Jakarta - Politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Ribka Tjiptaning dengan berani mengaku bangga sebagai anak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan ia sempat menulis buku "Aku Bangga Jadi Anak PKI".
Imbasnya, Alfian Tanjung sempat melempar tudingan sesaat setelah divonis bebas di kasus ujaran kebencian dalam cuitan 'PDIP 85% isinya kader PKI' di Twitter. Alfian menyebut Ribka Tjiptaning merupakan PKI.
Alfian menlontarkan pernyataan itu setelah menjalani sidang pembacaan vonis di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jalan Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Rabu, 30 Mei 2018.
Pemerintah sensitif deh, ini kan sebenarnya tinggal mengeksekusi hasil keputusan MA aja. Kenapa sih mesti harus naik?
"Sebenarnya pernyataan saya muncul kan cuplikan kader PKI yang bernama Ribka Tjiptaning. Justru dia harusnya ditangkap dan disidang," kata Alfian.
Sebelumnya, Alfian sempat menyebut nama Ribka dalam persidangan ketika Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dihadirkan sebagai saksi dalam persidangan. Saat itu tim pengacara Alfian menunjukkan buku berjudul 'Aku Bangga Jadi Anak PKI' karangan Ribka serta pernyataannya di stasiun televisi. Namun saat itu Hasto menegaskan Ribka bukanlah kader PKI.
Profil Ribka Tjiptaning
Ribka Tjiptaning Proletariyati lahir di Yogyakarta pada 1 Juli 1959. Ia merupakan anggota DPR yang bertugas di komisi IX dari Fraksi PDIP.
Kendati sudah menjadi politikus nasional, Ribka mengaku pernah memiliki masa lalu yang menyedihkan. Ayahnya, Raden Mas Soeripto Tjondro Saputro yang merupakan anggota biro khusus PKI harus menghadapi penangkapan dan eksekusi oleh pemerintah orde baru.
Saat itu, Tjiptaning yang masih duduk di TK kelas Nol Besar harus menyaksikan awal-awal kejatuhan keluarganya. Karena hal tersebutlah, ia dan kakaknya sering berpindah-pindah alamat.
Peristiwa paling mngerikan yang dirasakan oleh Tjiptaning adalah ketika ia dan kakaknya dipaksa untuk melihat penyiksaan terhadap ayahnya. Saat itu ayahnya diinterogasi tentara di sebuah rumah di Gang Buntu, Kebayoran Lama. Ia melihat ayahnya digantung terbalik dengan badan penuh luka serta hidung dan telinganya bercucuran darah.
Kendati demikian, Tjiptaning sebagai anak ketiga dari lima bersaudara, menjadi yang paling beruntung karena masih sempat mengenyam pendidikan formal hingga akhirnya ia mampu menjadi seorang dokter.
Pada 1992, setelah lulus dari bangku kuliah, dia membuka klinik kesehatan di Ciledug. Dari kliniknya, Tjiptaning akhirnya mulai berkenalan dengan para aktivis muda di Jakarta yang sering menentang kebijakan rezim orde baru di bawah pemerintahan Soeharto.
Persinggungannya dengan dunia politik membuatnya memantapkan diri untuk turut serta berkecimpung di dalamnya. Tjiptaning pun terjun ke dunia politik melalui keikutsertaannya dalam PDIP.
Karena cap yang disematkan orde baru atas diskriminasi terhadap anak keturunan PKI membuatnya kesulitan masuk dalam jajaran perpolitikan Indonesia.
Setelah Presiden Abdurrahman Wachid menghapuskan diskriminasi terhadap keluarga korban Gerakan 30 September 1965, karir politik Tjiptaning mulai menunjukkan titik terang. Ia pun mampu mengikuti pemilu 2004 dan 2009 dan duduk sebagai anggota DPR.
Badan Kehormatan Dewan Perwakilan Rakyat sempat melarang Tjiptanign ketika menjadi Ketua Komisi IX DPR untuk memimpin rapat panitia khusus dan panitia kerja. Larangan itu terkait dengan kasus hilangnya Ayat (2) Pasal 113 dalam Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang disetujui Rapat Paripurna DPR, 14 September 2009.
Hal ini juga memicu penolakan publik terkait isunya sebagai calon Menteri Kesehatan di Kabinet Joko Widodo-Jusuf Kalla pada 2014, dari petisi online hingga Ikatan Dokter Indonesia.
Ribka Tjiptaning sempat menyatakan ketidaksetujuan adanya kenaikkan iuran peserta BPJS Kesehatan yang diputuskan pemerintah. Ribka meminta, kenaikkan tersebut dibatalkan karena membebani rakyat apalagi saat pandemi Covid-19 seperti saat ini.
Dalam rapat yang sudah dilakukan DPR, ia menolak tegas kenaikkan iuran tersebut. Menurutnya, pemerintah hanya tinggal menjalankan putusan Mahkamah Agung (MA) yang sebelumnya telah membatalkan aturan terkait kenaikkan iuran BPJS. Bukan sebaliknya, malah melakukan upaya lain untuk kembali menaikkan.
"Pemerintah sensitif deh, ini kan sebenarnya tinggal mengeksekusi hasil keputusan MA aja. Kenapa sih mesti harus naik? Kalau perlu, malah tidak dinaikkan bahkan dibebaskan seperti pajak dibebaskan, ya bensin untuk ojol aja bisa 50 persen, 30 persen," kata Tjiptanign melalui keterangannya kepada wartawan, Kamis, 14 Mei 2020.
"Ini kenapa BPJS malah naik? Lama-lama orang nggak ada yang bayar BPJS," ujarnya.
Pendidikan
S1 Kedokteran UKI Jakarta (1978-1990)
Karier
- Anggota Komisi IX DPR RI
- Dokter. []
Baca juga:
- Profil Abdul Fikri Faqih, Jadi DPR Nikmat atau Istidraj?
- Profil Fakhri Hilmi, Tersangka Baru Jiwasraya