Profil Djoko Tjandra, Buron Kasus Bank Bali

Jaksa Agung ST Burhanuddin perintahkan jajaran untuk tangkap Djoko Sugiarto Tjandra yang telah buron bertahun-tahun.
Terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra. (Foto: Istimewa)

Jakarta - Jaksa Agung ST Burhanuddin menginstruksikan kepada jajarannya untuk menangkap terpidana kasus pengalihan hak tagih Bank Bali, Djoko Sugiarto Tjandra. 

Menurut informasi, Djoko Tjandra yang buron bertahun-tahun tersebut akan mengajukan peninjauan kembali (PK) di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

"Sudah saya perintahkan untuk tangkap dan eksekusi," ujar Burhanuddin dalam rapat kerja bersama Komisi III DPR RI di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Senin, 29 Juni 2020.

Burhanuddin mengatakan Djoko Tjandra mengajukan PK pada Senin ini. Ia menyebutkan, beberapa waktu belakangan kejaksaan berupaya mencari Djoko Tjandra tetapi belum membuahkan hasil. 

"Djoko Tjandra adalah buronan kami dan kami rencanakan sudah tiga hari ini kami cari, tapi belum muncul. Pada hari ini, beliau mengajukan PK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan," kata Jaksa Agung.

Pada era Jaksa Agung M Prasetyo, Djoko Tjandra memang sulit untuk ditangkap. Djoko diketahui telah berganti kewarganegaraan menjadi warga negara Papua Nugini sejak 2012.

"Itu kesulitan yang kami hadapi. Termasuk Samadikun itu punya lima paspor. Ada di antara mereka, Edy Tansil, Djoko Tjandra sudah pasti mengubah kewarganegaraan," ujar Prasetyo di kantornya, Senin, 25 April 2016.

Bahkan Djoko diyakini dilindungi oleh negaranya saat ini. Hal ini yang menyulitkan Kejagung untuk mengembalikan Djoko Tjandra karena tidak adanya perjanjian ekstradisi. 

"Kalau kami mengejar orang dan kami makan di restoran yang sama, tidak bisa begitu saja mencoba mengambil dia. Seperti itu kira-kira," kata Prasetyo.

Dalam kasus itu, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan Djoko bebas dari tuntutan. Kemudian, Oktober 2008 Kejaksaan melakukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. MA menerima dan menyatakan Direktur PT Era Giat Prima itu bersalah.

Djoko dijatuhi hukuman dua tahun penjara dan harus membayar denda Rp 15 juta dan uangnya di Bank Bali sebesar Rp 546 miliar dirampas untuk negara. Namun, sehari sebelum putusan MA pada Juni 2009, Djoko Tjandra diduga kabur meninggalkan Indonesia dengan pesawat carteran dari Bandara Halim Perdanakusuma menuju Port Moresby.

Djoko kemudian diketahui telah pindah kewarganegaraan ke Papua Nugini pada Juni 2012. Namun, alih status warga negara itu tidak sah, sebab Djoko masih memiliki permasalahan hukum di Indonesia.

Profil Djoko Sugiarto Tjandra

Djoko Sudiarto Tjandra alias Tjan Kok Hui merupakan pria kelahiran Sanggau 27 Agustus 1950.

Ia merupakan penguasaha yang identik dengan Grup Mulia yang memiliki bisnis inti properti. Kongsi empat bersaudara yakni Tjandra Kusuma (Tjan Boen Hwa), Eka Tjandranegara (Tjan Kok Hui), Gunawan Tjandra (Tjan Kok Kwang), dan Djoko S Tjandra sendiri didirikan pada 1970.

Pada era 1990-an, Grup Mulia semakin menunjukkan keberhasilannya ketika dipegang oleh Djoko. Ia menjadi pemegang komando atas kepemilikan properti perkantoran seperti Five Pillars Office Park, Lippo Life Building, Kuningan Tower, BRI II, dan Mulia Center.

Diketahui, Grup Mulia menaungi sebanyak 41 anak perusahaan di dalam dan luar negeri. Selain properti, grup yang pada 1998 memiliki aset Rp11,5 triliun itu merambah sektor keramik, metal, dan gelas.

