Banting Setir ke Bisnis Kuliner Akibat Pandemi

Pandemi Covid-19 membuat sebagian orang menjadi lebih kreatif, termasuk membuka usaha kuliner yang dijual dengan sistem pre order
Kuliner pangsit mie ayam Jakarta "Al-Razaak" yang dijual oleh Noval Adrian, 25 tahun di Surabaya, selama masa pandemi Covid-19. (Foto: Tagar/Haris Dwi Susanto)

Surabaya - Pandemi Covid-19 bukan hanya menyebabkan dampak berupa pemutusan hubungan kerja (PHK) atau bekerja dari rumah alias work from home (WFH) dengan pemotongan gaji pada sebagian karyawan. Ada dampak lain yang mengikuti kebijakan itu, termasuk meningkatnya kreativitas para mantan karyawan.

Di Surabaya misalnya, sejak pandemi Covid-19, pedagang kuliner bermunculan di sudut-sudut kampung. Mereka menjual kuliner-kuliner itu secara luring atau offline maupun daring atau online. Tidak sedikit dari pedagang kuliner itu yang sebelumnya adalah karyawan perusahaan.

Sebagian dari mereka memilih berjualan makanan cepat saji, karena menjadi pilihan mudah dan efisien untuk para pekerja yang melaksanankan WFH.

Selain menjual kuliner yang sudah matang atau makanan olahan, banyak juga di antara mereka yang memilih berjualan di rumah dengan sistem pre order atau mengolah masakan setelah ada pesanan.

Sistem pre order tersebut dinilai memiliki resiko kerugian yang lebih kecil daripada jika harus menjual makanan yang sudah diolah.

Salah satu pemilik usaha kuliner yang menerapkan sistem ini adalah Roesdan Suriansyah, warga Semolowaru Surabaya, yang membuka usaha kuliner "Waroeng Barokah Selalu". Dia memilih berjualan makanan karena kesulitan mencari pekerjaan.

"Ya buka usaha makanan ini saat pandemi sekitar awal Juni, karena itu yang bisa dilakukan, selain melamar pekerjaan yang kayaknya sulit sekarang," kata pria 25 tahun yang akrab disapa Ocan ini.

Dia menerapkan system pesan antar untuk para pelanggannya, dengan biaya pengantaran sebesar Rp5 ribu untuk area Kota Surabaya.

Dalam menjual makanan, Ocan dibantu oleh seorang rekannya yang memiliki keahlian memasak, seperti memasak nasi cumi cabe hijau, nasi paru cabe hijau, nasi goreng rendang ayam, nasi krengsengan jeroan ayam.

Cerita Banting setir Kuliner 1Salah satu jenis kuliner yang dijual di warung Barokah Selalu, Surabaya, selama masa pandemi Covid-19. (Foto: Tagar/Haris Dwi Susanto).

"Ya mengajak temen, berhubung ada teman yang memang bisa masak, dan masakannya pun juga enak akhirnya memutuskan untuk buka bisnis makanan ini," imbuh Ocan.

Ocan mengaku sebelumnya tidak pernah terjun ke bisnis usaha kuliner. Tapi keadaan membuatnya harus memilih usaha ini, agar tetap menghasilkan uang, meskipun jumahnya belum bisa disebut banyak.

Awalnya nyari kegiatan tapi seneng, tapi juga menghasilkan uang. Akhirnya ya memutuskan untuk buka usaha ini, karena jualan adalah jalan yang sepertinya bisa diambil dengan kondisi sekarang.

Dalam sehari, dia bisa mengirim antara lima hingga 10 porsi makanan pada pelanggan, dengan harga makanan antara Rp16 ribu hingga Rp18 ribu per porsinya.

"Ya alhamdulillah setiap open PO bisa kirim 5 sampai 10 makanan lah".

Peluang Besar Bisnis di Masa Pandemi

Berbeda dengan Ocan yang baru berjualan saat masa Pandemi Covid-19. Seorang warga Surabaya lainnya, Noval Aldrian, 25 tahun, pemilik usaha kuliner pangsit mie ayam Jakarta "Al-Razaak", mengaku kembali berjualan akibat pandemi.

