Polemik Garuda Indonesia dan Kartel Tiket Penerbangan

Garuda Indonesia diduga terlibat kartel penetapan tiket penerbangan. Maskapai itu dihukum membayar Rp 189 miliar.
Ilustrasi. (Foto: wikimedia)

Jakarta - Mahkamah Federal Australia menjatuhkan hukuman 19 juta dolar Australia atau setara dengan Rp 189 miliar kepada Garuda Indonesia. Maskapai pelat merah ini dituduh terlibat dalam kartel penetapan tiket penerbangan. 

"Penetapan tarif merupakan masalah serius karena secara tidak adil menekan persaingan di pasar untuk bisnis dan konsumen, dan kartel internasional ini merupakan contoh terburuk yang kita lihat," kata Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha Australia, Rod Sims, dikutip dari channelnews.com.au.

Meneruskan pemberitaan Reuters, Jumat 31 Mei 2019, dalam prosesnya pengadilan menemukan, antara tahun 2003-2006, Garuda Indonesia setuju untuk melakukan kesepakatan yang menetapkan harga keamanan dan biaya tambahan bahan bakar.

Selain itu, Garuda Indonesia disebut setuju dan melakukan kesepakatan terhadap biaya bea cukai dari Indonesia. Mahkamah Federal menetapkan Garuda Indonesia terlibat kolusi dalam penetapan biaya serta biaya tambahan untuk layanan angkutan udara.

Selain Garuda Indonesia, ada juga maskapai lain berjumlah 14 maskapai penerbangan yang didenda pengadilan Australia, seperti Air New Zealand, Qantas, Singapore Airlines, dan Cathay Pacific. Total denda yang terkumpul mencapai 130 juta dolar Australia, setara Rp1,3 triliun.

Pada 31 Oktober 2014, Mahkamah Federal Australia menolak gugatan ACCC terhadap Air New Zealand dan Garuda Indonesia dengan pertimbangan pasar yang bersangkutan (Yurisdiksi) di Indonesia. 

Seperti diberitakan Antara, namun dalam pengadilan banding 14 Juni 2017, Mahkamah Federal Australia mengabulkan gugatan ACCC dengan doktrin effect dan Garuda Indonesia-Air New Zealand dinyatakan bersalah atas tuduhan price fixing.

Atas dasar itu pada 30 Mei 2019, Mahkamah Federal Australia menjatuhkan putusan kepada Garuda Indonesia dan Air New Zealand dikenakan denda sebesar 19 juta dolar Australia dan diminta untuk membayar biaya peradilan yang telah dikeluarkan oleh ACCC.

"Kami berkomitmen untuk mengejar pelaku kartel dari operator domestik dan luar negeri dan berpikir total denda yang dikenakan kepada semua maskapai merupakan pesan pencegahan yang kuat, terutama menyangkut perilaku anti-persaingan internasional," ucap Sims.

Erupsi Merapi Menutup Bandara Ahmad YaniPesawat Garuda Indonesia parkir di Bandara Ahmad Yani, Jumat (1/6) sore seiring penutupan bandara akibat terpapar abu erupsi Merapi. (Ist/Agus Joko Mulyono)

Garuda Indonesia dilaporkan telah menetapkan biaya keamanan dan biaya tambahan bahan bakar, ditambah bea cukai dari Indonesia antara 2003-2006. Atas hal ini, Garuda Indonesia didenda 15 juta dolar Australia, setara Rp 149,6 miliar.

Selain itu, Garuda Indonesia juga didenda 4 juta dolar Australia, setara Rp39,9 miliar atas tuduhan pengenaan biaya asuransi dan tambahan biaya bahan bakar dari Hong Kong.

Sanggahan Garuda Indonesia

Vice President Corporate Secretary Garuda Indonesia Ikhsan Rosan menjelaskan terkait putusan denda pengadilan Australia sebesar 19 juta dolar Australia atau setara Rp189 miliar atas tuduhan price fixing, kejadian tersebut menurutnya tidak adil karena merupakan kasus lama yang terjadi antara tahun 2003-2006. 

"Tuduhan ini tidak patut dikenakan kepada Garuda Indonesia sebagai BUMN yang merupakan salah satu instrumen negara Republik Indonesia," kata Ikhsan

Ia menilai kasus tersebut belum berkekuatan hukum tetap, masih ada celah hukum yang memungkinkan pihaknya untuk melakukan banding. 

"Ini belum berkekuatan hukum tetap dan masih ada celah hukum yang memungkinkan untuk melakukan banding," ujar Ikhsan.

Lebih lanjut kata dia, perkara yang dilayangkan kepada perusahaanya tersebut tidak fair. Garuda Indonesia mengaku tak pernah melakukan praktek kartel penetapan tarif dalam setiap bisnisnya.

"Garuda Indonesia menganggap bahwa perkara ini tidak fair dan Garuda Indonesia tidak pernah melakukan praktik tersebut dalam bisnisnya, dan tuduhan ini tidak patut dikenakan kepada Garuda Indonesia sebagai BUMN," kata Ikhsan, dikutip dari Antara, Jumat 31 Mei 2019.

Ikhsan menuturkan, ACCC menuduh 15 maskapai melakukan kesepakatan dan price fixing untuk rute pengangkutan kargo menuju yurisdiksi Australia. 

Garuda Indonesia dan Air New Zealand mengajukan upaya hukum, sedangkan 14 maskapai lain memutuskan untuk melalui mekanisme perdamaian dengan mengaku bersalah, dan telah dikenai denda dan jumlah ganti rugi mulai dari 3 juta dolar Australia hingga 20 juta dolar Australia.

Menurut Ikhsan, denda dalam perkara ini juga seharusnya tidak lebih dari 2,5 juta dolar Australia, dengan pertimbangan, pendapatan pengangkutan kargo Garuda dari Indonesia pada saat kejadian perkara ini terjadi adalah sebesar USD 1,1 juta dan pendapatan pengangkutan kargo dari Hong Kong sebesar USD 656,000.

Terkait putusan pengadilan Australia ini, pihaknya telah berkoordinasi intens dengan Kedubes Australia sejak tahun 2012 dan Tim Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Kementerian Luar Negeri sejak tahun 2016 karena kasus hukum ini menyangkut Interstate Diplomacy. Garuda Indonesia sebelumnya juga telah berkoordinasi secara rutin dengan KPPU Indonesia.

Baca juga:

Berita terkait