TAGAR.id, Jakarta - Mahkamah Konstitusi terus menjadi sorotan belakangan ini dalam menghadapi berbagai gugatan mengenai batas usia maksimal dan minimum kandidat capres dan cawapres yang saat ini tengah dibahas.
"MK pernah dijuluki dengan plesetan Mahkamah Kalkulator karena seringnya mengadili urusan angka," kata Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus pada Senin, 25 September 2023.
Petrus menjelaskan, berbagai gugatan yang diajukan ke MK mengenai syarat usia capres cawapres pun beragam. Ada yang mengusulkan batasan minimal usia 35 tahun, yang lain mengusulkan usia minimal 30 tahun bahkan ada yang mencoba mengajukan usia minimal hanya 25 tahun.
Sementara itu, Partai Garuda mengajukan usia minimum dengan tambahan pengalaman sebagai kepala daerah. Bahkan, ada juga mengajukan batasan usia maksimum hingga 70 tahun.
Petrus menilai, Mahkamah Konstitusi berpeluang dan berpotensi terjebak lantaran dianggap dapat mencampuri wilayah yang seharusnya menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah sebagai domain open legal policy.
"Artinya DPR sebagai fungsi representasi rakyatlah yang berwenang mengubah atau meniadadakan sebuah UU, bukan oleh MK," ucap Petrus.
Ditegaskan Petrus, prinsip open legal policy adalah kebijakan hukum terbuka yang didasarkan pada konstitusi atau Undang-Undang Dasar 1945, serta cara sebuah norma hukum dibentuk, yang diatur lebih lanjut dalam Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada dan telah mengalami beberapa kali perubahan.
"Harus diingat sebuah UU dibentuk lewat kajian, lewat naskah akademik, lewat perdebatan di Parlemen dan lewat public hearing dengan masyarakat, karenanya MK tidak boleh mengambil alih kewenangan open legal policy itu," pungkasnya.[]