Noval yang akrab disapa Dupo ini mengawali usaha kuliner pangsit mie ayam Jakarta sejak tahun 2019. Namun, usahnya ini sempat buka tutup karena kesibukannya yang harus menyelesaikan kuliah semester akhir serta bekerja di bidang properti.

Sebelum membuka warung mie ayam, sebetulnya Dupo pernah mencoba berjualan makanan sejak 2017. Kuliner yang dijualnya pun berganti-ganti, mengikuti selera pasar.

"Awal berjualan mulai tahun 2017 bulan november, karena ada kendala sehingga membuat penjualan buka tutup. Dan pada akhirnya di tahun 2019 bulan Desember penjualan berhenti. Dan mulai buka lagi di tahun 2020 bulan Juni disaat pandemi," kata Noval.

Pria asal Gubeng Surabaya ini brpendapat bahwa masa pandemi Covid-19 cocok untuk bisnis kuliner. Karena tak banyak orang yang berani keluar rumah untuk membeli makanan.

Terlebih pandemic ini memaksa orang harus diam di rumah mengisolasi diri agar terhindar dari virus.

"Karena saya berpikiran pandemi ini adalah peluang yang sangat besar untuk bisnis kuliner," tambah dia.

"Pandemi ini menuntut orang untuk beradaptasi secara cepat dengan pola kerja baru. Misalnya para pekerja harus merubah kegiatannya menjadi Work From Home (WFH), mahasiswa dan sekolah pun harus belajar secara online. Tapi beberapa orang memanfaatkan momen itu untuk berjualan," Dupo melanjutkan.

Dalam sehari, Dupo bisa menjual sekitar 25 kotak pangsit mie ayam Jakarta. Dupo juga turut menerapkan sistem pre order supaya semua dagangannya laku dan dapat menghitung pasti berapa porsi yang berhasil dijual.

"Sehari bisa sampai 25 kotak, dengan satu kotaknya saya hargai Rp 15 ribu, belum termasuk ongkir mulai dari harga Rp 5 ribu," kata dia.

Tanggapan Sosiolog Unair

Fenomena beralihnya profesi warga menjadi pedagang kuliner di tengah pandemi Covid-19, dinilai merupakan sebuah pergeseran okupansi yang wajar terjadi dalam masyarakat.

Bagong Suyanto, dosen Sosiologi, Universitas Airlangga Surabaya, menyebut, hal semacam ini sudah biasa terjadi di lingkungan masyarakat, terutama saat terkena musibah seperti kondisi sekarang.

"Ya pergeseran okupasi itu sudah biasa, ketika orang mengalami musibah, seperti korban PHK, usahanya bangkrut atau lainnya, itu melakukan pergeseran okupasi, mata pencaharian mereka akan berubah," kata Bagong.

Selain itu, Bagong menilai pilihan masyarakat untuk berdagang karena sektor tersebut bersifat informal. Tidak ada syarat khusus untuk bisa menjalankan bisnis kuliner tersebut.

Perdagangan merupakan sektor yang terbuka dan bisa menampung siapapun. Asal menurutnya punya modal dan memiliki tekad besar untuk menjalankan bisnis tersebut.

Cerita Banting Setir Kuliner Surabaya 2Selain melayani pembelian untuk dikonsumsi di tempat, Warung Barokah Selalu juga menerapkan sistem pesan antar. (Foto: Tagar/Haris Dwi Susanto)

"Kalau menurut saya sektor perdagangan ini bagian dari sektor yang sifatnya informal atau bisa dikatakan tidak mensyaratkan kualifikasi khusus terhadap orang di dalamnya. Kan beda kalau di bidang formal kan diminta ijazah dan lain sebagainya," tambah dia.

Faktor lain yang membuat semakin maraknya bisnis kuliner di masa pandemi adalah kebutuhan warga untuk menyambung hidup.

