Permainan Tradisional di Kedung Klinter Surabaya

Warga Kedung Klinter gang IV, Surabaya mengajak anak-anak warga untuk memainkan permainan tradisional setiap malam MInggu.
Sejumlah anak warga Kedung Klinter, Surabaya, memainkan permainan engklek di jalanan kampung mereka. (Foto: Tagar/Haris Dwi Susanto)

Surabaya - Belasan anak di Kedung Klinter gang IV, Surabaya, riuh tertawa. Tak jarang mereka berteriak senang sambil bercanda dengan sesamanya. Bising suara kendaraan yang terdengar seolah tak dihiraukan.

Anak-anak itu asyik memainkan permainan tradisional, yang saat ini mulai jarang dilakukan oleh anak sebayanya di daerah lain. Mulai dari permainan ular tangga, tarik tambang, engklek, dakon, boy-boyan, bola bekel, yoyo dan masih banyak lagi.

Dalam permainan-permainan itu mereka bisa berinteraksi langsung antara anak satu dengan lainnya. Mereka memanfaatkan jalanan kampong selebar kurang lebih lima meter untuk bermain.

Tidak satu pun dari mereka terlihat memegang gawai dalam genggamannya. Sebab mereka dilarang membawa gawai saat bermain di tempat itu. Begitu pula dengan anak dari gang lain yang ikut bermain bersama mereka setiap akir pekan.

Inisiatif Warga

Kegiatan rutin berupa memainkan permainan tradisional tersebut murni merupakan gagasan warga. Mereka menggunakan media permainan yang dicetak di atas vinil berukuran 5x4 meter.

Warga secara sukarela melakukan patungan hingga mengambil uang kas rukun warga (RW) untuk menyiapkan sarana permainan. Tujuannya agar para anak di kampung dapat bermain dan mengenal permainan tradisional.

Selain untuk melestarikan permainan tradisional, tujuan mereka mengadakan kegiatan itu agar anak-anak tidak mengamen di sekitar Jalan Kedung Doro.

Ketua RW 03 Kedung Klinter gang 4 Surabaya, Siswadi mengatakan permainan dolanan lawas di kampungnya tersebut sudah digagas sejak tahun 2016 lalu. Namun untuk mewujudkan hak itu bukan sesuatu yang mudah.

Menurut Cak Sis, sapaan akrabnya, awalnya rencana itu mendapat penolakan dari beberapa warga. Mereka khawatir akan terganggu dengan suara ramainya anak-anak bermain, repot menutup jalan dan lain sebagainya.

Cerita Permainan Tradisional 2Sejumlah anak bermain tarik tambang di Kedung Klinter gang IV. (Foto: Tagar/Haris Dwi Susanto)

Tapi, seiring berjalannya waktu dan berbagai pendekatan yang dilakukan oleh pengurus CAK (Community Arek Kedung Klinter). Terlebih setelah dijelaskan tentang dampak negatif kecanduan bermain gawai.

“Awalnya respon dari warga dianggap aneh, kita buat gambar engkle dan ular tangga, sehingga kita paling tidak mengajari para anak-anak dan melakukan pendekatan pada warga sekitar. Tujuannya supaya anak anak semakin tertarik dan orang tua memberikan respon positif, karena di gang IV ini menjadi tempat berkumpulnya anak dan menjadi jujukan (tujuan) para orang tua mencari anaknya,” kata Cak Sis.

Bukan hanya perjuangan merintis kampung dolanan lawas di Kedung Klinter saja, Cak Sis bercerita, dari keprihatinan banyak anak saat ini yang bermain handphone, membuat para pemuda khususnya anggota CAK untuk menciptakan permainan lawas.

Seiring berjalannya waktu, usaha dan kerja keras CAK membuahkan hasil. Banyak anak di Kedung Klinter yang menyukai permainan tradisional. Bahkan ketika malam minggu tiba, jalanan gang IV penuh seperti ada kegiatan besar atau lomba menjelang perayaan HUT RI.

Alhamdulillah sekarang banyak yang menyukai permaian lawas. Jujur kalau dulu itu anak anak ngamen di kaki lima di lampu merah, dengan adanya permainan di kampung ini akhirnya mereka tidak melakukan itu.

Upaya Menarik Minat Anak-anak

Ketika pertama kali mengajak anak-anak untuk memainkan permainan tradisional, Cak Sis juga mengalami penolakan. Anak-anak di Kedung Klinter sama sekali tak tertarik. Sehingga para orang tua harus melakukan permainan tersebut supaya anak-anak di sekitar mereka melirik dan melakukan hal yang sama.

“Awalnya kita menemukan, tapi mereka (anak-anak) tidak tertarik. Tapi dengan kita yang sudah tua bermain sendiri, mereka akhirnya tertarik dan kita ajari,” papar dia.

