Perusahaan Perusak Danau Toba Identik dengan Lucifer?

Permintaan Edy Rahmayadi kepada perusahaan perusak lingkunga membantu pelaku UMKM di Danau Toba, mendapat sindiran Sebastian Hutabarat.
Sebastian Hutabarat saat di PN Balige, Pangururan, Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, Kamis 9 Januari 2020. (Foto: Tagar/motomundo.de)

Pematangsiantar - Permintaan Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi kepada sejumlah perusahaan termasuk perusahaan yang dinilai perusak lingkungan untuk membantu pelaku Usaha Mikro Kecil dan Makro atau UMKM di Danau Toba, mendapat sindiran menohok dari Sebastian Hutabarat.

"Ibarat mau ke sorga dengan bantuan Lucifer," kata pria yang dikenal pengusaha wisata, seniman dan pegiat lingkungan itu ketika diminta pendapatnya, Rabu, 17 Juni 2020 kemarin lewat WhatsApp.

Sebastian mengisahkan, dulu sebelum ada aneka perusahaan yang merusak lingkungan, wisatawan banyak yang datang ke Danau Toba. Masyarakat lokal masih bisa mendapatkan kehidupan yang layak dari hasil alam Toba.

Ada kayu-kayu yang bagus untuk membuat rumah, kapal, dan aneka keperluan sehari-hari, dan ada ikan-ikan yang bisa dengan mudah didapat di sungai sungai, waduk dan Danau Toba dna itu bisa dirasakan hingga 1980 akhir.

Baru setelah kehadiran Indorayon yang membabat hutan-hutan Toba, lalu PT Aquafarm Nusantara kini PT Regal Springs Indonesia, diikuti PT Sari Tani Pemuka, dan aneka jaring apung milik masyarakat, air Danau Toba pun semakin keruh dan jauh dari layak minum seperti yang distandarkan pemerintah.

Menurut pria yang kini tengah di Bali itu, sejak Jokowi terpilih menjadi presiden, ada upaya besar untuk menjadikan Danau Toba sebagai tujuan wisata berkelas dunia. Bandara internasional dibangun, jalan tol dari Medan hingga Parapat terus digenjot.

"Akan tetapi aneh rasanya ketika biang masalah, yakni kerusakan lingkungan tidak ditangani," katanya.

Dia mengatakan, bulan lalu Yayasan Pencinta Danau Toba (YPDT) membuat diskusi publik webiner dengan tema berjudul "Karpet Merah Untuk Perusak Lingkungan, Penjara Buat Aktivis".

Hal itu terkait dengan vonis penjara terhadap Sebastian yang dituduh memfitnah Jautir Simbolon, pemilik tambang Batu Nada Jaya di Silimalombu Samosir. Jautir merupakan kerabat Bupati Samosir Rapidin Simbolon.

Coba bandingkan dengan dana yang disetor oleh para perusahaan yang merusak Danau Toba

Putusan penjara itu oleh para aktivis dianggap sumir karena Sebastian tiga tahun lalu saat kejadian, yakni 15 Agustus 2017 adalah korban penganiayaan Jautir Simbolon, malah dijadikan tersangka dan diputus penjara dua bulan oleh Pengadilan Negeri Balige dan di tingkat banding di Pengadilan Tinggi Medan dikurangi menjadi satu bulan penjara.

Sebastian sepakat dengan pernyataan pemilik Piltik Coffee di Siborong-borong, Edward Tigor Siahaan yang mengatakan bahwa mereka para pelaku UMKM pariwisata bukanlah pengemis. Para pelaku wisata akan bisa berjuang sendiri, berkreasi sendiri jika masalah utama yakni kerusakan lingkungan bisa diatasi.

Belajar dari Bali

Berkaca pada sukses Bali menjadi destinasi kelas dunia, Sebastian yang sudah tiga bulan di sana dan belum pulang ke Balige, Kabupaten Toba, Sumatera Utara, karena pandemi corona, mengaku belajar banyak hal dalam bidang pariwisata.

"Bagaimanapun Bali sudah lebih dulu maju dalam urusan ini, tidak salah belajar dari yang sudah berpengalaman," kata dia.

Dia menyebut, bagaimana satu hotel biasa (bukan hotel berbintang) tempat dia tinggal sementara saat ini di Bali, mampu membayar pajak Rp 1 miliar lebih per tahun, dan pajak pribadi pemilik hotel lebih dari Rp 100 juta per tahun.

"Mari kita hitung berapa ratus hotel, restoran, toko dan aneka usaha di Bali. Berapa triliun dana yang mereka bisa setor ke negara tanpa merusak lingkungan? Coba bandingkan dengan dana yang disetor oleh para perusahaan yang merusak Danau Toba, sebanding kah?" katanya.

Sebastian melanjutkan, dengan banyaknya korban jiwa dan yang terpapar karena Covid-19 ini, harusnya membuat banyak pihak belajar untuk tidak lagi memperkosa alam.

"Kalau dengan merawat alam orang orang Bali bisa sejahtera, di mana hampir seluruh jalan ke pelosok desa kecil bisa dibangun mulus dari pariwisata, lalu kenapa kita di Danau Toba harus merusak alam?" tukasnya.

Dia mengingatkan, Bali baru yang dikampanyekan oleh pemerintah harusnya juga disikapi dengan tindakan nyata para pemangku kebijakan, sehingga masyarakat bisa belajar dari para pemimpinnya bagaimana merawat alam dengan baik untuk diwariskan bagi anak cucu.

Berita terkait
Edy Rahmayadi Tak Setuju Ada KJA di Danau Toba
Edy Rahmayadi mengaku tidak bisa berbuat banyak untuk mengatasi banyaknya keramba jaring apung (KJA) di perairan Danau Toba.
Minta Bantuan ke Perusak Danau Toba Tindakan Sinting
Salah seorang pelaku usaha di Kawasan Danau Toba menolak Gubernur Sumatera Utara meminta bantuan ke perusahaan yang merusak lingkungan.
Gubsu Minta Bantuan ke Perusahaan Perusak Danau Toba
Ketua Jendela Toba menyesalkan Gubernur Sumatera Utara meminta bantuan dari perusahaan yang merusak ekosistem di Kawasan Danau Toba.
0
Tinjau Lapak Hewan Kurban, Pj Gubernur Banten: Hewan Kurban yang Dijual Dipastikan Sehat
Penjabat (Pj) Gubernur Banten Al Muktabar meninjau secara langsung lapak penjualan hewan kurban milik warga di Kawasan Puspiptek.