"Ini kan bagian dari mekanisme survival mereka, yang penting bisa menyambung hidup. Dagang ini kan adalah cara-cara untuk memperpanjang nafas terlebih dahulu yang penting dapat uang cash dahulu dan bisa dipakai untuk keluarganya," kata Bagong.

Seharusnya menurut Bagong, masyarakat juga memikirkan jangka panjang dari usaha kuliner ini. Terutama apabila nanti dagangannya laris, tentu harus ada keinginan mengembangkan bisnisnya.

"Tapi masyarakat tidak seperti itu, saya yakin usaha bisnis kuliner ini bukan usaha yang permanen. Pokoknya dapat duit, kalau pandemi berakhir mereka akan kembali ke pekerjaan utama mereka," tegas dia.

Dengan berfikir pendek semacam ini, Bagong melihat tak sedikit para pedagang kuliner dadakan ini cepat gulung tikar alias bangkrut. Terutama saat ini persaingan usaha cukup tinggi.

Bagong pun melihat, selama pandemi Covid-19, para pedagang dadakan ini akan tersingkir dengan sendirinya. Karena kompetitor mereka akan cukup banyak. Terlebih jika tidak didasari dengan strategi yang kuat.

"Kalau saya lihat akan silih berganti, kadang sebulan aja udah bangkrut, karena dagang itu juga tak mudah, apalagi kalau mereka bukan dari intuisi bisnis. Akhirnya kan ada kompetisi yang makin ketat, ini saya kira akan ada proses seleksi alamiah," kata Bagong.

Pentingnya Menabung 

Bagong mengingatkan pentingnya menabung, agar jika kembali mengalami situasi seperti ini, orang tak akan berbondong-bondong membanting setir terlalu jauh.

"Kalau pelajaran terpenting efek dari Covid-19 ini ya belajar arti menabung, itu pelajaran terpenting," pesan dia.

Ia pun melihat selama masa pandemi Covid-19 banyak orang dari kalangan menengah atas turut terkena dampak. Bahkan kalau tak punya tabungan mereka pun kini menjadi masyarakat miskin.

"Kan studinya bank dunia yang terkena dampak ini bukan hanya kalangan miskin saja, tapi juga menengah atas. Jadi mereka sama halnya orang miskin yang tidak punya apa-apa. Mangkanya orang harus belajar arti penting menabung," harap Bagong.

Saat ini, menurut Bagong orang gampang terbuai dengan gaji besar. Tapi mereka juga mencicil barang kebutuhan dengan jumlah yang banyak. Terlebih banyak yang lupa dengan arti menabung sesungguhnya.

"Saat pandemi ini, orang yang dulu gajinya Rp 15 juta sampai Rp 20 juta tapi uangnya pas-pasan untuk nyicil mobil, rumah, SPP anaknya, untuk makan dan tidak punya tabungan akan terasa di massa pandemi ini. Nah makanya pesan saya, orang itu harus belajar arti penting menabung," tuturnya. []

Baca Juga: 

Pedagang Hewan Kurban Tak Terpengaruh Pandemi

Ruby Alamsyah, Analis Forensik Digital yang Hobi Baca Novel Detektif

Berita terkait
Kisah Badut Jalanan Berhati Mulia di Yogyakarta
Rinno, si badut jalanan di Yogyakarta ini berhati mulia. Relawan ini ikhlas berbagi penghasilan Rp 20 ribu per hari dengan orang yang membutuhkan.
Rajah Seumapa, Mantra Pengobatan Anak di Aceh
Warga Aceh Barat Daya memiliki mantra pengobatan yang disebut rajah seumapa. Rajah ini biasanya digunakan untuk mengobati anak kecil
Pernikahan di Tepi Sawah dengan Protokol New Normal
Dua mempelai itu menjalani prosesi pernikahan di tepi sawah di Sleman, Yogyakarta. Acara digelar dengan menerapkan protokol new normal.
0
DPR Terbuka Menampung Kritik dan Saran untuk RKUHP
Arsul Sani mengungkapkan, RUU KUHP merupakan inisiatif Pemerintah. Karena itu, sesuai mekanisme pembentukan undang-undang.