Perubahan Regulasi Modal Gubernur Maluku Melawan Susi

Jika ingin ada perubahan skema kewenangan maka harus dilakukan revisi pembagian wewenang tersebut dalam undang-undang.
Manajer Advokasi Seknas FITRA, Ervyn Kaffah.(Foto: Tagar/Muhammad Jaya)

Ambon - Manajer Advokasi Seknas FITRA, Ervyn Kaffah menyampaikan salut atas pernyataan "perang" dari Gubernur Maluku Murad Ismail kepada Menteri Susi Pudjiastuti.

Menurutnya kepala daerah mesti kritis terhadap kebijakan pemerintah pusat yang bisa berdampak luas pada nasib daerah.

Meski demikian, ia menilai hanya sebagian saja dari pernyataan Gubernur Murad yang mudah ditindaklanjuti.

"Sebagian besar memerlukan perubahan undang-undang dan regulasi teknis. Langkah koordinasi dan diskusi dengan Kementerian Kelautan dan Perikanan dipandang lebih masuk akal untuk menemukan solusi," ujar Ervyn, Rabu 4 Agustus 2019.

Ervyn mengatakan, skema penerimaan negara berkaitan dengan wewenang pengelolaan wilayah laut di mana untuk jarak >12 mil adalah wewenang pemerintah pusat.

Sementara daerah memiliki kewenangan <12 mil (dibagi antara provinsi dan kabupaten kota), dan ke dua, wewenang perizinan berkaitan dengan gross tonnage (GT) kapal penangkap maupun pengangkut ikan.

Ke dua hal tersebut diatur UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Sehingga menurutnya, jika ingin ada perubahan skema kewenangan maka harus dilakukan revisi pembagian wewenang tersebut dalam undang-undang.

Menurutnya hal itu cukup sulit dilakukan. Butuh effort bersama dari sejumlah pemerintah daerah untuk melakukannya.

"Bahwa pendapatan negara dari sektor sumber daya alam meliputi dua sumber, yakni pajak dan pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Dari penerimaan tersebut, daerah-daerah kemudian mendapatkan transfer dari pusat berupa DBH Pajak dan DBH SDA," jelasnya.

Hal tersebut juga berlaku di sektor perikanan, di mana daerah mendapat DBH Pajak (PPh badan dan PPh perseorangan) atas usaha di sektor perikanan, dan DBH SDA sektor perikanan.

Ervyn menegaskan, tidak ada hubungannya antara kebijakan moratorium kapal asing dengan penerimaan negara. Bahkan, jika kebijakan moratorium itu efektif, jumlah penerimaan negara, baik pajak maupun non pajak dipastikan meningkat.

Jadi, menurut UU, Pemprov Maluku memang tidak dapat bagian DBH SDA perikanan

"Kaitannya dengan pendapatan daerah, untuk DBH Pajak akan tergantung pada di mana perusahaan tersebut terdaftar," ujarnya.

Untuk PNBP, jika illegal fishing oleh kapal asing tak lagi berlangsung, maka kapal dalam negeri yang beroperasi, dan bisa meningkatkan PNBP, dan sebagai konsekwensinya bagian DBH perikanan untuk daerah akan meningkat pula.

Namun berbeda dengan sektor SDA lainnya, DBH sektor perikanan menurut UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dibagi masing-masing 20 persen dari seluruh penerimaan PNBP perikanan untuk pemerintah pusat dan 80 persen untuk seluruh pemerintah kabupaten kota di provinsi bersangkutan. Sementara itu, pemerintah provinsi memang tidak kebagian jatah.

"Jadi, menurut UU, Pemprov Maluku memang tidak dapat bagian DBH SDA perikanan. Namun seluruh pemkab pemko di Maluku mendapat bagian," katanya.

Ia menyebut, untuk tahun 2019, secara keseluruhan pemerintah daerah di Maluku mendapat alokasi total DBH Perikanan sebesar Rp 10 miliar lebih, dengan rincian tiap pemkab memperoleh Rp 983 juta.

"Mungkin saja Pak Gubernur dibisiki informasi yang salah soal ini dari bawahannya," katanya.

Ia menyarankan agar Gubernur Maluku berkoordinasi positif dan mendiskusikan dengan Menteri Susi mengenai upaya memperbesar jumlah tenaga kerja yang diserap oleh kapal perikanan di perairan sekitar Maluku, dan berharap pihak kementerian juga dapat memberikan solusi, karena apa yang dikeluhkan itu cukup logis bagi kepentingan daerah mensejahterakan masyarakatnya.

"Jadi tak harus ribut-ribut," katanya.

Di luar itu, Ervyn mengatakan, sesuai pembagian kewenangan yang diatur UU dan regulasi Kementerian Kelautan dan Perikanan, pemerintah provinsi dapat mengoptimalkan pendapatan asli daerah dari sektor perikanan dengan me-review kembali pengaturan retribusi daerah, antara lain izin usaha perikanan, izin usaha penangkapan ikan, izin pengadaan kapal penangkap dan pengangkut ikan <30 GT untuk kapal dengan tenaga kerja lokal, dan izin penangkapan ikan di wilayah laut <12 mil.

"Meski demikian saya belum punya gambaran apakah hal tersebut sudah maksimal dikerjakan oleh pemprov," katanya.

Sebelumnya, Gubernur Maluku Murad Ismail pada 2 Agustus 2019 memberikan pernyataan "perang" dengan Menteri Perikanan dan Kelautan Susi Pujiastuti terkait kebijakan moratorium merugikan Maluku.

Gubernur menilai, moratorium tidak menguntungkan Maluku karena setelah moratorium Menteri Susi mengirim 1.006 kapal untuk menangkap ikan.

Menurutnya setiap bulan, sebanyak 400 kontainer ikan diekspros ke luar Maluku, namun sayangnya Maluku tidak mendapatkan apa-apa dari ekspor tersebut.

Selain itu, kapal yang beroperasi di Maluku, satupun warga Maluku tidak dipekerjakan di kapal-kapal tersebut. "Saya ingin beritahukan kepada kalian semua, kita perang," ujarnya. []

Berita terkait
Susi Pudjiastuti Bikin Banyak Pengangguran di Sibolga
Wali Kota Sibolga Syarfi Hutauruk menduga peningkatan jumlah pengangguran di wilayahnya, merupakan dampak Kebijakan Menteri Susi Pudjiastuti.
Susi Pudjiastuti Bisa Diganti Kalangan Pengusaha
Pengamat Maritim dari ITS Surabaya, Raja Oloan Saut Gurning, mengakui kemampuan Menteri Susi Pudjiastuti dalam menertibkan IUU di laut Indonesia.
Eks Alumni 212 Sebut Susi Pudjiastuti 'Ratu Bajak Laut'
Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dongkol dengan eks Alumni 212 Faisal Assegaf yang menyebutkan dirinya sebagai Ratu Bajak Laut.