Nama Djoko semakin melejit setelah bekerjasama dengan pengusaha muda, Setya Novanto yang saat itu menjabat Wakil Bendahara Golkar. Dari sinilah perkara itu merebak makin lebar. Soalnya, kongkalikong memburu duit fee terlembaga dengan keikutsertaan PT Era Giat Prima (EGP), perusahaan bikinan Djoko dan Setya.

Pada 11 Januari 1999, ada perjanjian cessie Bank Bali ke BDNI (Bank Dagang Nasional Indonesia) sebesar Rp 598 miliar dan BUN (Bank Umum Nasional) sebesar Rp 200 miliar antara Bank Bali dan PT EGP.

Pada 3 Juni 1999 BPPN (Badan Penyehatan Perbankan Nasional) menginstruksikan transfer dana dari rekening Bank Bali di Bank Indonesia ke sejumlah rekening berjumlah Rp 798 miliar secara bersamaan. 

Uang tersebut dengan rincian Rp 404 miliar ke rekening PT EGP di Bank Bali Tower, Rp 274 miliar ke rekening Djoko S Tjandra di BNI Kuningan, dan Rp120 miliar ke rekening PT EGP di BNI Kuningan.

Namun setelah tagihan cair, PT EGP menulis surat ke BPPN. Isi surat itu adalah permintaan agar kewajiban PT BUN kepada Bank Bali sebesar Rp 204 miliar dan bunga sebesar Rp 342 miliar dibayarkan kepada PT EGP. Lalu, PT EGP mendapat fee tadi, sebesar Rp546,468 miliar. 

Karena kemudian kasus ini mencuat ke permukaan dan Direktur Utama EGP Djoko S Tjandra dimeja-hijaukan, akhirnya PT EGP mengembalikan dana tersebut ke Bank Bali.

Dalam persidangan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, tDjoko S Tjandra divonis bebas. Setelah keluar putusan ini PT EGP menggugat ke PTUN agar BPPN (kini menguasai Bank Permata) mencabut pembatalan perjanjian cessie dan menyerahkan dana tersebut ke PT EGP.

Pada Maret 2002 gugatan PT EGP tersebut ditolak MA. Pada 12 Juni 2003 Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengirim surat kepada direksi Bank Permata agar menyerahkan barang bukti berupa uang Rp 546,468 miliar tadi. Permintaan ini akhirnya tak terwujud dengan keluarnya putusan kasasi Mahkamah Agung (MA) yang memenangkan BPPN.

Sementara itu, Kemas Yahya Rahman yang waktu itu menjabat sebagai Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung kala itu pernah mengatakan pihaknya akan mempertimbangkan secara hati-hati tentang rencana eksekusi dana Rp 546,468 miliar di Bank Permata.

Langkah ini diambil menyusul pernyataan Ketua MA Bagir Manan soal dana cessie Bank Bali. Kejaksaan akan mempelajari terlebih dulu secara detail putusan kasasi MA atas kasus Bank Bali yang melibatkan dua terdakwa.

Pasalnya, putusan kasasinya saling berbeda. Perkara dengan terdakwa Djoko S Tjandra sudah diputus bebas. Putusan ini berkonsekuensi dana cessie harus dieksekusi dikembalikan ke PT EGP. []

Baca juga:

Berita terkait
Jaksa Ungkap Keterkaitan Sunda Empire dengan Malaysia
Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Tinggi Jawa Barat dalam dakwaannya mengungkapkan Sunda Empire ada lantaran putri dua terdakwa dipenjara di Malaysia.
Kasus Jiwasraya, Kejaksaan Agung Bidik Bakrie Group
Setelah menetapkan 13 manajer investasi sebagai tersangka baru kasus korupsi Jiwasraya, Kejaksaan Agung kini memeriksa Bakrie Group
Asuransi Jiwa Sequis Bayar Klaim Covid-19 Rp 6,8 M
Asuransi Jiwa Sequis Life telah membayarkan klaim dan manfaat terkait Covid-19 sampai dengan 18 Juni 2020 mencapai lebih dari Rp 6,8 miliar.
0
Harga Emas Antam di Pegadaian, Kamis 23 Juni 2022
Harga emas Antam hari ini di Pegadaian, Kamis, 23 Juni 2022, untuk ukuran 1 gram mencapai Rp 1.028.000. Simak ulasannya berikut ini.