Publik Memerlukan Keterbukaan Informasi BPJS

Hingga saat ini persoalan kenaikan iuran BPJS masih menjadi kontra di tengah masyarakat.
Para Pembicara dalam FGD Huru Hara BPJS Kesehatan. (Foto: Tagar/Rivaldi Dani Rahmadi)

Jakarta - Keterbukaan informasi publik menjadi senjata peserta dalam konflik pro dan kontra kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan. Hal ini disebabkan akibat kenaikan iuran pelayanan kesehatan tersebut yang mencapai 100 persen pada awal Januari 2020.

Advokat Pemerhati Keterbukaan Informasi Publik (Peradi) Harry Ara Hutabarat menjelaskan Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) dalam konteks 'Huru Hara BPJS' menjadi hal yang sangat penting untuk para pesertanya.

Mengenai persoalan BPJS memang sudah diatur dalam Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik. Sebab, yang pertama peraturan tersebut sebagai landasan hukum itu berkaitan dengan hak peserta BPJS dan hak setiap orang untuk memperoleh informasi.

"Kedua, kewajiban Badan Publik menyediakan dan melayani permintaan informasi secara cepat, tepat waktu, biaya ringan atau proporsional, dan cara sederhana. Ketiga, pengecualian bersifat ketat dan terbatas. Keempat, kewajiban Badan Publik untuk membenahi sistem dokumentasi dan pelayanan informasi," ucap Harry Ara Hutabarat.

Sebelumnya, kenaikan iuran BPJS ini tertuang dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan. Kemudian, penjelasan mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen terangkum dalam pasal 34 Perpres Nomor 75 Tahun 2019.

Pada pasal itu, dijelaskan jika besar iuran per bulan yang harus dibayarkan sebesar Rp 42.000 untuk kelas III, Rp 110.000 untuk kelas II, dan kelas 1 sebesar Rp 160.000 untuk kelas I. Kenaikan iuran itu mulai berlaku sejak 1 Januari 2020.

Konflik silakan di pengadilan, tetapi masyarakat jangan dikorbankan.

Dampak  dari kenaikan iuran BPJS itu mengakibatkan banyaknya kalangan turun kelas massal. Sehingga membuat Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (PP-GMKI) mengadakan Focus Group Discussion (FGD) dengan tema 'Huru-Hara BPJS Kesehatan'.

"Pada saat iuran mau naik kita sudah menghitung kira-kira sekitar 70 persen akan terjadi penurunan kelas, jadi hanya 30 persen yang sanggup bertahan di kelas I dan II. Cuma hingga saat ini, belum dapat datanya, karena saya kan dewan pengawas bukan direksi. Pertama ini kan baru sebulan, lalu yang kedua kelas III yang tidak mampu bayar belum dapat datanya," ujar Dewan Pengawas BPJS Michael J. Latuwael kepada Tagar, Selasa, 28 Januari 2020.

Michael juga menjelaskan cara antisipasi untuk menangani peserta BPJS yang turun kelas.

"Antisipasi yang pertama dalam aspek pelayanan ya bagaimana kelas yang tersedia di rumah sakit. Karena dengan banyaknya yang turun kelas ini kan penghuni kelas III semakin banyak. Ketersediaan kelas III di beberapa rumah sakit yang menjadi provider BPJS itu bagaimana posturnya? bisa atau tidak? lalu bagaimana dengan kelas I dan II di rumah sakit? sebenarnya ini multi stakeholder, tidak hanya BPJS saja. Walaupun memang ada hal-hal yang menjadi kewenangan BPJS juga sih," tutur dia.

Kepala Bidang Advokasi BPJS Watch Timboel Siregar menjelaskan alasan beberapa rumah sakit yang menolak untuk bekerja sama dengan BPJS hingga sampai saat ini.

"Pertama, melihat nasibnya yang kecil. Kedua, rumah sakit belum memenuhi persyaratan kredensial," ujar Timboel Siregar.

Sejauh ini juga terdapat beberapa oknum rumah sakit yang melanggar peraturan BPJS. Namun, Timboel berharap jika hal ini terjadi BPJS diminta tidak memutus mitra kerjasamanya dengan rumah sakit.

"Konflik silakan di pengadilan, tetapi masyarakat jangan dikorbankan," ucap dia.

Sampai saat ini mengenai kenaikan iuran BPJS Kesehatan masih dalam pembahasan beberapa pihak terkait untuk mencari jalan keluarnya. []

Baca juga:

Berita terkait
Fahmi Idris Bantah Khianati DPR Soal Kenaikan BPJS
Direktur Utama BPJS Kesehatan Fahmi Idris membantah bersikeras tetap menaikkan iuran BPJS Kesehatan kelas III usai berunding dengan DPR.
Ada Hitungan BPJS, Tarif Ojek Online Bakal Naik
Kementerian Perhubungan mengisyaratkan kemungkinan tarif transportasi online atau ojek online akan naik.
BPJS Kesehatan Optimis Utang Rp 14 T Mampu Dilunasi
BPJS Kesehatan optimis dapat melunasi utangnya sebesar Rp 14 triliun ke seluruh rumah sakit di Indonesia.