan ekonomi yang dilakukan pemerintah. Menurutnya, capaian tersebut lebih ditopang dari sektor sistem sosial.
Penurunan kemiskinan tersebut, kata dia, merupakan capaian positif yang biasa. Karena dalam sejarah, pemerintah tidak pernah gagal dalam menurunkan tingkat kemiskinan.
"Dalam sejarahnya pemberantasan kemiskinan kita memang selalu turun, tapi pengurangan kemiskinan ini kalau kita dalami lagi itu lebih disebabkan program-program pemerintah yang sifatnya program bantuan sosial, bukan dari kebijakan yang produktif," ucapnya.
Karena satu persen dari pertumbuhan ekonomi, lanjutnya, bisa menyerap sekitar 500 ribu tenaga kerja. Tapi dalam empat tahun terakhir ini, satu persen pertumbuhan itu serapan tenaga kerjanya berkurang.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), tingkat kemiskinan di Indonesia per Maret 2019 berada di angka 9,41 persen atau sekitar 25.14 juta orang. []