Peringatan 30 Tahun Ratifikasi Konvensi Hak Anak

Kesadaran tentang arti penting pemenuhan hak anak dan perlindungan anak telah muncul di benak para pemangku kepentingan
Peringatan 30 Tahun Ratifikasi Konvensi Hak Anak dan Peringatan Hari Anak Sedunia yang diadakan di Denpasar, Bali. (Foto:Tagar/kemenpppa.go.id)

Jakarta - Kesadaran tentang arti penting pemenuhan hak anak dan perlindungan anak telah muncul di benak para pemangku kepentingan di seluruh dunia sejak puluhan tahun lalu.

Kesadaran itu pula yang kemudian membuat negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk kemudian merumuskan sebuah kesepakatan internasional, sebuah aturan universal, yang dapat menjadi pedoman dalam pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

Kemajuan-kemajuan yang berhasil kita capai dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak tentu merupakan hal yang membanggakan

Setelah melalui berbagai pertemuan, Majelis Umum PBB kemudian mengesahkan Konvensi Hak Anak pada 20 November 1989. Hari pengesahan Konvensi Hak Anak itu kemudian dikenal sebagai Hari Anak Sedunia.

Tidak perlu waktu lama bagi bangsa Indonesia untuk menyepakati Konvensi Hak Anak. Hingga kemudian pada 26 Januari 1990, Indonesia menjadi salah satu negara yang ikut menandatangani Konvensi Hak Anak. Tidak cukup sampai di situ, Presiden Suharto kemudian mengesahkan Konvensi Hak Anak sebagai aturan hukum positif meratifikasinya pada 5 September 1990 melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990.

Kini, 30 tahun sudah sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Hak Anak. Bukan waktu yang sedikit. Tentu sudah ada sejumlah kemajuan dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

"Kemajuan-kemajuan yang berhasil kita capai dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak tentu merupakan hal yang membanggakan. Namun, bukan berarti perjuangan kita telah selesai," kata Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga dalam acara Peringatan 30 Tahun Ratifikasi Konvensi Hak Anak dan Peringatan Hari Anak Sedunia yang diadakan di Denpasar, Bali.

Hal paling mendasar yang dilakukan Indonesia dalam upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak sesuai Konvensi Hak Anak adalah dengan memasukkan isu perlindungan anak ke dalam konstitusi.

Amandemen kedua Undang-Undang Dasar 1945 memasukkan Pasal 28B Ayat (2) yang berbunyi "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi".

Selain itu, Indonesia juga telah memiliki Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dengan dua pilar utama, yaitu pemenuhan hak anak dan perlindungan khusus anak. Undang-Undang tersebut telah dua kali diubah melalui Undang-Undang 35 Tahun 2014 dan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016.

Semangat pemenuhan hak anak dan perlindungan anak juga mendasari berbagai peraturan perundang-undangan yang lain, seperti Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang mengamanatkan setiap daerah untuk melakukan upaya-upaya pemenuhan hak anak dan perlindungan anak.

Pemenuhan hak anak dan perlindungan anak juga mendasari upaya mengubah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan menetapkan usia minimal perkawinan bagi laki-laki maupun perempuan adalah 19 tahun.

Perubahan batas usia minimal perkawinan tersebut merupakan salah satu upaya untuk mencegah perkawinan anak. Sebelumnya, batas usia minimal perkawinan untuk perempuan ditetapkan 16 tahun.

Selain itu, Indonesia juga telah meratifikasi dua protokol opsional Konvensi Hak Anak melalui undang-undang, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2012 tentang Pengesahan Protokol Opsional Konvensi Hak Anak Mengenai Penjualan Anak, Prostitusi Anak, dan Pornografi Anak; dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2000 tentang Pengesahan Konvensi ILO Nomor 182 Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segera Penghapusan Bentuk-Bentuk Pekerjaan Terburuk untuk Anak.

Menteri Bintang mengatakan pemenuhan hak anak dan perlindungan anak tidak dapat dikesampingkan dalam kondisi apa pun, sebagaimana diamanatkan dalam Konvensi Hak Anak.

"Pembangunan inklusif yang mengedepankan hak-hak anak harus tetap menjadi prioritas utama," katanya. []

Baca juga:

Berita terkait
Kemen PPPA Menyoal Pilar Pondasi Mewujudkan KLA
Lembaga masyarakat, perusahaan, dan media merupakan pilar-pilar pembangunan dan juga menjadi kekuatan mewujudkan KLA
Kementerian PPPA Wakili Indonesia Diskusi KLA dengan Iran
Pemerintah Indonesia dan Iran sepakat upaya mewujudkan Kabupaten/Kota Layak Anak (KLA) dibutuhkan pelibatan anak secara keseluruhan dan massif.
Kemen PPPA Optimalkan Upaya Perlindungan Anak Lewat PATBM
Kementerian PPPA optimalisasi Upaya Perlindungan Anak di Masa Pandemi Covid-19 melalui Perlindungan Anak Terpadu Berbasis Masyarakat (PATBM)