Kenaikan Tarif BPJS Dinilai Lemahkan Ekonomi Masyarakat

Pemerintah berencana menaikan sejumlah tarif, seperti iuran BPJS, cukai rokok, hingga pencabutan subsidi listrik 900 VA pada 2020.
Ilustrasi - Karyawan beraktivitas di dekat layar pergerakan saham di gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta. (Foto: Antara/Reno Esnir/pd)

Jakarta - Direktur Eksekutif Institute For Developent of Economic and Finance (INDEF), Ahmad Tauhid menyebut rencana pemerintah menaikkan sejumlah tarif pada 2020 mendatang akan berdampak negatif terhadap perekonomian masyarakat.

"Menurut saya, ke depan inflasi akan cukup tinggi, khususnya infasi yang sifatnya administered prices yang berasal pengurangan subsidi," kata Tauhid kepada Tagar pada Senin, 14 Oktober 2019.

Inflasi yang tinggi tanpa dibarengi kenaikan pendapatan masyarakat maka daya beli akan melambat.

Ia menilai kenaikan beberapa tarif, seperti iuran BPJS, tol, pencabutan subsidi listrik kapasitas 900 VA, cukai rokok 35 persen, hingga pemberlakuan kebijakan plastik berbayar akan menaikkan inflasi jika tidak dibarengi dengan kenaikan pendapatan masyarakat. Menurut Tauhid, hal ini akan berdampak pada penurunan daya beli masyarakat.

"Inflasi yang tinggi tanpa dibarengi kenaikan pendapatan masyarakat maka daya beli akan melambat," katanya.

Penurunan daya beli dan inflasi, kata Tauhid, membuat pertumbuhan ekonomi 2020 yang ditargetkan pemerintah di angka 5,3 persen akan sulit terpenuhi.

"Saya kira target pertumbuhan ekonomi 2020 yang dirilis pemerintah sebesar 5,3 persen terlalu tinggi. Tidak hanya sebatas karena faktor penurunan daya beli dan peningkatan inflasi, tapi ada sejumlah faktor lain, seperti turunnya tingkat ekspor dan perang dagang," ujar Tauhid.

Menurutnya faktor lain seperti penurunan ekspor migas Indonesia ke sejumlah negara, seperti Jepang, Amerika Serikat (AS), dan India mempengaruhi target pertumbuhan ekonomi tersebut sulit tercapai. Secara kumulatif, persentase ekspor Indonesia tahun ini turun sebesar 5,8 persen.

"Faktor turunnya nilai ekspor kita juga menjadi salah satu pemicu target pertumbuhan itu sulit terpenuhi, seperti Amerika Serikat. Tahun lalu nilai ekspor migas kita mencapai 98,4 juta dollar, sementara tahun ini masih berkisar di 88 juta. Jepang turun turun 18,3 persen, ke India juga. Secara total turun sekitar 5,8 persen," tutur Tauhid.

Selain itu, ia mengatakan penurunan arus investasi dari luar negeri ke Indonesia turut mempersulit target pertumbuhan ekonomi tersebut dapat tercapai. []

Berita terkait
Pengaruh Perlambatan Ekonomi Cina Terhadap Indonesia
Perlambatan ekonomi Cina mempengaruhi beberapa aspek dari perekonomian dalam negeri.
Efek Gejolak Global ke Perekonomian Indonesia, Resesi?
Peneliti INDEF mengatakan bahwa berbagai gejolak global yang semakin besar dan penuh ketidakpastian sedikit menggoyang perekonomian Indonesia.
Masa Depan Ekonomi Digital dengan Palapa Ring
Palapa Ring diresmikan meluncur Senin, 14 Oktober 2019. Seperti apa masa depan ekonomi digital Indoensia setelah ini? Berikut ulasannya.