Cerita Permainan Tradisional 3Warga Gang IV Kedung Klinter, Surabaya, menyiapkan semacam warung gratis untuk anak-anak yang bermain permainan tradisional. (Foto: Tagar/Haris Dwi Susanto)

Bukan hanya memancing keikutsertaan anak-anak dengan bermain. Untuk lebih menarik minat mereka, pengurus RW dan CAK mendirikan warung, agar anak-anak itu bisa minum sambil menikmati jajanan secara gratis setelah capek bermain.

“Sehingga bagaimana kita setiap sore dengan pancingan warung apa adanya setiap malam juga kita bermain ada istilah tak kenal maka tak sayang, dengan mengenal mereka, maka mereka semakin mencari kita,” ucap Cak Sis.

Menurutnya, permainan tradisional sangat penting diajarkan pada anak, sebab permainan itu diyakininya mampu membantu mereka lepas dari gawai, sehingga tidak apatis bermain sendiri.

“Cuma sampai sekarang mereka mungkin belum menanggap ini penting tapi ini menurut kami penting. Seperti contohnya tarik tambang butuh strategi kekuatan dan kekompakan. Caranya kompak ya dihitung, strateginya yang kuat harus di belakang. Jadi tidak hanya sekedar kita bermain kita memasuki bagaimana mereka berstrategi di dalam permainan. Bukan bermain dengan strategi dalam handphone yang tidak dengan kekompakan,” jelas dia.

Saat ini anggota CAK terus melakukan sosialiasi pelestarian permainan tradisional, seperti dengan mencetak banner dan di tempel di sudut gang kampong, yang isinya tentang filosofi masing-masing permainan.

Berharap Jadi Ikon

Cak Sis menambahkan, pihaknya memiliki harapan besar agar permainan tradisional menjadi ikon kampung mereka, sehingga label sebagai kampung dolanan lawas atau permainan tradisional pun disematkan pada kampung Kedung Klinter.

Terlebih saat ini belum ada tempat spesifik untuk masyarakat Surabaya yang ingin memainkan permainan-permainan tradisional, meski banyak pegiat dari komunitas yang mengembangkan permainan tradisional ke seluruh penjuru kampung di kota itu.

“Sebagai ketua RW saya mengharapkan suatu saat peemrintah lebih memerhatikan. Otomatis saya juga gencar mempromosikan dolanan lawas, karena saat ini label kampung dolanan lawas di Surabaya juga belum ada,” kata Cak Sis.

Selain Cak Sis, Armila salah satu penggagas dolanan lawas di Kedung Klinter juga memiliki harapan besar supaya tempatnya mendapatkan label kampung dolanan lawas dari Wali Kota Surabaya.

Dia juga sangat berharap agar Wali Kota Surabaya berkenan mengunjungi kampung mereka untuk memainkan permainan tradisional bersama warga dan anak-anak di situ.

“Keinginan itu pasti ada, entah kapan dapat terwujud. Terpenting di mana kita di sini (Kedung Klinter) terus berupaya membuat bagaimana di sini dengan iming-iming dolanan lawas. Supaya wali kota dapat singgah dan melihat permainan kami,” ujar Armila.

Dia juga mengaku sangat senang dengan adanya kegiatan itu, sebab saat malam Minggu tiba, dia mendapatkan hiburan gratis dari anak-anak itu. Menurutnya itu bisa membuatnya awet muda.

Cerita Permainan Tradisional 4Dua anak warga Gang IV Kedung Klinter bermain dakon. Warga setempat berupaya melestarikan beragam permainan tradisional. (Foto: Tagar/Haris Dwi Susanto)

“Saya itu paling senang kalau lihat dan dampingi anak anak, hiburan saya ya cuma ini hiburan paling murah. Ga tau kenapa saya itu suka banget. Bahkan kalau saya nggak jualan itu di cariin sama anak anak yang biasa main di sini,” ujar dia.

Sementara, Rafa, seorang remaja asal Kedung Klinter,yang saat ini duduk di kelas dua SMP, mengaku bahwa permainan-permainan tradisional di tempat itu membuat dia berhenti mengamen di sepanjang Jalan Kedung Doro.

Rafa lebih memilih untuk bergabung bersama teman sebayanya untuk bermain permainan tradisional, seperti ular tangga, Tarik tambang, engkle, dakon, boy-boyan, bola bekel, yoyo dan masih banyak lagi.

“Dulu ngamen, terus tau banyak dolanan di sini akhirnya ikutan main sama anak anak,” kata Rafa.

Berita terkait
Banting Setir ke Bisnis Kuliner Akibat Pandemi
Pandemi Covid-19 membuat sebagian orang menjadi lebih kreatif, termasuk membuka usaha kuliner yang dijual dengan sistem pre order
Rasa dan Ketelitian Dalam Secangkir Kopi Bantaeng
Unuk mendapatkan rasa kopi yang nikmat, dibutuhkan perasaan dan ketelitian, khususnya dalam proses sangrai atau roasting dan penyeduhan.
Asa Tak Patah Belajar Berlantai Tanah di Kulon Progo
Devi Noviyanti, gadis kecil berusia 10 tahun itu sedang belajar di rumahnya yang berlantai tanah dan berdinding anyaman bambu.